Mohon tunggu...
Nisaul Hulayyah
Nisaul Hulayyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Terima kasih telah singgah, semoga pembaca selalu betah!

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Bukti Indonesia Itu Indah Melalui Novel Arah Langkah

8 Februari 2024   13:00 Diperbarui: 9 Maret 2024   06:12 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Bloranews.com

*Penulis artikel ini berharap pembaca dapat membaca artikel sampai selesai agar memahami isi yang disampaikan.

Novel Arah Langkah karya Fiersa Besari yang diterbitkan pada tahun 2018 oleh Mediakita. Novel Arah Langkah merupakan novel yang menceritakan tentang pengalaman perjalanan penulis bersama teman-temannya berkelana menyusuri Indonesia. Setiap momen yang dilewatinya diabadikan melalui foto dan tulisan. Dorongan yang membuat penulis melakukan hal nekat tersebut disebabkan oleh patah hati.

Semula penulis mempunyai kekasih di tahun 2008, hubungan mereka bertaut cukup lama tetapi suatu ketika kekasihnya selingkuh dengan orang kepercayaan penulis. Orang tersebut dahulu mempunyai hubungan yang baik dengan penulis bahkan diberikan amanah untuk menjaga pekerjaannya. Tetapi penulis merasa dikhianati hingga terjadi perdebatan hebat antara kedua laki-laki tersebut dan hubungan penulis dengan kekasih pun kandas di tahun 2011. Penulis sulit melupakan kenangan bersama kekasihnya sehingga memilih berkelana untuk menyembuhkan hatinya, menemukan tempat untuk berdamai dengan masa lalu, dan mengukir memori dengan orang-orang baru.

Novel Arah Langkah terdapat beberapa bab yang menceritakan perjalanan berkelana menyusuri Indonesia secara rinci, sebagai berikut.

1. Kausa (sebab yang menimbulkan suatu kejadian). Bab ini menceritakan tentang awal perjalanan berkelana menyusuri Indonesia yang dimulai dari Bandung hingga ke pelabuhan Merak, Banten.

Penulis berkelana dimulai pada tanggal 14 April 2013, perjalanan dimulai dari Bandung (tempat kelahiran penulis). Kemudian, penulis pergi ke terminal Leuwi Panjang, Bandung untuk bertemu teman-temannya yaitu Baduy (nama panggilan yang biasa dilontarkan oleh teman-temannya karena dia berasal dari Banten) dan Anisa Andini dengan nama panggilan Prem (Prem merupakan kependekan dari "preman" yang diberikan teman-teman kuliahnya yang menganggap Prem sangat tomboi).

Sebelum perjalanan dilakukan, mereka telah menyusun perencanaan dengan matang. Apalagi didukung oleh Baduy yang mempunyai usaha tour and traveling sehingga membuatnya berpengalaman berkelana serta keaktifan penulis di media sosial Twitter pun membuat perjalanan berkelana mendapatkan bantuan. Selain itu, mereka berkelana dengan kekurangan modal yang mengharuskan mereka untuk mengatur pengeluaran dengan sebaik-baiknya. 

Bahkan Baduy membawa satu stoples besar tempe kering karena tempe kering makanan yang tahan lama dan mampu menghemat pengeluaran. Setelah dari Bandung, mereka melakukan perjalanan pertama ke Pelabuhan Merak, Banten dengan pemberhentian di Pelabuhan Bakauheni, Lampung.

Selama menempuh perjalanan pertama, mereka berhasil mengabadikan momen dengan kamera yaitu berjalan kaki sambil menggendong ransel dan foto tiga pengelana dengan petualangan yang menunggu mereka.

2 . Arkais (berhubungan dengan masa lalu dahulu atau berciri kuno, tua). Bab ini menceritakan tentang kelanjutan perjalanan mereka dari Pelabuhan Merak, Banten ke Bandar Lampung dan Nias.

Perjalanan kedua, mereka lanjutkan berjalan sambil melakukan hitching (bahasa kerennya menumpang) agar mendapatkan tebengan mobil. Mereka pun sampai di kota Bandar Lampung, tetapi Baduy mengalami nasib nahas yaitu kehilangan dompet. Dua hari dan dua malam di Bandar Lampung, mereka melanjutkan perjalanan menaiki bus dari Lampung ke kota Padang. 

Sesampainya di kota Padang, mereka menaiki mobil angkutan umum untuk mengunjungi Pantai Air Manis. Pantai tersebut terkenal dengan cerita rakyatnya yaitu Malin Kundang karena terdapat batu berbentuk manusia sedang bersujud seperti memohon ampun yang dipercayai sebagai Malin Kundang (anak yang dikutuk oleh ibunya karena telah durhaka).

