"Tapi memang saya sering denger juga sih, Mbak. Orang-orang di sini suka dengar suara rebab sama ramai-ramai kayak Ondel-Ondel sedang mengamen, begitu. Tapi kalau nanya tetangga, mereka enggak dengar, dan enggak lihat juga."
Aku benar-benar diam kali ini.
"Terus ... buat sosok encim itu, waduh, maaf ya, Mbak. Bukannya saya nakut-nakutin. Tapi dia memang penghuni sini sebelum RPTRA dibangun. Dia suka muncul kalau ada orang-orang baru. Istilahnya, ngenalin diri kali ya, Mbak." Bu Pengelola tertawa pelan.Â
Sedangkan aku berkeringat.Â
"Nah, kalau buat berisik-berisik silat di lantai dua. Itu kejadiannya belum lama, saya juga mengalami. Memang dulu suka ada latihan pencak silat wilayah yang menggunakan fasilitas RPTRA untuk persiapan lomba. Tapi kira-kira enam bulan terakhir ini--sebelum pandemi--satuan pencak silat itu kecelakaan dalam perjalanan menuju perlombaan. Anggota dan pelatihnya meninggal semua." Bu Pengelola menghela napas. "Sedih, sebetulnya. Mungkin arwah mereka masih penasaran kali ya, Mbak. Jadi, seolah-olah terus-terusan berlatih biar kesampaian ikut lomba."
Aku merinding. Ludah kuteguk, mata berkedip-kedip. Bu Pengelola bercanda, kah? Jadi ... semua yang kulihat dan kudengar ... hanya tersisa DJ remix gila dan Mozart koplo yang nyata?Â
Detik itu pula aku mengangguk-angguk dan berhenti bercerita.
Keesokan harinya, aku demam. Orang tuaku pun bingung kenapa aku tiba-tiba demam. Padahal, itu hari terakhir, dan seharusnya aku beserta Pak Dosen Pengampu berpamitan kepada pihak RPTRA. Tanpa dinyana, takdir berkata lain.Â
Penyusunan laporan belum sepenuhnya rampung, tetapi Pak Dosen Pengampu melimpahkan sisa tugasku kepada rekan lain dalam kelompok.Â
Kata ibuku, ketika demamku sedang jadi-jadinya, ia melihat berita bahwa baru saja siang bolong terjadi tawuran antarkampung di wilayah Johar Baru.Â
"Nak, Nak. Untung kamu enggak ke sana hari ini," katanya sambil menyuguhkanku obat.