Pilkada DKI adalah pilkada yang paling panas dengan pasangan calon Agus-Silvi, Ahok-Djarot, dan Anies-Sandi. Pilgub DKI menjadi sangat penting bagi keberlangsungan DKI Jakarta untuk lima tahun ke depan yang sangat menentukan. Warga DKI Jakarta yang cerdas tentu akan semakin paham tentang pilihannya setelah debat semalam yang memetakan kekuatan dan kemampuan para kandidat. Maka hasil dari debat Pilkada DKI Jakarta menjadi barometer kekuatan pendukung masing-masing pasangan kandidat.
Untuk Pilkada DKI Jakarta ini ada baiknya warga Jakarta membaca kisah perempuan sufi dari Gua Wirosableng 212 dengan hati gembira ria riang senang bahagia suka-cita bahagis menari menyanyi koprol tertawa sambil merenungi pilihan antara Agus, Ahok atau Anies selamanya senantiasa.
Aku terkejut. Di depanku, seorang muridku, Fahira Risiq duduk tanpa mengenakan pakaian selembar pun. Tampak tubuhnya yang molek dengan berbagai bagian tubuh nyaris tak tertutup. Rambut panjangnya yang lebat menutupi dadanya. Pun juga dua pasang kaki disilangkan menutup semua bagian vital tubuhnya, dengan sehelai kulit kayu bak rok zaman Flintstone.
Untung cahaya di dalam gubuk aku hanya diterangi oleh pelita dari minyak jarak yang aku ambil dari pekaranganku. Jadi temaram.
“Ini untuk menutup tubuhmu!” kataku sambil memberikan sehelai sarung buatan Tegal.
“Tidak Guru, maaf. Haram!” sahutnya menolak sarung untuk menutupi tubuhnya.
Fahira Risiq duduk bersila di tanah dan tidak mau duduk di tikar yang tergelar. Alasannnya mendong bahan tidak dibabat dengan pisau dan pewarna buatan untuk tikar dibuat di pabrik dengan bahan berasal dari negeri Barat – yang kafir.
“Ingat, Fahira. Gubuk dengan atap rumbia ini pun dipotong dengan pisau yang bajanya buatan Barat!” kataku.
Fahira terdiam. Fahira tahu bahwa menjadi haram masuk rumah yang menggunakan teknologi Barat. Wah.
“Maaf, Guru, malam-malam saya datang!” kata Fahira Risiq.
Aku terdiam, memalingkan wajahku ke sisi kanan agar tidak melihat tubuhnya.
“Guru pasti kaget melihat aku setengah telanjang begini. Aku tidak gila. Aku waras!” tegas Fahira.
Fahira menutupi bagian pinggangnya dengan kulit kayu.
“Trus,” kataku singkat.
“Semua ini karena perintah Guru!”
“Perintahku?” tanyaku terharan.
“Iya!”
“Tentang apa?”
“Tentang jangan bekerjasama dengan orang kafir, orang yang tidak seiman dan sekepercayaan dengan kita!” jelasnya.
Aku terheran.
“Loh kok sampe kamu setengah telanjang begini?”
“Guru kan bilang kita jangan bekerjasama dengan orang kafir,” katanya.
“Iya. Lalu apa hubungannya dengan telanjangnya kamu dan kamu sampai tinggal di gua?”
“Gelap lagi gua dan dingin, Guru!”
“Kamu kok nekat?”
“Setelah saya pikir, keputusan saya justru mengikuti nasihat Guru secara komplit. Lengkap.”
“Kok?”
“Kalau dalam bahasa Arab artinya kaffah ya!”
“Kalau dalam bahasa Jawa paripurna!” timpalku.
“Kalau bahasa Sunda sagala aya!” tambah Fahira.
Aku tercenung.
“Guru,” kata Fahira lembut.
“Ya, Murid!”
“Ajaran komplit saya lebih dahsyat dibanding Guru ajarkan!”
Fahira memaparkan pikirannya. Bagi Fahira konsep tidak bekerjasama dimaknai sangat luas. Ajaran tidak kompromi dengan orang yang tidak seiman dimaknai secara luas dan mencengangkan.
Pertama soal pakaian. Fahira telanjang karena Fahira berpikir benang dan alat pintal benang dibuat di pabrik. Sementara peralatan mesin pabrik adalah buatan orang kafir. Maka menjadi haram pakaian yang dipakainya. Wah.
