10-15 tahun lalu, sebagai Milenial, saya ingat mayoritas kami belanja daring pertama kalinya saat sudah kuliah dengan mengakses internet di warnet. Kini, para sepupu dan keponakan saya sebagai Gen Z sudah jago belanja online dengan HP, bahkan sejak mereka masih SD!
Dikutip dari laporan  World Economic Forum/WEF (2019), 61% dari total populasi 700 juta orang di ASEAN adalah Milenial dan Gen Z (di bawah 35 tahun) yang aktif mengakses teknologi digital setiap hari, terutama online shopping.Â
BI pun sigap menyasar ribuan Milenial sebagai endorser dalam sosialisasi QRIS pada BI Netizen Festival 2020.
Kombinasi akses internet dengan daya beli usia produktif di ASEAN akan semakin mendongkrak nilai GMV saat didukung RPC berupa pembayaran digital seperti QRIS dan BI Fast Antarnegara yang praktis dan real time.Â
Generasi muda pun lekat dengan pendidikan, maka mahasiswa ASEAN juga akan diuntungkan dengan RPC saat belajar di sesama negara ASEAN karena lebih hemat via transaksi langsung dengan kurs lokal (Local Currency Transaction/LCT).
Pendidikan tinggi semakin diminati
Meskipun alumni dari Amerika atau Eropa, uniknya tak sedikit rekan senior saya (lebih) memilih untuk mengirim anak mereka kuliah di ASEAN, terutama di Malaysia dan Singapura.Â
"Selain lebih dekat dan mirip budayanya, biayanya juga relatif terjangkau," papar mereka.
Data  UNESCO Institute of Statistics (2021) mencatat Malaysia sebagai negara ASEAN yang paling banyak dipilih oleh mahasiswa Indonesia yaitu 8,440 orang. Jumlahnya berpotensi terus meningkat karena per Mei 2023, QRIS resmi di Malaysia atau kedua setelah Thailand di Agustus 2022.
Ternyata, jumlah mahasiswa Malaysia di Indonesia juga yang tertinggi dari ASEAN yaitu 1,217 orang berdasar data Ditjen DIKTI Kemenristekdikti dan Ditjen Imigrasi Kemenkumham (2017).
Kontribusi ekonomi dari pelajar asing di suatu negara jelas tak sedikit, apalagi ditambah 'efek pengganda (multiplier effect)' ketika keluarga atau teman mahasiswa asing datang berlibur.