Perjalanan keempat, mereka lanjutkan dengan menaiki pesawat dari Medan ke Makasar. Mereka bertemu kembali dengan Baduy dan berniat mendaki Gunung Bulusaraung. Mereka pun akan pergi ke Taka Bonerate, Kepulauan kecil di daerah Selayar (taman laut indah, katanya tempat di muka bumi yang harus dikunjungi sebelum meninggal). Mereka tiba di Pulau Tinabo (satu dari banyaknya pulau di kawasan Taka Bonerate). Esoknya, mereka pergi ke Kepulauan Taka Bonerate menaiki kapal jolloro. Bawah Laut Taka Bonerate menuai kecantikan walau dari kedalaman yang tidak seberapa, warna-warni terumbu karang, dan bermacam-macam ikan membuat takjub.
Selama perjalanan keempat, mereka berhasil mengabadikan momen dengan kamera yaitu keindahan terumbu karang, menatap gemintang dari bumi Selayar, dan petang di Tinabo (ketiganya berlokasi di Taka Bonerate).
6. Waham (keyakinan atau pikiran salah karena bertentangan dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yang tidak berdasarkan logika, sangka, curiga). Bab ini menceritakan tentang kelanjutan perjalanan mereka dari Taka Bonerate ke Miangas.
Perjalanan kelima, mereka lanjutkan dari darat ke Gorontalo hingga tiba di Manado, Sulawesi Utara. Mereka ingin pergi ke Bunaken (pulau legendaris ini sudah tidak seindah nama besarnya karena kontur pantai menyerap langsung sampah dari Manado dan katanya terumbu karang terus berkurang dimakan oleh binatang laut predator).Â
Mereka menginap di ruangan markas Pah'yaga'an. Selanjutnya mereka ingin ke Miangas (ujung Utara Indonesia) dengan tujuan melihat tampak depan Indonesia (selama ini perbatasan yang sering didengar itu Sabang dan Merauke. Sebenarnya Indonesia mempunyai empat pilar perbatasan, yaitu barat, timur, utara, dan selatan).Â
Mereka terlambat sehari karena mereka telat mengecek jadwal kapal perintis. Oleh karena itu, mereka pergi ke Kota Bitung (untuk naik kapal Feri). Kemudian transit di Kepulauan Melonguane (salah satu Kepulauan Taulud). Selama di sana penulis dan Prem melaksanakan ibadah puasa (Baduy tidak berpuasa). Selanjutnya, mereka tiba di Miangas yang mempertemukan mereka dengan para tentara penjaga perbatasan, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Universitas Hasanuddin, dan pergi ke Tanjung Wora.
Selama perjalanan kelima, mereka berhasil mengabadikan momen dengan kamera yaitu depan tugu Santiago, para penjaga perbatasan, Pertunjukan budaya oleh mahasiswa Unhas, Tanjung Wora dari atas bukit keramat (tempat-tempat tersebut berada di Miangas), dan pemandangan Gunung Manado Tua (Manado).
7. Sarak (pisah, cerai). Bab ini menceritakan tentang perpisahan antara penulis dengan Baduy dan Prem karena suatu hal.
Perjalanan keenam, mereka menaiki kapal Meliku Nusa dengan tujuan ke Pulau Tahuna (salah satu pulau besar di kawasan Taulud). Sesampainya di sana  penulis dan Baduy berpisah dengan Prem (dia ingin pulang ke Bandung karena modal untuk perjalanan telah habis dan sungkan jika terus-menerus meminjam kepada kedua temannya).Â
Sejak kepergian Prem, penulis dan Baduy menjadi berjarak. Baduy lebih akrab dengan teman barunya di sana. Hal tersebut terjadi karena Ibu Baduy sedang sakit dan tabungannya akan habis. Sedangkan penulis ditelfon oleh ibunya yang menanyakan lebaran di Bandung atau tidak. Akhirnya penulis memutuskan melanjutkan perjalanan bersama Ikrar (teman barunya di sana) untuk mendaki Gunung Silabat. Selama di gunung, penulis menerima pesan dari Baduy yang berpamitan untuk berangkat ke Bandung. Hal tersebut membuat penulis sedih dan memutuskan "apakah dia akan pulang juga?."
Penulis pun memutuskan melanjutkan perjalanan ke Indonesia Timur bersama Swarandee (orang yang pernah penulis temui di dermaga Karimun Jawa dan bertemu lagi di dermaga Manado untuk menempuh perjalanan bersama). Sebelum itu, penulis berlebaran di rumah Shinta (Manado). Akhirnya penulis dan Swarandee pergi ke pelabuhan Manado. Ukulele penulis diberikan kepada temannya sebagai kenangan. Lambaian tangan dari teman-teman penulis selama di Manado mewarnai perpisahan itu.