Mereka menaiki kapal yang dikemudikan oleh orang India dengan tujuan ke daerah Tuktuk dan menginap di rumah adat yaitu rumah Bolon (rumah adat suku Batak yang terbuat dari kayu atap lancip: hampir mirip dengan rumah Gadang, hanya tanduk di sisi atapnya tidak setinggi itu).
 Selanjutnya mereka pergi ke Kota Medan sehingga mereka menikmati keindahan kota dengan melihat Masjidi Al-Mahsum, Gedung Lonsum, Menara Tirtanadi, sampai ke Istana Maimun. Akan tetapi, Baduy dilema karena bisnis tour and travel nya  masih mempunyai utang tugas membawa sekelompok wisatawan asal Prancis ke Raja Ampat. Hal tersebut menjadi perdebatan antara mereka untuk menentukan perjalanan selanjutnya. Alhasil mereka memilih untuk bertemu kembali di Makasar yang berarti mereka harus melewati Kalimantan.
Beberapa hari di Medan, perjalanan mereka lanjutkan ke Banda Aceh untuk menyebrang ke Pulau Weh dan melihat Titik Nol Indonesia. Pelabuhan Ulee Lheue mereka lewati dan tiba di Pelabuhan Sabang, kota kecil yang terdapat di Pulau Weh.Â
Kemudian, mereka memutuskan untuk ke Pantai Iboih yang pasirnya sangat putih, berjajaran tempat makan, penyewaan alat scuba diving, banyak wisatawan mancanegara yang menggenggam bir, dan lain-lain. Selanjutnya, mereka pergi ke Tugu Titik Nol Kilometer yang berada di hutan wisata Sabang.Â
Tugu putih yang dihiasi susunan tangga itu terdapat banyak coretan ulah manusia yang merasa namanya penting untuk diabadikan dalam bentuk tulisan. Selain itu, Tugu Nol Kilometer disebut juga titik terbarat Indonesia dan mereka berharap dapat pergi ke titik timur Indonesia. Baduy sudah berpamitan terlebih dahulu sehingga menyisahkan penulis dan Prem.
Selama perjalanan ketiga, mereka berhasil mengabadikan momen dengan kamera yaitu situs Parulubalangan (Samosir), rumah Bolon (Sibolga), Tugu Nol Kilometer (Sabang), dan pantai Iboih (Sabang).
4. Swabakar (kemampuan untuk mengeluarkan api sendiri). Bab ini menceritakan tentang kelanjutan perjalanan mereka yang masih menetap di Banda Aceh dan mempunyai tujuan menaiki Gunung Sinabung dan Sibayak.
Hari keempat, penulis dan Prem masih di Banda Aceh. Mereka berencana mendaki Gunung Sinabung atau Sibayak sambil menunggu jadwal Baduy yang sepuluh hari lagi bebas tugas. Mereka terlebih dahulu pergi ke Museum Tsunami Aceh yang dirikan sebagai monumen bencana, merangkap pusat pendidikan, dan tempat perlindungan darurat tatkala tsunami terjadi lagi. Saat itu, akun Twitter milik penulis di-hack sehingga tidak dapat log in. Twitter bagi penulis sangat penting untuk keberlangsungan perjalanan mereka.Â
Apalagi Twitter membuat penulis memposting momen yang dilewati dan berinteraksi dengan teman-teman yang membantu selama perjalanan. Akhirnya, penulis memilih mengabadikan momen dengan menulis di Blog. Mereka mendaki Gunung Sinabung dan Sibayak ditemani tiga anggota Pascal PU. Lokasi gunung tersebut berada di Berastagi, kota kecil yang terletak di dekat Medan.
Selama perjalanan, mereka berhasil mengabadikan momen dengan kamera yaitu kaki Gunung Sinabung, menunggu kabut reda (Sibayak), dan Prem mengibarkan bendera merah putih di Gunung Sibayak.
5. Ruaya (perpindahan bersama dari satu tempat ke tempat lain: Migrasi). Bab ini menceritakan tentang kelanjutan perjalanan mereka ke Makasar untuk bertemu Baduy sekaligus pergi ke Kepulauan Taka Bonerate.