Kali ini Bu Pengelola melirikku.Â
"Lalu juga di lain hari, selepas kegiatan. Sebelum pulang, saya denger ada entak-entak dan suara ramai anak-anak seperti sedang latihan silat di lantai dua. Padahal semua anak kelas calistung udah pada pulang." Aku geleng-geleng kepala. "Tadinya saya mau naik, tapi ... ah, kayaknya itu kewenangannya Bu Pengelola."Â
Bu Pengelola berhenti mengetik dan menoleh ke arahku.Â
"Belum lagi yang suka karaoke siang bolong ya, Bu," sambungku lagi. "Waktu hujan itu aduh ampun. Saya kayaknya enggak tahan kalau jadi Bu Pengelola harus dengar yang kayak begitu hampir tiap hari." Aku tertawa. "Hebat banget, Ibu."
Bu Pengelola membalas ceritaku dengan tawa yang resah. Ia tertawa, menatapku, tapi alisnya berkerut. Reaksinya membuatku turut berhenti mengetik. Aku ikut menghadap ke arahnya, sepertinya ia hendak bicara.Â
"Iya, kalau karaoke itu memang benar, dan luar biasa bisingnya," tanggap Bu Pengelola. "Tapi ... rombongan Ondel-Ondel di jalan raya, itu kapan Mbak lihatnya?"Â
Aku menggaruk dagu. "Mm, sudah lama sih bu, awal-awal saya kemari."
"Soalnya, selama pandemi dan selama saya kerja menemani Mbak di sini, saya enggak dengar dan enggak lihat mereka."Â
Senyumku pudar. Kini giliran aku yang diam.Â
"Memang kalau enggak sedang pandemi, setiap sore ada itu, Mbak. Tapi ... selama pandemi ini sudah enggak ada."
Aku masih diam. Maksudnya gimana, sih? Orang berisik banget begitu, gumamku dalam hati.