“Kapas asalnya bukan dari Indonesia!”
“Nah itu yang saya pikirkan Guru. Biji kapas itu dibawa oleh Belanda ke Indonesia. Jadi kafir juga ya?” tanya Fahira agak bingung.
“Jadi gimana mau memintalnya tanpa alat tenun?” tanyaku.
“Iya itu yang membuat sedih aku!” sahutnya lirih.
“Hai Fahira Risiq, perhatikan baik-baik ya. Guru tidak pernah mengajarkan kehidupan soliter begitu. Ajaran saya hanya tentang tidak boleh menjadikan pemimpin agama dari kaum lain, dari agama lain. Tidak masuk akal pemimpin agama kita adalah orang beragama lain. Kalau pemimpin politik tidak ada hubungannya dengan agama. Apalagi pelayan rakyat, sama sekali tak terkait dengan agama,” kataku panjang lebar.
“Jadi?” kata Fahira bingung.
“Bahkan junjungan kita mengajarkan kita untuk hidup dengan semua bangsa dan semua bangsa yang berbed diciptakan untuk saling mengenal. Pun diajarkan pula oleh junjungan kita agar kita bekerja sama dan berdagang dengan orang Yahudi, Majusi, dan Nasrani, Hindu, Buddha, Konghucu dan kepercayaan lain. Itu urusan hubungan dengan manusia dengan manusia.” jelasku.
“Maaf Guru, saya salah memahami ajaran Guru. Mana sarungnya? Dingin sekali, Guru!” kata Fahira lirih.
Fahira pun memakai sarung. Dengan lahapnya dia makan roti dengan gandum dari negeri kafir. Fahira pun berangsut masuk ke kamar tidur tamu yang terpasang poster Agus, Ahok, Anies.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H