Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Poligami dalam Poliandri, Keagungan Cinta

16 September 2012   03:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:24 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku genggam tangan kanannya dengan tangan kananku. Aku lingkarkan tangan kiriku di pinggangnya yang padat dan indah. Aku elus tubuhnya dengan elusan selembut sutra. Aku tatap matanya dengan tatapan penuh cinta dan bara hasyrat gejolak rasa ingin mencumbu menggelora. Rasa ini sungguh beda dengan ketika aku mencumbu istriku yang satu.

"Iya aku rasakan gejolak rasa yang lain..." kataku padanya.

"Iya apa karena kita mencuri-curi ya?" tanyanya dengan pandangan mata penuh cinta.

"Tidak ada yang mencuri-curi. Tidak ada yang kehilangan dari hubungan kita ini..." jelasku seperti biasanya.

"Ah ngomong sama kamu tuh kebanyakan pembenaran, menurut kamu, Mas..." sangkalnya sambil memeluk tubuhku.

"Iya jelas menurut aku. Yang ngomong juga aku hehehehe. Masak yang menjalani kita, kok aturannya menurut orang lain. Aneh... He he he," jelasku santai.

Dia mencubit pahaku. Duh pedih juga namun nikmat ketika merasakan cubitannya. Hakikat sakit sungguh aku pahami sebagai kenikmatan. Asal sakitnya bukan sakit pokok seperti sakit jantung, sakit kanker, buta, dan kelaianan tertentu. Sakit terpotong pisau jika dinikmati juga enak rasanya.

Saya jadi teringat ketika minggu lalu tengah mengendarai motor aku bertabrakan dengan dua orang pemuda. Pemuda itu melaju kencang dari arah berlawanan ketika menyalip angkot di depannya. Persis di samping angkot terjadi tabrakan sedikit dengan motorku. Aku tak mampu menghindari. Aku terjatuh ke arah kiri jalan dan terluka. Sementara dua pemuda itu jatuh ke sisi kiri di ujung belakang kanan angkot.

Pada saat terjatuh, di belakangnya melaju truk tronton beroda 20 yang melindas dua tubuh pemuda itu. Kres. Jedug. Blak. Remuk kepala dan dada dua pemuda itu. Mata kedua pemuda itu membelalak tak percaya. Kepala berdarah remuk dan dada rata terlindas empat roda mengakhiri napas mereka. Tampak kaki-kaki dan tangan menggelinjang sejenak. Lalu semua terhenti.

Aku yang terluka di kaki menikmati luka berdarahku dengan keindahan. Nikmat rasa luka berdarah. Aku yang laki-laki justru membayangkan rasa indah tercurahnya darah perawan. Sudah puluhan kali aku terjatuh dari motor hingga sekitar dengkul dan kakiku jadi langganan luka. Aku punya kebiasaan buruk, tidur di motor yang tengah melaju.

Karenanya aku sekarang lebih suka mengemudi mobil daripada bermotor. Masalahnya risiko mengendarai sepeda motor saat ini sungguh tak terbayangkan. Sepeda motor telah menjadi predator bagi sesama motor dan mobil. Betapa tidak, dengan 9,4 juta pengedara motor di Jakarta, artinya setiap ruas jalan dan trotoar dikuasai oleh sepeda motor.

Sepeda motor telah menjadi wabah, seperti demokrasi di Indonesia yang anarkis dan tirani. Sepeda motor adalah tirani jalanan yang menguasai Jakarta. Tidak ada aturan untuk sepeda motor. Karena jumlahnya empat kali jumlah mobil di Jakarta, sepeda motor menentukan arah kebijakan jalanan. Persis seperti partai politik. Sepeda motor adalah potret kebringasan berjamaah.

Padahal para pengendara motor ketika di tempat kerjanya adalah pribadi-pribadi yang sopan dan profesional. Di rumah pun mereka adalah pecinta yang hebat buat ibu, istri dan anak. Namun ketika mereka berkumpul di jalanan dengan serta merta mereka berubah beringas, tak sopan, senang memaki-maki, mau menang sendiri dan melanggar peraturan secara masif dan berjamaah.