Perjalanan pun mereka lanjutkan ke Bukittinggi dengan menaiki bus untuk mengunjungi Danau Maninjau (Lawang Park). Kemudian pergi ke kota untuk melihat jam Gadang (simbol Bukittinggi). 

Satu malam berlalu, mereka melanjutkan perjalanan ke daerah Sibolga, kota penghubung antara mereka dan Nias menjadi pilihan destinasi yang mengharuskan mereka menaiki kapal feri. 

Kata seorang bapak berkata kepada mereka, jika orang Nias masih percaya ilmu hitam sehingga mereka harus hati-hati agar bisa pulang. Mereka singgah di Pantai Sorake untuk mengobati lelah selama perjalanan dan mereka berjumpa dengan Erlita (seorang anak kecil yang memiliki bakat luar biasa dalam musik).

Tujuan mereka selanjutnya yaitu Bawomataluo (desa yang masih menjaga keasrian adat Nias). Bawomataluo berarti desa matahari yang berlokasi di kecamatan Fanayama, Nias Selatan. 

Desa ini menarik karena terdapat Fahombo (susunan batu-batu membentuk persegi panjang setinggi dua meter yang menjadi tradisi untuk dilompati oleh para lelaki Nias). Sesampainya di Bawomataluo, mereka disambut dengan baik oleh warga setempat sehingga menepis anggapan buruk terhadap orang Nias. Mereka pun menginap di rumah Bang Paiman. 

Terdapat pengalaman menarik yang dialami penulis yaitu mandi di tempat pemandian massal dalam hutan. Penulis diajak mandi oleh Ilwan sehingga mereka mandi dengan banyak orang (khususnya laki-laki), tempat laki-laki dan perempuan dipisah. Tetapi, jika terdapat laki-laki yang mengintip perempuan sedang mandi maka akan dikenakan hukuman berat yaitu mentraktir satu desa. Keesokan harinya, mereka menyaksikan Ilwan melompati Fahombo yang menjadi pekerjaan Ilwan di sana untuk menghibur para turis dengan atraksi tersebut.

Selama perjalanan kedua, mereka berhasil mengabadikan momen dengan kamera yaitu mencari tumpangan mobil (Bakauheni), Danau Maninjau (Lawang Park), penampakan anak-anak bergembira (pelabuhan Sibolga), Rumah Raja (Bawomataluo), Malin Kundang (pantai Air Manis),  Erlita (pantai Sorake), dan Ilwan melompati Fahombo (Bawomataluo).

3. Sawala (debat, bantah, diskusi). Bab ini menceritakan tentang kelanjutan perjalanan mereka dari Nias ke Pulau Samosir dengan tujuan mengunjungi Titik Nol Kilometer Indonesia.

Perjalanan ketiga, mereka lanjutkan ke Pelabuhan Tomok, Pulau Samosir yang menyimpan sejarah suku Batak (suku ini bermukim di daerah Tapanuli dan Sumatera Timur sejak tahun 2500-an yang lalu sebelum akhirnya bermigrasi ke Sumatera Utara). 

Mereka menaiki kapal yang dikemudikan oleh orang India dengan tujuan ke daerah Tuktuk dan menginap di rumah adat yaitu rumah Bolon (rumah adat suku Batak yang terbuat dari kayu atap lancip: hampir mirip dengan rumah Gadang, hanya tanduk di sisi atapnya tidak setinggi itu).

 Selanjutnya mereka pergi ke Kota Medan sehingga mereka menikmati keindahan kota dengan melihat Masjidi Al-Mahsum, Gedung Lonsum, Menara Tirtanadi, sampai ke Istana Maimun. Akan tetapi, Baduy dilema karena bisnis tour and travel nya  masih mempunyai utang tugas membawa sekelompok wisatawan asal Prancis ke Raja Ampat. Hal tersebut menjadi perdebatan antara mereka untuk menentukan perjalanan selanjutnya. Alhasil mereka memilih untuk bertemu kembali di Makasar yang berarti mereka harus melewati Kalimantan.

Beberapa hari di Medan, perjalanan mereka lanjutkan ke Banda Aceh untuk menyebrang ke Pulau Weh dan melihat Titik Nol Indonesia. Pelabuhan Ulee Lheue mereka lewati dan tiba di Pelabuhan Sabang, kota kecil yang terdapat di Pulau Weh. 

