Jelang lima hari pencoblosan Pilkada DKI, pertarungan semakin sengit. Pasca debat pun warga DKI semakin menonton drama antara Anies yang didukung oleh FPI dengan Ahok yang didukung oleh relawan. Survei menempatkan posisi Anies unggul sedikit di atas Ahok. Namun kontestasi kedua pasangan semakin sengit akibat adanya gerakan yang tidak dipahami oleh publik dan media. Pergolakan psikologis, relijius, dan kultural menjadi intens dan hal ini merugikan Anies.
Lembaga survei menempatkan Anies sebagai pemenang, dengan catatan lembaga survei bayaran lebih berperan menggoreng hasil. Bahkan lembagai survei sekelas LSI Denny JA pun telah dibeli oleh Tim Anies. Kini, pertarungan berlanjut dan dinamika di lapangan justru mengarah ke kekalahan Anies. Hal ini justru akan membuat publik antipati terhadap Anies – sebagaimana halnya peristiwa pilpres 2014.
Mari kita telaah 11 penentu krusial kemenangan Ahok yang tak dipahami oleh publik dengan hati gembira ria riang senang suka-cita bahagia selamanya sambil  menertawai kekalahan Islam radikal, FPI, FUI, HTI, dan partai agama PKS yang gagal menggalang masyarakat DKI selamanya senantiasa.
Pertama, tercipta polarisasi persis seperti Pilpres 2014. Prabowo yang mendukung Anies; dan komunikasi mampat sementara Prabowo-Jokowi. Publik terpolarisasi sentiment dukungan bahwa memilih Anies sama dengan memilih Prabowo. Secara langsung ajakan ini menyingkirkan simpati pemilih yang tidak memilih Prabowo di Pilpres 2014.
Akibat polarisasi ini, bagi pendukung Presiden Jokowi tercipta anggapan bahwa memilih Anies sama dengan memberi peluang Prabowo maju di 2019. Fakta ini didukung oleh kenyataan hampir 100% pendukung Jokowi di Pilpres 2014 memberikan dukungan kepada Ahok. Dan hampir 100% pendukung Prabowo mendukung Anies.
Namun karena potret kemenangan Jokowi di Pilpres 2014 membuat Ahok mendapatkan dukungan lebih besar.
Kedua, kasus Ahok membuat polarisasi dukungan dari kalangan minoritas etnis dan agama non Islam bersatu. Wilayah dengan para kantong minoritas etnis Tionghoa, Ambon, Batak, Betawi, Jawa, Nias, Madura mendukung Ahok – maka Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Kepulauan Seribu pun dimenangi oleh Ahok. Sebaliknya kantong ormas dan masyarakat pinggiran berpendidikan rendah Jaksel dan Jaktim mendukung Anies – maka di dua wilayah ini Anies menang.
Polarisasi dan dukungan yang terbelah ini terbukti dengan secara sadar Timses Anies fokus memecah kebuntuan ini dengan menggalang dukungan simbolis bahwa ada kalangan Kristen pendukung Anies. Suatu hal yang minim dan tak lebih dari 1 persen non Muslim mendukung Anies.
Sebaliknya, kesadaran kalangan pinggiran dalam Pilgub putaran I mendukung Anies, membuat kesadaran Timses Ahok untuk merebut dukungan kalangan pinggiran dan berpendidikan rendah di Jaktim dan Jaksel.
Pertarungan seperti ini justru hanya membuat polarisasi semakin mengental dan pergeseran suara hanya akan ditentukan oleh swing voters; massa mengambang. Artinya, perubahan dan pengalihan dukungan antar pendukung akan sangat kecil.
Ketiga, faktor SBY yang netral dan ketakutan mendukunga salah satu calon. Ketakutan SBY ini mengakibatkan kemarahan Prabowo – yang tidak pernah didukung oleh SBY semenjak kejadian Prabowo menggebuki SBY di Magelang di AMN Magelang dulu.
