Kondisi ini diperparah oleh adanya kenyataan dukungan masyarakat yang suka-rela dan membantu Ahok dalam pemenangan dari dana masyarakat dan dana partai serta pendana lainnya yang jelas lebih efektif menggerakan secara sukarela dan kepartaian. Mesin partai digerakkan secara massif.
Belum lagi sekarang ini Sandiaga Uno sedang mengalami kegalauan karena fakta kemenangan telak yang sampai 92% dan 83% yang digemborkan oleh kalangan partai agama PKS dan FPI adalah semu. Gerogotan keuangan Sandi – sementara Anies dengan cerdik tidak menyumbang dana sepeserpun – telah membuat Sandi goyah.
Kenyataan fakta kemenangan menjauh membuat pengeluaran Sandi menjadi direm; di sisi lain Sandi juga kebingungan membuat keputusan antara mengeluarkan lebih banyak tetapi belum tentu menang, atau berhenti menggelontorkan uang dan tetap kalah.
Jadi konflik kepentingan aliran dana membuat kekecewaan kalangan simpatisan pendukung Anies dan apatis. Belum lagi kenyataan bahwa pendanaan kampanye sama sekali tidak menggerus dana dari partai agama PKS. Partai agama PKS – seperti halnya Anies – tidak mengeluarkan uang secara besar-besaran.
Kedelapan, penolakan warga DKI terhadap keberadaan FPI dan gerakan menolak FPI oleh para ormas pendukung NKRI. Sentimen anti FPI dan HTI serta FUI – yang pentolannya terlibat kasus hukum – memang  di satu sisi menggerakkan para anggota FPI – namun di sisi lain tak mampu menarik dukungan dari kalangan Islam moderat. Mayoritas warga Muslim Nahdliyin alias NU menolak Islam radikal FPI, sehingga FPI menjadi faktor berkurangnya suara Anies.
Terlebih lagi pidato Rizieq FPI di Surabaya yang berapi-api dan jika di Jakarta terjadi kerusuhan akibat provokasi murahan Rizieq dari Surabaya, yang menuduh TNI, Polri dibeli oleh kepentingan Ahok, akan membuat masyarakat menyeret Rizieq FPI bertanggung jawab atas komporannya yang mencibir kekuasaan. Sikap dan perilaku Rizieq ini sekali lagi membuat polarisasi menguat namun tak mampu menarik simpati di luar pendukung awal – malah mengembosi.
Pun warga DKI pun telah lelah menonton drama Pilkada DKI yang disetir oleh FPI, MUI, FUI, HTI dengan kasus Ahok. Kasus Ahok menggerus dukungan di satu sisi, namun di sisi lain semakin membuat kesadaran bahwa Jakarta harus tetap dikuasai oleh Gubernur yang jauh dari pengaruh FPI, HTI, FUI,
partai agama PKS yang radikal dan eksklusif. Satu-satunya pilihan adalah menolak Anies.
Kesembilan, silent operation murahan yang gampang terdeteksi. Adanya operasi partai agama PKS di masyarakat untuk secara all-out mendukung Anies yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan massif, dengan dukungan dana luar biasa, termasuk bergeraknya FPI, HTI, dan FUI menggalang dukungan dari luar Jakarta, membuat kubu Ahok melakukan perlawanan.
Penggunaan dana besar dan pemanfaatan masjid sebagai alat kampanye politik membuat warga terpecah. Warga DKI yang moderat serta-merta memandang masjid dijadikan alat politisasi agama. Belum lagi Anies yang menggandeng FPI menjadikan Jakarta Bersyariah hanya akan menyurutkan dukungan warga DKI yang pluralis. Akibatnya dukungan pun diberikan kepada Ahok-Djarot yang mendukung Pancasila, kemajemukan, dan NKRI serta Islam rahmatan lii alamin – bukan Islam radikal ala FPI.
Kesepuluh, faktor dukungan JK terhadap Anies dan sikap politik JK yang sebagai pentolan DMI alias Dewan Masjid Indonesia terkait penggunaan masjid sebagai alat politik. Sikap JK ini bukannya mendorong warga DKI pendukung Presiden Jokowi beralih ke Anies, namun malah tetap memberikan dukungan kepada mantan wagubnya Gubernur Jokowi yakni Ahok.