Kemudian, mereka memutuskan untuk ke Pantai Iboih yang pasirnya sangat putih, berjajaran tempat makan, penyewaan alat scuba diving, banyak wisatawan mancanegara yang menggenggam bir, dan lain-lain. Selanjutnya, mereka pergi ke Tugu Titik Nol Kilometer yang berada di hutan wisata Sabang. 

Tugu putih yang dihiasi susunan tangga itu terdapat banyak coretan ulah manusia yang merasa namanya penting untuk diabadikan dalam bentuk tulisan. Selain itu, Tugu Nol Kilometer disebut juga titik terbarat Indonesia dan mereka berharap dapat pergi ke titik timur Indonesia. Baduy sudah berpamitan terlebih dahulu sehingga menyisahkan penulis dan Prem.

Selama perjalanan ketiga, mereka berhasil mengabadikan momen dengan kamera yaitu situs Parulubalangan (Samosir), rumah Bolon (Sibolga), Tugu Nol Kilometer (Sabang), dan pantai Iboih (Sabang).

4. Swabakar (kemampuan untuk mengeluarkan api sendiri). Bab ini menceritakan tentang kelanjutan perjalanan mereka yang masih menetap di Banda Aceh dan mempunyai tujuan menaiki Gunung Sinabung dan Sibayak.

Hari keempat, penulis dan Prem masih di Banda Aceh. Mereka berencana mendaki Gunung Sinabung atau Sibayak sambil menunggu jadwal Baduy yang sepuluh hari lagi bebas tugas. Mereka terlebih dahulu pergi ke Museum Tsunami Aceh yang dirikan sebagai monumen bencana, merangkap pusat pendidikan, dan tempat perlindungan darurat tatkala tsunami terjadi lagi. Saat itu, akun Twitter milik penulis di-hack sehingga tidak dapat log in. Twitter bagi penulis sangat penting untuk keberlangsungan perjalanan mereka. 

Apalagi Twitter membuat penulis memposting momen yang dilewati dan berinteraksi dengan teman-teman yang membantu selama perjalanan. Akhirnya, penulis memilih mengabadikan momen dengan menulis di Blog. Mereka mendaki Gunung Sinabung dan Sibayak ditemani tiga anggota Pascal PU. Lokasi gunung tersebut berada di Berastagi, kota kecil yang terletak di dekat Medan.

Selama perjalanan, mereka berhasil mengabadikan momen dengan kamera yaitu kaki Gunung Sinabung, menunggu kabut reda (Sibayak), dan Prem mengibarkan bendera merah putih di Gunung Sibayak.

5. Ruaya (perpindahan bersama dari satu tempat ke tempat lain: Migrasi). Bab ini menceritakan tentang kelanjutan perjalanan mereka ke Makasar untuk bertemu Baduy sekaligus pergi ke Kepulauan Taka Bonerate.

Perjalanan keempat, mereka lanjutkan dengan menaiki pesawat dari Medan ke Makasar. Mereka bertemu kembali dengan Baduy dan berniat mendaki Gunung Bulusaraung. Mereka pun akan pergi ke Taka Bonerate, Kepulauan kecil di daerah Selayar (taman laut indah, katanya tempat di muka bumi yang harus dikunjungi sebelum meninggal). Mereka tiba di Pulau Tinabo (satu dari banyaknya pulau di kawasan Taka Bonerate). Esoknya, mereka pergi ke Kepulauan Taka Bonerate menaiki kapal jolloro. Bawah Laut Taka Bonerate menuai kecantikan walau dari kedalaman yang tidak seberapa, warna-warni terumbu karang, dan bermacam-macam ikan membuat takjub.

Selama perjalanan keempat, mereka berhasil mengabadikan momen dengan kamera yaitu keindahan terumbu karang, menatap gemintang dari bumi Selayar, dan petang di Tinabo (ketiganya berlokasi di Taka Bonerate).

6. Waham (keyakinan atau pikiran salah karena bertentangan dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yang tidak berdasarkan logika, sangka, curiga). Bab ini menceritakan tentang kelanjutan perjalanan mereka dari Taka Bonerate ke Miangas.

Perjalanan kelima, mereka lanjutkan dari darat ke Gorontalo hingga tiba di Manado, Sulawesi Utara. Mereka ingin pergi ke Bunaken (pulau legendaris ini sudah tidak seindah nama besarnya karena kontur pantai menyerap langsung sampah dari Manado dan katanya terumbu karang terus berkurang dimakan oleh binatang laut predator). 