Akibat langsungnya adalah para pendukung Agus cenderung mendukung Ahok karena pembelaan bahwa Prabowo pernah secara fisik menghajar SBY – seperti dituturkan oleh Hermawan Sulistyo. Pun suasana batin pendukung Demokrat sepenuhnya mendukung Ahok setelah kekalahan Agus.
Keempat, faktor PKB dan PPP yang mendukung Ahok. Bersatunya PPP dan PKB mendukung Ahok menjadi senjata mematikan yang memberi Ahok-Djarot amunisi kuat yang secara telak menohok Anies yang hanya didukung oleh gerakan Islam radikal FPI, partai agama PKS, dan partai apkiran PAN, dan partai Gerindra. Dukungan PKB dan PPP – selain Golkar, PDIP, Hanura, NasDem – yang identik dengan NU dan GP Anshor membuat kekuatan Ahok makin menggurita.
Ingat bahwa dalam Pilgub putaran I, NU dan GP Anshor masih netral akibat sikap MUI yang terus menggembosi Ahok. Baru dalam putaran II secara jelas NU dan PKB dan GP Anshor secara tegas menolak Anies yang didukung oleh gerakan Islam radikal FPI dan partai agama PKS.
Dinamika ini menjadi lebih menarik ketika Lulung mendukung Anies yang justru semakin membuat stigma mendukung Anies sama dengan memberi angin kalangan status quo DPRD DKI – yang marah atas sikap Ahok-Djarot yang memreteli kecenderungan korup anggota DPRD DKI yang dibuktikan oleh Muhammad Sanusi.
Kelima, faktor Prabowo yang mendua dalam bersikap antara membela NKRI dengan membela kepentingan FPI. Sikap kebangsaan Prabowo menjadi senjata pembunuh bagi kalangan simpatisan Prabowo. Bagaimana mungkin akhirnya Prabowo bersekutu dengan FPI sementara selama ini Prabowo digambarkan sebagai garda terdepan pengawal NKRI.
Artinya, komitmen Prabowo untuk kebangsaan dan NKRI – karena mendukung Anies dan FPI – menjadi boomerang jangka pendek di DKI dan jangka panjang Prabowo sendiri di 2019. Publik pun berbalik dan bersatu melawan sinyalemen dan kecenderungan Prabowo yang menghalalkan segala cara untuk agenda 2019 dengan menggandeng FPI. Suatu blunder politik yang tak dipikirkan oleh Prabowo – dan jelas akan menghantam dan menyurutkan dukungan terhadap Prabowo dan dalam 5 hari Anies terlempar ke jurang kekalahan.
Keenam, sikap partai agama PKS, FPI, dan survei abal-abal. Gerakan Islam radikal FPI yang kebablasan – sebagai bagian juga jebakan strategi yang dimakan mentah oleh Timses Anies-Sandi – membuat stigma partai agama PKS dan FPI makin memburuk. Akibatnya, bagi kalangan partai agama PKS dan FPI makin kuat mendukung Anies.
Namun, bagi kalangan swing voters kelakuan pemalsuan data survei oleh partai agama PKS sejak Pilpres 2014 yang membuat hasil quick-count dan real count palsu tanpa bukti menjadi pelajaran yang membuat kepercayaan publik menjadi nol. Para swing voters yang rasional dan melek internet yang hanya berjumlah 5% di DKI justru menjadi penentu kemenangan Ahok.
Akan tetapi yang menjadi masalah adalah para swing voters ini tak akan memilih dan cenderung cuek dan hanya berkoar di medsos tanpa mau memilih. Dalam kondisi status quo dukungan ini perebutan suara menjadi semakin sengit.
Ketujuh, dukungan dana yang sangat besar dari Timses Anies yang tidak efektif digunakan. Dana besar untuk gerakan FPI dan Anies membuat fokus pembagian dana menjadi buyar – ketidaktepatan sasaran dan dana yang tidak pas sasaran karena sistem Timses Anies adalah dengan hanya melibatkan pendanaan top-down tanpa melibatkan swadaya masyarakat, maka dana yang tak tepat sasaran penyalurannya membuat para pendukung Anies dan FPI kecewa.
Akibatnya, gegara penyaluran dana ini bisa membuat mereka kecewa dan akan mengalihkan dukungan ke Ahok. Kalangan pingggiran ini tidak memiliki militansi dan hanya bergerak karena peredaran dana – baik dari kalangan iuran partai agama PKS maupun cukong dan dana pribadi Sandi.
Kondisi ini diperparah oleh adanya kenyataan dukungan masyarakat yang suka-rela dan membantu Ahok dalam pemenangan dari dana masyarakat dan dana partai serta pendana lainnya yang jelas lebih efektif menggerakan secara sukarela dan kepartaian. Mesin partai digerakkan secara massif.
Belum lagi sekarang ini Sandiaga Uno sedang mengalami kegalauan karena fakta kemenangan telak yang sampai 92% dan 83% yang digemborkan oleh kalangan partai agama PKS dan FPI adalah semu. Gerogotan keuangan Sandi – sementara Anies dengan cerdik tidak menyumbang dana sepeserpun – telah membuat Sandi goyah.
Kenyataan fakta kemenangan menjauh membuat pengeluaran Sandi menjadi direm; di sisi lain Sandi juga kebingungan membuat keputusan antara mengeluarkan lebih banyak tetapi belum tentu menang, atau berhenti menggelontorkan uang dan tetap kalah.
Jadi konflik kepentingan aliran dana membuat kekecewaan kalangan simpatisan pendukung Anies dan apatis. Belum lagi kenyataan bahwa pendanaan kampanye sama sekali tidak menggerus dana dari partai agama PKS. Partai agama PKS – seperti halnya Anies – tidak mengeluarkan uang secara besar-besaran.
Kedelapan, penolakan warga DKI terhadap keberadaan FPI dan gerakan menolak FPI oleh para ormas pendukung NKRI. Sentimen anti FPI dan HTI serta FUI – yang pentolannya terlibat kasus hukum – memang  di satu sisi menggerakkan para anggota FPI – namun di sisi lain tak mampu menarik dukungan dari kalangan Islam moderat. Mayoritas warga Muslim Nahdliyin alias NU menolak Islam radikal FPI, sehingga FPI menjadi faktor berkurangnya suara Anies.
Terlebih lagi pidato Rizieq FPI di Surabaya yang berapi-api dan jika di Jakarta terjadi kerusuhan akibat provokasi murahan Rizieq dari Surabaya, yang menuduh TNI, Polri dibeli oleh kepentingan Ahok, akan membuat masyarakat menyeret Rizieq FPI bertanggung jawab atas komporannya yang mencibir kekuasaan. Sikap dan perilaku Rizieq ini sekali lagi membuat polarisasi menguat namun tak mampu menarik simpati di luar pendukung awal – malah mengembosi.
Pun warga DKI pun telah lelah menonton drama Pilkada DKI yang disetir oleh FPI, MUI, FUI, HTI dengan kasus Ahok. Kasus Ahok menggerus dukungan di satu sisi, namun di sisi lain semakin membuat kesadaran bahwa Jakarta harus tetap dikuasai oleh Gubernur yang jauh dari pengaruh FPI, HTI, FUI,
partai agama PKS yang radikal dan eksklusif. Satu-satunya pilihan adalah menolak Anies.
Kesembilan, silent operation murahan yang gampang terdeteksi. Adanya operasi partai agama PKS di masyarakat untuk secara all-out mendukung Anies yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan massif, dengan dukungan dana luar biasa, termasuk bergeraknya FPI, HTI, dan FUI menggalang dukungan dari luar Jakarta, membuat kubu Ahok melakukan perlawanan.
Penggunaan dana besar dan pemanfaatan masjid sebagai alat kampanye politik membuat warga terpecah. Warga DKI yang moderat serta-merta memandang masjid dijadikan alat politisasi agama. Belum lagi Anies yang menggandeng FPI menjadikan Jakarta Bersyariah hanya akan menyurutkan dukungan warga DKI yang pluralis. Akibatnya dukungan pun diberikan kepada Ahok-Djarot yang mendukung Pancasila, kemajemukan, dan NKRI serta Islam rahmatan lii alamin – bukan Islam radikal ala FPI.
Kesepuluh, faktor dukungan JK terhadap Anies dan sikap politik JK yang sebagai pentolan DMI alias Dewan Masjid Indonesia terkait penggunaan masjid sebagai alat politik. Sikap JK ini bukannya mendorong warga DKI pendukung Presiden Jokowi beralih ke Anies, namun malah tetap memberikan dukungan kepada mantan wagubnya Gubernur Jokowi yakni Ahok.
Dukungan JK terhadap Anies ini dilatarbelakangi oleh keinginan dan nafsu JK untuk berkongsi dengan Prabowo atau bahkan Anies di 2019. Bisa jadi Prabowo yang mengusung Anies – dengan aliansi Anies-JK akan membuat Prabowo kecewa mengusung Anies. Yang akhirnya Prabowo ditinggalkan. Dalam Pilgub 2012, Prabowo mendukung Ahok dengan harapan dukungan Wagub Ahok dan Gubernur Jokowi mendukung Prabowo. Senyatanya dukungan Prabowo terhadap Jokowi-Ahok hanya menjadi jalan bagi Jokowi menjadi Presiden RI dan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Terlebih lagi yang bermain di lingkaran Anies-Prabowo sekarang adalah JK dengan kekuatan Aksa Mahmud dan Erwin Mahmud yang berambisi politik seperti JK. Kondisi dilematis ini membuat Prabowo dan pendukungnya gerah dan tidak fokus karena dukungan Prabowo ke Anies hanyalah sasaran antara menuju 2019 bagi Prabowo. Yang justru senyatanya permainan JK membuat kubu Prabowo pendukung Anies gerah.
Kondisi psikologis ini memengaruhi dukungan pendukung Prabowo kepada Anies. Ini tentu menguntungkan bagi pasangan Ahok-Djarot.
Kesebelas, adanya silent operation baik sebagai operation an sich, maupun contra-operation secara masif dari Timses Ahok dengan koordinasi antar partai dan relawan yang efektif menghancurkan dukungan dari kalangan warga pinggiran di Jaktim dan Jaksel yang di putaran I mendukung Anies, kini beralih mendukung Ahok.
Demikian gambaran kemenangan Ahok karena adanya 11 faktor yakni (1) polarisasi persis seperti Pilpres 2014, (2) polarisasi akibat komporan FPI, FUI dan MUI berdasarkan etnis dan agama, (3) SBY yang tidak mendukung Prabowo dan Anies, (4) PKB dan PPP serta Nahdliyin dan NU serta GP Anshor mendukung Ahok, (5) Prabowo yang mendukung aliansi Anies dengan FPI, (6) sikap partai agama PKS, FPI, yang menyebarkan survei penuh abal-abal yang membuat warga DKI swing voters antipati dan mengalihkan dukungan ke Ahok.
Berikutnya, (7) dukungan dana yang sangat besar dari Timses Anies yang tidak tepat sasaran justru memecah dukungan, (8) penolakan warga DKI terhadap keberadaan FPI dan gerakan menolak FPI oleh para ormas pendukung NKRI, (9) silent operation murahan yang gampang terdeteksi yang dilakukan oleh FPI dan partai agama PKS di masjid-mesjid, (10) faktor dukungan JK terhadap Anies dan sikap politik JK yang sebagai pentolan DMI alias Dewan Masjid Indonesia terkait penggunaan masjid sebagai alat politik.
Lalku yang penting pula (11) adanya silent operation timses Ahok yang efektif menghancurkan dukungan di kalangan warga pinggiran berpendidikan rendah pendukung Anies.
Itulah 11 faktor penentu kemenangan Ahok di Pilgub DKI yang publik tidak pernah tahu.
Salam bahagia ala saya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H