Makanya jika aku merekrut karyawan, aku tanyakan apakah calon itu mengendarai motor. Jika dia naik sepeda motor akan saya selidiki bagaimana cara berkendara. Karena kepribadian dia sama dengan cara dia berkendara. Dan, kebanyakan pengendara motor bersikap seperti para koruptor. Jika sendirian baik di rumah atau kantor, pengendara motor sopan dan baik. Jika sudah berada di jalanan, perasaan sebagai kelompok besar, demikian juga para koruptor merasa tidak takut dengan risiko.

"Mas ..." katanya menyadarkanku.

"Iya. Aku hadir tanpa pretensi. Tulus. Aku tak tahu siapa dirimu sejak bertemu kali pertama dulu kan? Namun sekarang aku jujur menikmati hubungan kita. Aku datang untuk melengkapi kehidupan kamu..." kataku menjelaskan.

"Loh aku tidak kekurangan apa-apa.." katanya meyakinkanku.

"Iya aku tahu. Kamu memiliki segala-galanya. Keluarga bahagia. Terhormat. Justru di situlah kemenarikan kamu. Jelas aku tak mau berhubungan dengan orang yang tidak jelas. Aku tak mau berbagi dengan orang yang tak berbahagia. Karena aku juga orang yang berbahagia. Kita menggabungkan dua kebahagian, Sayang..."

"Loh kenapa nggak dengan yang muda-muda, kan mereka bebas.." katanya berusaha mengendorkan keyakinanku padanya. Ketertarikan dan pilihanku padanya.

"Bebas apaan? Kan kamu pernah cerita bahwa model percintaan seperti kita tak ada risiko sama sekali. Bahkan jika punya anak jelas orang tuanya.."

"Atau sama janda bagaimana hehehehe," katanya sambil tertawa. Tambahnya: "Kalau sama janda kan bebas dan selalu ada waktu. Kalau sama aku kan terbatas waktunya."

"Aku maunya kamu. Bukan mereka. Dan aku menginginkan hubungan yang berkualitas meski waktu kita terbatas buat kita. Justru itu yang menarik."

Malam makin larut kami menikmati malam itu dengan penuh kebahagiaan. Itu malam ketika suaminya pergi keluar kota. Namun dia tetap pulang ke rumahnya. Semua dilakukan dengan kesadaran tingkat tinggi.

"Iya Mas..."

"Aku datang untuk menambah keindahan hidup kamu. Mengisi waktu hidupmu dengan berbagi kebahagian lahir dan batin. Buat apa mobil mewah dan kekayaan kalau kita tak mampu memanfaatkan. Aku dikirimkan Tuhan untuk kamu. Agar kamu berbahagia. Kita akan resmikan hubungan kita. Kita akan menikah ya Sayang..."

"Apa bisa?"

"Ya bisa saja,"

"Iya ya Mas, aku dulu sengaja membawa odong-odong mobil mewahku untuk mengetes apakah kamu ngeper enggak. Apakah kamu sepadan dengan aku. Jujur di dalam jiwaku ada pikiran seperti itu. Hanya sekedar ngetes saja."

"Aku mah cuek saja dan dengan percaya diri menemuimu, di parkiran itu...hehehe."

"Ternyanya kita cocok ya sayang..."

"Iya bukti cinta kita suci tak melihat siapa kamu. Tapi aku sejak bertemu kali pertama tahu bahwa kamu bukan orang sembarangan. Dan benar."

"Iya ya.."

Aku jadi teringat pertemuanku dengannya dulu dengannya. Saat itu pukul 11:00 aku bergegas ke bengkel itu. Tak biasanya aku pergi ke tempat itu. Namun ada yang menggerakkan aku untuk datang ke sana. Di bengkel itu telah duduk rapi di kursi seperti metromini para pelanggan. Aku datang seperti biasa dengan caraku. Rapat tubuhku dengan jaket, kaos tangan pelindung, sepatu kets, dan kain pantai Bali. Aku mendaftarkan motorku di bagian pendaftaran. Pada saat itu saya terkesima dengan seorang perempuan muda, dia datang dengan tubuh ditutupi segala perlengkapan yang membuat matahari tak bisa menyentuh kulitnya.

Perempuan itu membuka kaca mata dan helmetnya. Tampak sorot matanya yang tajam dengan bulu mata lentiknya. Kulit tubuh dan bibirnya yang seksi sekilas menarikku untuk mendekatinya. Aku tergerak oleh kemolekan tubuh dan paras cantiknya. Aku melangkah dan duduk tepat di samping kanan perempuan itu.

"Mbak, taruh saja itu helmet daripada dipangku, kayak anak saja dipangku. Takut hilang ya?" kataku membuka pembicaraan.

"Biarin saja," kata perempuan itu cuek.

"Tinggal di mana?" tanyaku.

Agak lama perempuan itu menjawab pertanyaanku. Aku penasaran dan takut dia tak bisa aku dekati. Maka aku biarkan dia untuk santai dalam menjawab pertanyaanku.

"Motor yang mana yang diperbaiki?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Itu tuh yang di sana," sahutnya pada akhirnya.

"Motor tahun berapa?" tanyaku melanjutkan. Aku tak mau pembicaraan berhenti.

"Wah mana saya tahu. Nggak tahu tahun berapa?" jawabnya pendek.

"Loh memang tidak setiap hari memakainya sampai tak tahu tahun berapa dibelinya?" kataku setengah bertanya.

"Nggak tuh," sahutnya cuek.

Semakin penasaran aku dengan wanita ini. Apalagi sejak aku menikah sekitar dua tahun lalu aku adalah lelaki setia. Aku hanya berpacaran dengan seorang gadis Jepang. Ketika itu dia telah kembali ke negaranya. Aku harus mengakhiri hubunganku dengannya karena kontrak kerjanya telah berakhir. Tidak mungkin aku pergi ke Jepang mengikutinya. Itu adalah komitmen terbaik antara aku dan dia.

"Oh ya, tinggal di mana?" tanyaku lagi setelah sadar aku dari lamunan.

"Di Melati," sahutnya.

"Oh!"

Aku tak tahu di mana tempat yang disebutnya itu. Namun aku senang dia mulai mau menjawab pertanyaanku. Walaupun dia sedetikpun tak menengok apalagi menatap aku. Aku memahaminya. Mungkin dia tidak merasa nyaman bertatapan mata dengan lelaki yang bukan muhrimnya. Aku tetap menghargainya. Aku juga semakin tahu bahwa dia adalah perempuan baik-baik yang berkepribadian. Cantik raga, cantik hati dan cantik jiwa. Cantik pula cara berbusananya. Bisa saya pastikan bahwa dia bukan perempuan sembarangan.

"Suamiku juga suka menulis lho. Tapi menulis tentang biografi orang-orang terkenal..." ceritanya.

"Oh bagus kalau begitu.." sahutku menimpali.

Lalu dia bercerita tentang anaknya yang berjumlah enam orang. Dia juga bercerita tentang anaknya yang menyukai puisi. Aku juga ceritakan jika aku suka menulis di Kompasiana. Juga tulisan di berbagai harian di Indonesia. Aku adalah penulis dan penyair besar. Dia memerhatikan perkataanku namun tak menatapku. Dia menghindari upaya aku menatap matanya. Namun aku menangkap bahwa dia perempuan yang sangat menarik.

Waktu terus berlalu dengan berbagai cerita. Maka aku tanyakan hobinya. Katanya dia suka makan tapi tak banyak. Pantas tubuhnya indah tanpa lemak sedikitpun. Aku semakin kuatir waktu akan berlalu begitu saja. Yang ada dalam pikiranku, aku ingin segera mendapatkan paling tidak Facebooknya. Ternyata dia tidak punya akun Facebook. Lalu aku Tanya Twitter. Juga tidak punya.

"Wow asyik dong. Tuh yang masih bayi sebagai bonus ya...he he he," komentarku.

"Iya menyenangkan!" sahutnya pendek.

Motornya yang diperbaiki selesai dikerjakan. Aku semakin tertekan. Aku belum mendapatkan nomor teleponnya.

"Mbak minta nomor teleponnya dong..." kataku memberanikan diri.

Tak disangka dia memberiku nomornya. Namanya Syarla. Lala panggilannya. Aku catat nomor dia di ponselku. Sejurus kemudian perempuan itu meninggalkanku. Katanya dia akan pergi ke sekolah anaknya. Aku sendiri duduk terpaku membayangkan keindahan perempuan itu.

Beberapa bulan berlalu. Aku menelepon dia. Aku kirim SMS menceritakan siapa aku. Dia membalas dan bilang sibuk ada acara pengajian. Hari berikutnya aku sengaja menelepon. Namun tampaknya dia lupa pernah bertemu denganku. Tak apalah yang penting dia telah menerima teleponku. Beberapa minggu berlalu sejak aku menghubunginya.

"Kita telah kenal. Aku pengin bertemu kamu. Boleh nggak?" tanyaku dengan nada mengajak.

"Buat apa ketemuan?" tanyanya.

"Buat sharing aja apa yang kita bisa sharing!" sahutku.

Akhirnya kami berjanjian bertemu di sebuah mal baru di Serpong. Dia berjanji datang di sana, di area parkir. Aku sudah tiba lima belas menit lebih awal dari waktu yang kami sepakati. Akhirnya perempuan itu muncul dengan Toyota Camry terbaru. Mengenakan kaca mata hitam, dan balutan baju berwarna gelap menambah keanggunannya.

Aku temui dia dengan sikap biasa saja - walau sebenarnya dalam hati aku sangat mengaguminya. Aku juga merasa perempuan ini sengaja melakukan test terhadap mentalku. Apakah aku akan grogi dengan segala kemewahannya. Sungguh berbeda dia dengan apa yang aku temui di bengkel motor.

"Hai. Aku Niko...Ingat kan?" sapaku.

"Ya. Mau ke mana?" tanyanya.

Aku bawa dia berputar-putar di jalanan. Namun ada satu hal yang aku ingin tahu tentangnya. Seperti apa perempuan ini. Aku hanya ingin perempuan yang bermartabat. Maka aku sengaja mengajak dia untuk beristirahat di sebuah rumah makan. Kami menikmati makanan. Usai makan di rumah makan, aku sengaja mengajak check-in.

Betapa kagetnya aku - sesuai harapanku - perempuan cantik itu menolak setengah mati. Aku sebenarnya sangat senang karena dia perempuan baik-baik.

"Mas, aku nggak mau lho kalau soal-soal begituan..." katanya.

"Iya, aku tahu siapa kamu. Yang penting kita jalani saja pertemanan kita ini ya ..." sahutku.

Aku bangga dan senang mendapatkan perempuan seperti dia. Artinya dia perempuan yang aku inginkan. Jelas aku tak akan pernah mau berhubungan dengan cinta dengan perempuan yang gampangan. Sudah menjadi hal biasa para perempuan berkeliaran di sekeliling kita: sekedar mencari kesenangan. Katanya untuk mengisi waktu dan menghabiskan waktu banyak perempuan entah masih sekolah atau sudah bekerja, pun yang sudah menikah. Media sosial seperti facebook, twitter dan aneka blog dimanfaatkan untuk menjaring ketertarikan antara lawan jenis. Namun yang aku temukan justru perempuan yang tegas dan berkarakter.