“Maka saya tak mau pakai pakaian selain yang saya tenun sendiri dengan menanam kapas.”
Soal uang. Uang yang dicetak, itu juga haram dan tak boleh dipakai. Karena uang juga dicetak dengan mesin pencetak uang buatan Jerman – negeri kaum kafir. Wah.
“Maka perdagangan harus dengan barter.”
Aku terdiam.
“Ini ada roti Sari Roti! Silakan makan ya!”
Fahira menolak makan. Disampaikan bahwa gandum dan gist yang dipakai berasal dari negara-negara kafir seperti Russia, Australia, dan bahkan musuh bebuyutan Amerika Serikat. Artinya dari negeri kafir. Belum lagi alat angkut berupa kapal dan mesinnya semuanya buatan negeri kafir. Haram. Wah.
“Belum lagi mesin pembuat rotinya juga buatan negeri kafir!” kata Fahira.
“Jadi tak mau makan?” tanyaku keheranan.
“Tidak!”
“Handphone dan Pajero kamu di mana?” tanyaku keheranan.
“Handphone dan teknologinya semua hasil produk Amerika dimulai oleh Alexander Graham Bell. Produk Amerika. Saya buang jadi saya tidak punya hape lagi!”
“Pajero?”
“Saya buang ke jurang karena bukan produksi sendiri. Produk Jepang. Negeri kafir!”
“Uang?”
“ Saya bakar agar tak digunakan!”
“Rumah kamu?”
“Semen dan pabrik semen dibangun dengan teknologi negeri kafir. Maka aku bakar rumah aku!”
“Sandal kamu?”
“Saya bakar! Produk negeri kafir!”
“Alat bakarnya apa?” tanyaku.
“Korek!”
“Buatan mana?”
“Tiongkok!”
“Haram kamu ya membakarnya?”
“Darurat hukumnya!”
“Ha ha ha ha.”
Fahira agak terkejut.
“Makanya Guru, saya pergi meninggalkan rumah demi menjaga perintah Guru! Saya akan menenun sendiri pakaian saya. Untuk itu saya pun tidak akan memakai cangkul dan sabit karena teknologi logam dan logam di pasaran sekarang menggunakan teknologi Barat yang nota bene kafir.”
“Lalu?” tanyaku terheran.
“Saya mau cari batu tajam di sungai untuk membuat pisau. Batu itu juga akan aku gunakan untuk menggali tanah. Bibit kapas pun akan aku cari di hutan.”
“Kapas asalnya bukan dari Indonesia!”
“Nah itu yang saya pikirkan Guru. Biji kapas itu dibawa oleh Belanda ke Indonesia. Jadi kafir juga ya?” tanya Fahira agak bingung.
“Jadi gimana mau memintalnya tanpa alat tenun?” tanyaku.
“Iya itu yang membuat sedih aku!” sahutnya lirih.
“Hai Fahira Risiq, perhatikan baik-baik ya. Guru tidak pernah mengajarkan kehidupan soliter begitu. Ajaran saya hanya tentang tidak boleh menjadikan pemimpin agama dari kaum lain, dari agama lain. Tidak masuk akal pemimpin agama kita adalah orang beragama lain. Kalau pemimpin politik tidak ada hubungannya dengan agama. Apalagi pelayan rakyat, sama sekali tak terkait dengan agama,” kataku panjang lebar.
“Jadi?” kata Fahira bingung.
“Bahkan junjungan kita mengajarkan kita untuk hidup dengan semua bangsa dan semua bangsa yang berbed diciptakan untuk saling mengenal. Pun diajarkan pula oleh junjungan kita agar kita bekerja sama dan berdagang dengan orang Yahudi, Majusi, dan Nasrani, Hindu, Buddha, Konghucu dan kepercayaan lain. Itu urusan hubungan dengan manusia dengan manusia.” jelasku.
“Maaf Guru, saya salah memahami ajaran Guru. Mana sarungnya? Dingin sekali, Guru!” kata Fahira lirih.
Fahira pun memakai sarung. Dengan lahapnya dia makan roti dengan gandum dari negeri kafir. Fahira pun berangsut masuk ke kamar tidur tamu yang terpasang poster Agus, Ahok, Anies.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H