Mereka menginap di ruangan markas Pah'yaga'an. Selanjutnya mereka ingin ke Miangas (ujung Utara Indonesia) dengan tujuan melihat tampak depan Indonesia (selama ini perbatasan yang sering didengar itu Sabang dan Merauke. Sebenarnya Indonesia mempunyai empat pilar perbatasan, yaitu barat, timur, utara, dan selatan). 

Mereka terlambat sehari karena mereka telat mengecek jadwal kapal perintis. Oleh karena itu, mereka pergi ke Kota Bitung (untuk naik kapal Feri). Kemudian transit di Kepulauan Melonguane (salah satu Kepulauan Taulud). Selama di sana penulis dan Prem melaksanakan ibadah puasa (Baduy tidak berpuasa). Selanjutnya, mereka tiba di Miangas yang mempertemukan mereka dengan para tentara penjaga perbatasan, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Universitas Hasanuddin, dan pergi ke Tanjung Wora.

Selama perjalanan kelima, mereka berhasil mengabadikan momen dengan kamera yaitu depan tugu Santiago, para penjaga perbatasan, Pertunjukan budaya oleh mahasiswa Unhas, Tanjung Wora dari atas bukit keramat (tempat-tempat tersebut berada di Miangas), dan pemandangan Gunung Manado Tua (Manado).

7. Sarak (pisah, cerai). Bab ini menceritakan tentang perpisahan antara penulis dengan Baduy dan Prem karena suatu hal.

Perjalanan keenam, mereka menaiki kapal Meliku Nusa dengan tujuan ke Pulau Tahuna (salah satu pulau besar di kawasan Taulud). Sesampainya di sana  penulis dan Baduy berpisah dengan Prem (dia ingin pulang ke Bandung karena modal untuk perjalanan telah habis dan sungkan jika terus-menerus meminjam kepada kedua temannya). 

Sejak kepergian Prem, penulis dan Baduy menjadi berjarak. Baduy lebih akrab dengan teman barunya di sana. Hal tersebut terjadi karena Ibu Baduy sedang sakit dan tabungannya akan habis. Sedangkan penulis ditelfon oleh ibunya yang menanyakan lebaran di Bandung atau tidak. Akhirnya penulis memutuskan melanjutkan perjalanan bersama Ikrar (teman barunya di sana) untuk mendaki Gunung Silabat. Selama di gunung, penulis menerima pesan dari Baduy yang berpamitan untuk berangkat ke Bandung. Hal tersebut membuat penulis sedih dan memutuskan "apakah dia akan pulang juga?."

Penulis pun memutuskan melanjutkan perjalanan ke Indonesia Timur bersama Swarandee (orang yang pernah penulis temui di dermaga Karimun Jawa dan bertemu lagi di dermaga Manado untuk menempuh perjalanan bersama). Sebelum itu, penulis berlebaran di rumah Shinta (Manado). Akhirnya penulis dan Swarandee pergi ke pelabuhan Manado. Ukulele penulis diberikan kepada temannya sebagai kenangan. Lambaian tangan dari teman-teman penulis selama di Manado mewarnai perpisahan itu.

Selama perjalanan keenam, mereka berhasil mengabadikan momen dengan kamera yaitu pemandangan malam (Klabat) dan foto bersama dengan penulis, Baduy, serta Prem.

Novel Arah Langkah memberikan gambaran kepada pembaca yang berkeinginan untuk berkelana menyusuri Indonesia bahwa perjalanan yang ditempuh membutuhkan banyak persiapan. 

Apalagi persiapan hati untuk menerima segala perpisahan yang terjadi tanpa diduga-duga. Novel ini dapat membuktikan bahwa Indonesia itu indah dengan berbagai pesona alam yang terdapat di setiap pulaunya sehingga memberikan pesan kepada pembaca untuk menjaga negara tercinta. 

Selain itu, alternatif menyembuhkan patah hati bagi setiap orang mempunyai cara yang berbeda-beda. Patah hati yang dialami penulis di masa lalu dapat sembuh seiring dengan berjalannya waktu. Berkelana dengan modal seadanya dapat terwujud jika seseorang memiliki tekad yang kuat karena akan ada bantuan di setiap jalan bagi seseorang yang tidak lelah berhenti untuk berjuang. Tetapi perlu diingat bahwa sejauh apapun kita melangkah, tujuan akhir selalu rumah.

Terima kasih telah singgah, mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam hal penulisan. Semoga pembaca selalu betah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun