Akibat langsungnya adalah para pendukung Agus cenderung mendukung Ahok karena pembelaan bahwa Prabowo pernah secara fisik menghajar SBY – seperti dituturkan oleh Hermawan Sulistyo. Pun suasana batin pendukung Demokrat sepenuhnya mendukung Ahok setelah kekalahan Agus.
Keempat, faktor PKB dan PPP yang mendukung Ahok. Bersatunya PPP dan PKB mendukung Ahok menjadi senjata mematikan yang memberi Ahok-Djarot amunisi kuat yang secara telak menohok Anies yang hanya didukung oleh gerakan Islam radikal FPI, partai agama PKS, dan partai apkiran PAN, dan partai Gerindra. Dukungan PKB dan PPP – selain Golkar, PDIP, Hanura, NasDem – yang identik dengan NU dan GP Anshor membuat kekuatan Ahok makin menggurita.
Ingat bahwa dalam Pilgub putaran I, NU dan GP Anshor masih netral akibat sikap MUI yang terus menggembosi Ahok. Baru dalam putaran II secara jelas NU dan PKB dan GP Anshor secara tegas menolak Anies yang didukung oleh gerakan Islam radikal FPI dan partai agama PKS.
Dinamika ini menjadi lebih menarik ketika Lulung mendukung Anies yang justru semakin membuat stigma mendukung Anies sama dengan memberi angin kalangan status quo DPRD DKI – yang marah atas sikap Ahok-Djarot yang memreteli kecenderungan korup anggota DPRD DKI yang dibuktikan oleh Muhammad Sanusi.
Kelima, faktor Prabowo yang mendua dalam bersikap antara membela NKRI dengan membela kepentingan FPI. Sikap kebangsaan Prabowo menjadi senjata pembunuh bagi kalangan simpatisan Prabowo. Bagaimana mungkin akhirnya Prabowo bersekutu dengan FPI sementara selama ini Prabowo digambarkan sebagai garda terdepan pengawal NKRI.
Artinya, komitmen Prabowo untuk kebangsaan dan NKRI – karena mendukung Anies dan FPI – menjadi boomerang jangka pendek di DKI dan jangka panjang Prabowo sendiri di 2019. Publik pun berbalik dan bersatu melawan sinyalemen dan kecenderungan Prabowo yang menghalalkan segala cara untuk agenda 2019 dengan menggandeng FPI. Suatu blunder politik yang tak dipikirkan oleh Prabowo – dan jelas akan menghantam dan menyurutkan dukungan terhadap Prabowo dan dalam 5 hari Anies terlempar ke jurang kekalahan.
Keenam, sikap partai agama PKS, FPI, dan survei abal-abal. Gerakan Islam radikal FPI yang kebablasan – sebagai bagian juga jebakan strategi yang dimakan mentah oleh Timses Anies-Sandi – membuat stigma partai agama PKS dan FPI makin memburuk. Akibatnya, bagi kalangan partai agama PKS dan FPI makin kuat mendukung Anies.
Namun, bagi kalangan swing voters kelakuan pemalsuan data survei oleh partai agama PKS sejak Pilpres 2014 yang membuat hasil quick-count dan real count palsu tanpa bukti menjadi pelajaran yang membuat kepercayaan publik menjadi nol. Para swing voters yang rasional dan melek internet yang hanya berjumlah 5% di DKI justru menjadi penentu kemenangan Ahok.
Akan tetapi yang menjadi masalah adalah para swing voters ini tak akan memilih dan cenderung cuek dan hanya berkoar di medsos tanpa mau memilih. Dalam kondisi status quo dukungan ini perebutan suara menjadi semakin sengit.
Ketujuh, dukungan dana yang sangat besar dari Timses Anies yang tidak efektif digunakan. Dana besar untuk gerakan FPI dan Anies membuat fokus pembagian dana menjadi buyar – ketidaktepatan sasaran dan dana yang tidak pas sasaran karena sistem Timses Anies adalah dengan hanya melibatkan pendanaan top-down tanpa melibatkan swadaya masyarakat, maka dana yang tak tepat sasaran penyalurannya membuat para pendukung Anies dan FPI kecewa.
Akibatnya, gegara penyaluran dana ini bisa membuat mereka kecewa dan akan mengalihkan dukungan ke Ahok. Kalangan pingggiran ini tidak memiliki militansi dan hanya bergerak karena peredaran dana – baik dari kalangan iuran partai agama PKS maupun cukong dan dana pribadi Sandi.