Ohhh…apalah aku dibanding dirinya? Anak yang ceria di tengah kesedihannya, di tengah sakitnya. Tak pernah mengeluh, selalu baik dan menyenangkan menurut. Dia juga tak pernah mengeluh sakit. Selalu banyak cerita dan tawa bila berdekatan dengan dia. Ya Allah, apakah orang baik harus selalu mati muda? Karena memang Engkau lebih sayang padanya. Semoga dia mendapatkan tempat terbaik di sisi-Mu, ya Robb.
Seperti teringat sesuatu, perawat itu mengajakku ke lobi depan. Ada sesuatu yang ingin ditunjukkannya. Dia menuju meja di belakang lobi, membuka lacinya, kemudian menyerahkannya padaku. Sebuah tasbih.
“Bawalah, tasbih itu tertinggal ketika jenazahnya diambil oleh kakaknya. Anggap saja itu sebagai kenang-kenangan dari Sasi,” perawat itu berkata
Aku mengangguk dan berterima kasih. Perawat menawarkan untuk mengantarku ke ruang dokter, namun aku menolak dengan halus. Aku ingin sendiri, menikmati kenanganku bersama Sasi selama perjalanan menuju ruang dokter.
Terlintas kembali kenangan bersama Sasi. Aku sadar, aku tak boleh terlalu lama bersedih. Bersama tasbih dari bahan kayu cendana itu, aku bertekad untuk menjadi lebih baik dari sekarang, demi orang tuaku, demi Sang Penciptaku, juga demi sahabat sekaligus guruku, Sasi. Aku pasti bisa.
Sudut haru biru, Juli ke-11
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H