Waktu berlalu. Bagiku perempuan itu sungguh menarik. Tak ada yang bisa menghentikanku untuk menjadikan dirinya sebagai pendampingku seumur hidup.

"Mas aku ini udah punya suami," katanya ketika menjawab perkataanku.

"Loh emangnya kenapa? Tuhan menciptakan cinta. Semua cinta adalah ciptaan Tuhan dan itu wajib disyukuri. Menolak cinta sama dengan mengingkari nikmat dari Tuhan. Berdosa!" jelasku meyakinkannya.

"Wah aneh sekali. Mana bisa kita hidup selamanya, Mas..." katanya sambil menggenggam tanganku.

"Aku juga punya istri. Kenapa tidak bisa. Kita yang menjalani. Kita yang menentukan. Tuhan telah mempertemukan kita dalam cinta. Itu kita harus syukuri. Jadi kita ini sudah pada trak yang benar. Menikmati cinta dan menyukuri datangnya cinta pada kita. Cinta tak dapat diciptakan dan tak dapat dihapus."

"Loh memang kita bisa menikah?" tanyanya.

"Ya bisa saja. Kenapa tidak?"

"Itu kalau kamu. Nah untuk perempuan tidak bisa," katanya ragu.
"Loh hukum itu dibuat oleh siapa yang berkuasa. Pada zaman Mesir Kuno, dan zaman Veda di India kehidupan poliandri berlangsung ribuan tahun. Lalu berubah sekarang yang dilegalkan poligami. Ini soal persepsi saja," jelasku.

"Ya sudahlah Mas aku ikuti saja..."

"Jangan ikuti aku. Ikuti kata hatimu. Cinta tidak bisa aku sendiri. Harus ada kamu. Jadi ini kesepakatan dan cinta kita berdua.."

"Iya cinta kita!" katanya.

Akhirnya kami sepakat untuk menjalani kehidupan bersama dengan berbagi cinta selamanya. Aku mencintainya sampai langit tertinggi alias sundul langit. Aku sungguh ingin selalu berbagi kehidupan setiap saat. Namun aku juga paham dan menyadari bahwa kami harus berbagi. Berbagi dengan keluarganya dan keluargaku. Itulah kehidupan yang begitu indah dan memberikan warna baru bagi kehidupan.

"Sayang, tak semua orang beruntung seperti kita. Menikmati indahnya cinta yang luar biasa pada usia matang kita.." kataku meyakinkan dirinya.

"Mas rasanya aku tak percaya kau hadir dalam hidupku," katanya sambil memeluk tubuhku.

"Iya ini semua adalah rencana dari Allah. Aku bersyukur bertemu mantan pramugari yang jelas cantik dan menarik. Duh indahnya. Kita jalani dan nikmati, Sayang."

"Ya."

Sore itu matahari menyinari bangunan Sol Elite Marbella di pantai Serang, Banten. Dari balkon yang menghadap ke lautan dan Selat Sunda tampak matahari berwarna kemerahan. Indah sekali. Aku rapatkan tubuhku padanya. Aku sadar kami di luar ruangan. Pada saat mentari tenggelam di ufuk barat, aku rengkuh tubuh indah istriku dan aku bopong masuk ke dalam kamar nomor 107. Dan lautan keindahan cinta berpadu di dalamnya. Aku dan dia menikmati rasa keindahan cinta sebagai perwujudan surga di dunia. Sungguh indah.

Aku ingat satu puisi dari Wakil Presiden Penyair Indonesia yang aku baca di Kompasiana.

***jika kau mempertanyakan cintaku padamu
padahal kau tahu itu tanda cintamu padaku
semakin kau tanyakan itu
tanda itu akan muncul selalu
bahwa cintaku padamu tak akan layu
bahwa kau juga harap begitu
bahwa cintaku-mu akan selalu berpadu
dalam melodi cinta indah yang satu
karena kau adalah aku
dan aku adalah kamu
kau-ku satu
cintaku-mu
itu ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun