Mohon tunggu...
Nisrina Sri Susilaningrum
Nisrina Sri Susilaningrum Mohon Tunggu... Guru - Great Learner

Great Learner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sahabatku Ternyata Bukan Manusia!

11 Juli 2015   22:08 Diperbarui: 11 Juli 2015   22:08 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Terinspirasi dari pengalaman menunggui kerabat di rumah sakit).

 

Malam ini aku sendiri lagi, ayah dan ibu bilang baru bisa datang setelah pukul 21.00.

Sepi, dingin, dan yang pasti membosankan, karena tak ada yang bisa aku ajak bicara. Acara televisi juga tak ada yang menarik. Huuuh…akhirnya aku membaca novel kesayanganku dengan agak malas, karena sudah berapa kali kubaca dan hampir hafal di luar kepala.

Tiba-tiba aku merasakan angin dingin masuk dari pintu ruanganku yang terbuka. Kemudian muncul sesosok gadis yang sebaya denganku, wajahnya pucat dan jilbab kaosnya berkibar tertiup angin malam. Dia tersenyum.

“Hai, namaku Sasi, bolehkah aku masuk?” sapanya ramah.

Aku terpaku. Sesaat tadi aku sempat membayangkan akan bertemu hantu muka rata atau sejenisnya, karena angin yang berhembus tidak seperti biasanya. Ternyata gadis di hadapanku ini nyata. Aku jadi nyengir sendiri dan hampir saja lupa akan sapaannya.

“Oh, eh…ya silakan masuk,” aku balas tersenyum dan menyebutkan namaku.

“Kamu sendirian hari ini, atau memang setiap hari sendiri begini?” tanyanya

“Setiap pagi mama selalu menungguiku, sore kembali ke rumah untuk menyambut ayah pulang kantor, trus malamnya mereka berdua menungguiku di sini,” jawabku

“Wah, ayah dan ibumu pasti sayang sekali sama kamu ya, sampai-sampai dibelain nginap di sini semua,”

“Yah begitulah, lagipula aku kan anak tunggal,” sahutku

Dia manggut-manggut. Kami cepat akrab, karena Sasi suka sekali bercerita. Dia adalah penghuni kamar VIP sebelah utara, tepatnya kamar Flamboyan no. 3. Sedangkan aku menempati kamar VIP sebelah barat, kamar Kenanga no. 5.

Sasi gadis yang periang, berbeda denganku yang moody. Hampir setiap malam dia datang, membawa suasana ceria untukku, karena kalau malam hari orang tuaku sering terlambat datang. Dan anehnya dia selalu pamit sebelum ayah ibuku datang. Selalu seperti itu, dia pamit, tak lama kemudian ayah dan ibuku datang.

“Aku pamit dulu yah, udah malam aku ngantuk, lagipula sebentar lagi ayah ibumu datang.” Ucapnya

“Darimana kamu tahu ayah ibuku sebentar lagi datang?” tanyaku penasaran, dia hanya mengerling nakal sambil tertawa lebar.

Sasi rajin membawakanku buku cerita islami, agar saat waktuku luang tidak kuhabiskan dengan melamun dan kesal karena tak ada teman. Dari dia aku belajar tentang banyak hal, mulai dari belajar mengatur waktu, belajar mengontrol emosi apabila ayah dan ibu terlambat datang, dan yang paling penting adalah belajar mengaji.

Ya, karena sejak kecil bila bila ibu menyuruh belajar ngaji di musholla, aku selalu beralasan macam-macam. Beginilah jadinya, hehe…

Sasi termasuk sabar saat mengajariku mengaji, maklumlah aku kan susah mengingat. Tak terasa kami telah bersahabat selama dua bulan lebih, rasanya kami sudah seperti saudara. Apakah kami tak pernah marahan? Tentu pernah, karena aku yang moody dan manja lebih banyak merajuk. Namun Sasi selalu pandai mengembalikan suasana jadi ceria kembali.

Dua bulan lebih aku di RS ini, ada banyak sekali perubahan. Ayah dan ibu sampai heran namun juga senang, karena anaknya udah ga moody lagi, juga jarang marah, dan yang lebih penting adalah rajin sholat dan mau mengaji. Terkadang terbersit keinginan ibu untuk mengenal Sasi dan mencari ke kamarnya, namun karena sudah malam, ibu mengurungkan niat untuk mencarinya. Bila pagi, siang dan sore, ibu sudah terlalu banyak urusan jadi lupa deh.

Setelah menjalani pemeriksaan menyeluruh, akhirnya aku diperbolehkan pulang, namun tetap melakukan rawat jalan. Dan saat seperti inilah rasanya berat untuk berpisah dengan sahabat yang dengan setia menemani hari-hariku.

Ketika ibu dipanggil ke ruang dokter untuk diberi penjelasan tentang hasil pemeriksaannya, aku minta ijin untuk mencari Sasi, mau pamitan. Ibu mengijinkan, sehingga aku langsung memacu kursi rodaku menuju kamar Sasi.

Untuk sampai ke kamar VIP, harus melewati taman yang cukup luas dengan air mancur di tengahnya. Aku harus memutar melalui koridor yang menghubungkan kamar VIP sebelah barat dan utara. Sampai di depan lobi sebelah utara, sepi, perawat jaga tak ada. Aku terus mencari ruang Flamboyan, setelah ketemu, aku mencari kamar no. 3. Pintunya tertutup, aku mencoba mengetuk. Tak ada suara, jendelanya cukup tinggi, sehingga tak bisa mengintip ke dalam.

Seorang perawat mendekatiku, “cari siapa, dik?” Tanya perawat itu dengan lembut

“Saya mencari Sasi, anaknya seumuran dengan saya, dia bilang kamarnya di Flamboyan no.3,” jawabku bersemangat.

Perawat itu terlihat kaget, lalu dia bertanya lagi, “Emm…cirri-cirinya seperti apa, dik?”

“Dia suka mengenakan baju warna hijau dengan jilbab kaos lebar, wajahnya pucat tapi selalu tersenyum, kulitnya sawo matang dan ada tahi lalat di tengah alisnya,” jawabku lagi sambil mengingat-ingat.

Perawat itu semakin terlihat kaget dan agak bingung, “Oh dia, ya benar namanya Sasi, tapi…” kalimatnya menggantung.

“Tapi apa, suster?” tanyaku penasaran

Perawat itu perlahan duduk di bangku yang ada di depan kamar Sasi, kemudian memandangku lekat-lekat, “Emm…bagaimana ya?” perawat itu terlihat ragu-ragu sejenak. “Baiklah, saya akan cerita, tapi kamu jangan kaget ya,” hatiku agak berdebar mendengarnya.

Kemudian perawat itu bercerita, bahwa dua setengah bulan yang lalu, Sasi masuk RS ini dengan ditemani kakaknya. Penyakitnya sudah parah, jantungnya bocor. Kakaknya tidak bisa setiap hari menemani karena harus bekerja, namun semua fasilitas untuk adiknya tercinta berusaha dia penuhi, kamar VIP, obat juga minta yang paling bagus, dokter juga harus yang terbaik untuk mengoperasi adiknya.

Namun kita tak pernah tahu jalan hidup kita. Walau sudah diusahakan yang terbaik, Sasi memang tidak ditakdirkan berumur panjang. Akhirnya beberapa hari setelah dioperasi, dia menghembuskan nafas yang terakhir. Sasi meninggal dalam kesendirian. Dia meninggal dengan mengenakan mukena dan memegang tasbih, sepertinya dia baru selesai sholat maghrib di atas tempat tidurnya. Aku tercekat mendengar penjelasan itu, sedih rasanya membayangkan meninggal dalam sepi, sunyi.

Alarm dari kamarnya berbunyi tepat saat ECG menunjukkan garis lurus, dan ketika kami para perawat datang, dia sudah tak ada. Tak terasa air mataku menetes, membayangkannya sendirian setiap hari, sampai saat dia meninggalpun sendiri. Sangat jauh berbeda denganku, aku yang selalu ditemani ibu, kadang masih merasa ada saja yang kurang, ayah dan ibu terlambat sedikit saja aku sudah marah.

Ohhh…apalah aku dibanding dirinya? Anak yang ceria di tengah kesedihannya, di tengah sakitnya. Tak pernah mengeluh, selalu baik dan menyenangkan menurut. Dia juga tak pernah mengeluh sakit. Selalu banyak cerita dan tawa bila berdekatan dengan dia. Ya Allah, apakah orang baik harus selalu mati muda? Karena memang Engkau lebih sayang padanya. Semoga dia mendapatkan tempat terbaik di sisi-Mu, ya Robb.  

Seperti teringat sesuatu, perawat itu mengajakku ke lobi depan. Ada sesuatu yang ingin ditunjukkannya. Dia menuju meja di belakang lobi, membuka lacinya, kemudian menyerahkannya padaku. Sebuah tasbih.

“Bawalah, tasbih itu tertinggal ketika jenazahnya diambil oleh kakaknya. Anggap saja itu sebagai kenang-kenangan dari Sasi,” perawat itu berkata

Aku mengangguk dan berterima kasih. Perawat menawarkan untuk mengantarku ke ruang dokter, namun aku menolak dengan halus. Aku ingin sendiri, menikmati kenanganku bersama Sasi selama perjalanan menuju ruang dokter.

Terlintas kembali kenangan bersama Sasi. Aku sadar, aku tak boleh terlalu lama bersedih. Bersama tasbih dari bahan kayu cendana itu, aku bertekad untuk menjadi lebih baik dari sekarang, demi orang tuaku, demi Sang Penciptaku, juga demi sahabat sekaligus guruku, Sasi. Aku pasti bisa.

 

Sudut haru biru, Juli ke-11

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun