Mohon tunggu...
Nisrina Sri Susilaningrum
Nisrina Sri Susilaningrum Mohon Tunggu... Guru - Great Learner

Great Learner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sahabatku Ternyata Bukan Manusia!

11 Juli 2015   22:08 Diperbarui: 11 Juli 2015   22:08 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk sampai ke kamar VIP, harus melewati taman yang cukup luas dengan air mancur di tengahnya. Aku harus memutar melalui koridor yang menghubungkan kamar VIP sebelah barat dan utara. Sampai di depan lobi sebelah utara, sepi, perawat jaga tak ada. Aku terus mencari ruang Flamboyan, setelah ketemu, aku mencari kamar no. 3. Pintunya tertutup, aku mencoba mengetuk. Tak ada suara, jendelanya cukup tinggi, sehingga tak bisa mengintip ke dalam.

Seorang perawat mendekatiku, “cari siapa, dik?” Tanya perawat itu dengan lembut

“Saya mencari Sasi, anaknya seumuran dengan saya, dia bilang kamarnya di Flamboyan no.3,” jawabku bersemangat.

Perawat itu terlihat kaget, lalu dia bertanya lagi, “Emm…cirri-cirinya seperti apa, dik?”

“Dia suka mengenakan baju warna hijau dengan jilbab kaos lebar, wajahnya pucat tapi selalu tersenyum, kulitnya sawo matang dan ada tahi lalat di tengah alisnya,” jawabku lagi sambil mengingat-ingat.

Perawat itu semakin terlihat kaget dan agak bingung, “Oh dia, ya benar namanya Sasi, tapi…” kalimatnya menggantung.

“Tapi apa, suster?” tanyaku penasaran

Perawat itu perlahan duduk di bangku yang ada di depan kamar Sasi, kemudian memandangku lekat-lekat, “Emm…bagaimana ya?” perawat itu terlihat ragu-ragu sejenak. “Baiklah, saya akan cerita, tapi kamu jangan kaget ya,” hatiku agak berdebar mendengarnya.

Kemudian perawat itu bercerita, bahwa dua setengah bulan yang lalu, Sasi masuk RS ini dengan ditemani kakaknya. Penyakitnya sudah parah, jantungnya bocor. Kakaknya tidak bisa setiap hari menemani karena harus bekerja, namun semua fasilitas untuk adiknya tercinta berusaha dia penuhi, kamar VIP, obat juga minta yang paling bagus, dokter juga harus yang terbaik untuk mengoperasi adiknya.

Namun kita tak pernah tahu jalan hidup kita. Walau sudah diusahakan yang terbaik, Sasi memang tidak ditakdirkan berumur panjang. Akhirnya beberapa hari setelah dioperasi, dia menghembuskan nafas yang terakhir. Sasi meninggal dalam kesendirian. Dia meninggal dengan mengenakan mukena dan memegang tasbih, sepertinya dia baru selesai sholat maghrib di atas tempat tidurnya. Aku tercekat mendengar penjelasan itu, sedih rasanya membayangkan meninggal dalam sepi, sunyi.

Alarm dari kamarnya berbunyi tepat saat ECG menunjukkan garis lurus, dan ketika kami para perawat datang, dia sudah tak ada. Tak terasa air mataku menetes, membayangkannya sendirian setiap hari, sampai saat dia meninggalpun sendiri. Sangat jauh berbeda denganku, aku yang selalu ditemani ibu, kadang masih merasa ada saja yang kurang, ayah dan ibu terlambat sedikit saja aku sudah marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun