Tak ada lagi yang menyapaku kini. Denting piano atau kicauan burung yang kadang hadir dalam kamar penuh kertas dan baju yang aku diami, hilang bak ditembak serdadu Belanda, burungnya maupun pianisnya. Sunyi, sekarang benar-benar sepi. Memang silih berganti dan sahut-bersahut bunyi-bunyi yang lain, tapi bukan twet twet si burung mungil yang menggemaskan itu, atau denting piano pianis piawai yang aku rindukan. Sudah dua hari ini, kamar ini menjadi begitu mengharu biru, sepi, sedih, dan hampa. Sering aku harus mematikan nada suara di kamarku, karena aku merasa sangat terganggu, tapi tanganku terus meraih handphone hitamku atau putihku, mengangkatnya, dan menyimak, kalau-kalau ada simbol si telepon hijau bertengger di sana. Sesekali ada, tapi ketika aku membukanya, bukan darinya. Dan aku selalu melirik ke identitasnya, belum dibaca. Aneh. Dia bilang dia sangat sibuk kemarin, tapi hingga sore, senja, tarawih berakhir, bahkan hingga malam saat mataku sudah tak sanggup lagi berjaga, tak ada pesan darinya.
Pagi ini, saat mataku terbuka pertama kali, bahkan belum benar-benar terbuka, aku langsung meraih si hitam. Aku melihat dua pesan, darinya.
Tarawih dulu,
Ya Say.
Sudah, itu saja. Dan aku menatap jam yang ditunjukkan di sana, 22:19 WIB, aku sudah tertidur mungkin, atau aku sudah dalam keadaan terpuruk tanpa asa.
Iya Sayang...
Itu jawabanku. Tidak lebih. Kerana aku tidak ingin lagi mengumbar kata-kata yang hanya dibaca dan dijawab sepatah dua olehnya. Semua sudah berubah. Cepat. Hanya dalam waktu tiga empat hari. Dan malam ini, rembulan membawa cintaku pergi, melayang-layang entah ke mana. Aku bahkan tidak tahu, apakah rembulan akan mengembalikannya padaku esok pagi.
Dan hari ini, aku lebih suka mengatakan bahwa dia tidak membalas pesanku. Begitu, lebih bisa mewakili perasaanku saat ini. Satu simbol ciuman dikirimkannya dinihari. Aku membalasnya dengan gambar yang sama di subuh hari. Lalu aku menambahkan dua pesan di pagi hari, setelah aku selesai menuliskan karanganku, dan satu lagi di siang hari, ketika aku mengetahui bahwa dia telah membaca pesanku. Sama saja. Dua centang biru di sore hari, dan tidak ada pesan darinya. Ah, mungkin rembulan lupa mengembalikannya padaku hari ini. Mungkin dia sedang berkelana di atas sana dan tidak ingin pulang. Mungkin dia berjumpa dengan bidadari-bidadari yang lebih cantik jelita. Atau mungkin, memang dia benar-benar sibuk. Entahlah. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Malam sudah hadir lagi. Rembulan sudah menunggu di sana. Cuaca sangat bersahabat. Dan aku masih belum mendapatkan kata-kata yang biasa dia ucapkan, kapanpun dia ingin mengucapkannya padaku. Tawanya, gambar-gambarnya, pesan-pesannya yang nampak kekanakan dan jenaka, bahkan ucapan-ucapannya yang mengandung narkoba, memabukkan. Akan menunggu. Aku masih menunggu. Aku tak tahu dimana rembulan akan menjemputnya. Aku bahkan tak tahu, apakah rembulan sudah mengembalikannya ke bumi kemarin malam atau tadi pagi. Aku hanya tahu, rembulan sudah menunggunya di sana.
* * *
Ting. Ting. Ting. Suara denting piano di handphoneku beberapa kali. Karena aku sedang membaca dari handphoneku dan tidak ingin diganggu, maka aku diamkan saja. Berganti dengan nada suara telephon masuk, identitas penelepon menutupi layar bacaanku, berganti penuh dengan layar telepon, dan simbol terima atau tolak. Aku diamkan saja hingga mati. Ting. Ting. Suara ini kembali lagi menggantikan suara dering telephon. Ah, aku malas sekali diganggu jika sedang membaca. Kutarik layar hanphoneku di bagian atas, muncul beberapa simbol pilihan, lalu aku pencet gambar suara dua kali, ‘silent’. Tapi tiba-tiba aku tertarik dan penasaran dengan gambar simbol whatsapp warna hijau yang nangkring di sana. Aku menyentuhnya. Whatsappku terbuka. Ada beberapa. Salah satunya dari teman baruku, lelaki, namanya Chan. Aku membukanya. Gambar pemandangan alam. Lalu aku menyentuh gambar itu dan membesarkannya. Sepertinya aku mengenalinya.
Di mana itu? Bagus sekali.
Tebak. Hehe.
Wibledon?
Bukan. Wkkwkk.
Di sekitar sungai Thames di Hawker Center?
Wkkwkk.
Benar kan?
Tidak. Wkkwkk .
Ih, di mana sih? Jangan meledek donk.
Chan mengirimkan gambar pemandangan lagi. Chan membuat aku menebak lagi. Chan tahu aku suka tempat-tempat seperti itu. Chan tahu aku ingin duduk dan minum kopi di tempat-tempat yang hijau di alam bebas. Dan aku tahu, Chan menggodaku. Beberapa kali Chan melakukan hal itu, dan Chan berhasil membuatku jengkel, karena Chan tidak pernah mau mengatakan di mana lokasi gambar-gambarnya diambilnya. Chan menikmati ketika aku mengomel dan marah-marah padanya, dan dia selalu tertawa di setiap akhir atau di sela ucapannya. Namun kemudian, tidak hanya gambar-gambar pemandangan yang Chan kirimkan padaku. Kini Chan menyertakan gambar dirinya di alam bebas. Aku mulai kesal dan tergelitik. Aku kesal dan makin marah-marah padanya. Chan tertawa-tawa bahagia, karena berhasil membuatku jengkel. Merasa dia terus mengerjaiku, aku tergelitik untuk membalasnya.
Hey. Mengapa kamu mengirimkan gambar-gambarmu kepadaku?
Wkkwkk.
Kalau kamu mengirimkan lagi gambarmu, akan aku laporkan kepada seniormu.
Aku goda dia. Jika Chan mengirimkan lagi foto-fotonya, akan aku ‘forward’ foto-foto itu ke seniornya, agar Chan mendapat teguran. Tidak baik seorang lelaki mengirimkan gambar-gambar dirinya kepada seorang perempuan. Kami bukan makhrom. Chan menantangku.
Silahkan. Hehe.
Chan benar-benar menantangku. Tentu saja aku tertantang. Aku, ditantangnya, pastilah aku berani melawannya. Aku ‘screenshoot’ gambarnya dan aku kirimkan ke seniornya, Rumi, temanku berorganisasi. Entah apa yang ada di pikiran kaum laki-laki, aku benar-benar tidak bisa mengerti mereka. Rumi malah menyuruhku mengajak Chan pergi ke alam yang lebih jauh dan mengirimkan foto Chan yang sedang bersantai di sebuah ruangan. Merasa tidak mendapat dukungan, aku sudahi percakapanku tentang Chan dengan Rumi. Aku ‘forward’ foto Chan yang dikirimkan Rumi kepadaku, ke whatsapp Chan. Kaum lelaki sedang bersantai, Chan hanya menggunakan t-shirt dan celana pendek nampaknya.
Wkkwkk.
Itulah jawaban Chan. Aku benar-benar tidak mengerti. Aku merasa sedang dikerjai. Beberapa ancaman coba kuucapkan untuk Chan, tapi dia tetap menantangku dan bilang,
Ya, nggak papa.
* * *
Kami makin akrab saja. Chan menghubungiku kapan pun dia mau. Karena kebetulan ini adalah bulan puasa, pastilah kami tidur lebih malam dan bangun lebih pagi. Pesan-pesannya kini berubah tentang puasa, kirim gambar-gambar makanan, mengabarkan akan menuju ke suatu tempat, mengatakan keadaannya, bertanya apa yang aku lakukan, pokoknya sudah tidak ada batas lagi tentang apa yang kami bicarakan. Entah aku duluan, entah Chan duluan, panggilan kami tiba-tiba berubah menjadi ‘Mas dan Dik, Say, Beib’. Aku merasa nyaman dengannya. Chan nampaknya juga merasa nyaman denganku. Sepertinya aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada seorang lelaki di ujung telepon, yang baru berjalan sekali denganku dalam perjalanan tamasya di sungai Thames-London, di hari Jumat, di bulan May. Dan entah sudah berapa hari dari sekarang.
* * *
Bebarapa hari sebelum bunga-bunga cinta menghias kalbuku, aku merasa akrab dengan Chan seperti aku akrab dengan teman-temanku yang lain, yang kebanyakan adalah laki-laki, dan kebetulan teman-teman Chan adalah teman-temanku juga. Aku mulai berani meminta tolong padanya. Aku meminta tolong membawakan snack kecil untuk keluarga Rumi dan keluarga sahabatnya, Fatahilah, yang kebetulan istri Fatahilah adalah temanku, dan sebungkus lagi untuknya. Entah mengapa Chan selalu menunda-nunda untuk datang ke rumahku mengambil snack-snack itu, hingga aku merasa kesal padanya. Namun, akhirnya Chan datang juga ke rumah. Chan sudah bilang sebelum datang, bahwa dia tidak akan lama, hanya datang dan membawa bungkusan itu. Karena aku tahu kesibukan seniornya dari cerita istrinya, aku pun berpikir Chan sibuk juga, makanya aku tidak memprotesnya. Lagipula, aku sudah ditolongnya.
Chan datang mengendarai motornya saat aku siap berangkat kerja. Aku segera menyerahkan bungkusan-bungkusan itu dan menerangkannya sebentar, lalu Chan bersiap untuk pergi. Tidak banyak kata yang kami ucapkan. Chan buru-buru pergi dan akupun harus segera pergi. Chan menatapku sekali lagi sebelum memacu motornya, dan aku melambaikan tangan tanda ucapan terimakasihku.
* * *
Tanggal 1 Juni adalah awal aku mulai menulis cerita fiksi. Aku selalu menghabiskan waktuku setelah sholat subuh untuk merangkai kata-kata dan menyetornya sebelum jam 9 pagi. Hari berganti dan aku mulai menemukan kesulitan-kesulitan untuk menghubung-hubungkan kisah dalam karanganku. Aku membutuhkan buku, dan kebetulan Chan memiliki buku-buku dagangan yang aku butuhkan. Aku memesannya beberapa dan dia hendak mengantarnya ke rumahku. Dan lagi, Chan mengulur-ulur waktu untuk mengantar buku-buku pesananku ke rumah, sama seperti ketika Chan akan mengambil snack-snack untuknya dan teman-teman kami yang aku titipkan padanya.
Aku dan Chan sudah sangat akrab. Tak ada yang salah dari pertemanan kami. Aku hanya risih jika Chan mengirimkan foto dirinya, yang lain baik-baik saja, tak ada masalah. Hari ini Chan berjanji akan datang, mengantar buku-buku pesananku. Waktu yang ditetapkan sudah sore, menjelang adzan maghrib, tanda saat berbuka akan segera tiba. Aku menawarkannya berbuka di rumahku, Chan menolak. Aku juga memberi solusi untuk berbuka di masjid dekat rumah, Chan tidak memberi tanggapan. Chan hanya bilang bahwa dia akan datang cepat, mengantar buku dan langsung pulang. Aku mengiyakan saja kemauannya. Aku menunggu kedatangan Chan di ruang tamu, untuk berjaga jika Chan akan sangat terburu-buru. Sebentar aku menunggu, Chan sudah datang memasuki halaman rumah dengan motornya. Aku bisa melihatnya dari jendela kaca riben yang besar di rumahku. Aku berdiri dan hendak membuka pintu, sementara di luar sana Chan memarkirkan motornya. Aku membuka pintu, Chan terkejut. Nampak jelas keterkejutannya. Lalu aku menanyakan padanya apakah dia mau masuk untuk berbuka bersama keluargaku. Chan nampak makin tak menentu. Bahkan ketika aku menyuruhnya masuk, Chan enggan. Baiklah, Chan terburu-buru dan aku tidak ingin memaksanya. Aku serahkan uang yang sudah aku siapkan. Dia menerimanya dan hendak memberikan kembalian, karena aku memesan buku yang lain untuk akhir bulan ini atau awal bulan depan, aku bilang pada Chan untuk menyimpannya saja. Chan menurut. Chan nampak salah tingkah. Matanya yang menatapku terlihat aneh. Lalu Chan berpamitan. Aku mengiyakan. Sibuk benar temanku ini, pikirku.
Chan beranjak menuju motornya. Chan menaiki motornya kemudian memundurkannya, lagi, matanya menatapku. Sebagai tuan rumah, tentu aku akan memastikan tamuku pulang dengan selamat. Sebelum Chan melajukan motornya, sekali lagi, ia menatapku. Tentu saja aku masih menatapnya, seperti biasa aku lakukan pada tamu-tamuku. Tapi tatapannya kali ini lain. Aku tidak sempat mengartikan, karena Chan sudah memalingkan wajahnya ke depan dan memacu motornya. Tatapannya tadi, jantungku sedikit bergetar.
Aku membuka bungkusan berisi buku-buku pesananku. Aku membuka satu buku dan ingin membacanya. Tentang kamu, judulnya. Buku karangan Tere Liye. Aku memesannya karena satu dari pembaca cerita fiksiku mengatakan, bahwa gaya bahasaku mirip Tere Liye. Ini yang membuatku penasaran dan ingin memiliki beberapa buku karangan Tere, membacanya dan membandingkannya.
Chan mengirimkan pesannya lewat whatsapp, mungkin dia sudah sampai rumahnya. Aku mengangkat Handphoneku dan membukanya. Kali ini gambar ayam panggang. Aku tersenyum dan ingin menggodanya,
Awas ya, makan-makan nggak ngajak-ngajak.
Ayo tho. Haha.
Begitu jawab Chan, selalu diakhiri dengan tawa. Kami bercakap-cakap sebentar, sebelum kemudian Chan mengatakan kepadaku untuk membaca bukunya. Aku bilang bahwa aku sedang membaca ketika dia menghubungiku.
Baca apa?
Tentang kamu.
Terimakasih yaaa.
Tidak ada yang aneh dari percakapan itu. Dua orang kawan. Tapi tiba-tiba, terlintas sikap Chan tadi sore, sangat aneh, dan aku sempat membicarakannya dengan ibu di meja makan, saat berbuka tadi. Dan entah setan mana yang berhasil menggoda, kami menjadi bertambah akrab lagi
* * *
Bukan tipeku untuk membiarkan kecamuk dalam dadaku. Aku adalah tipe perempuan simple yang ingin semuanya segera jelas dan diperjelas. Aku ingin tahu, apakah Chan menyukaiku sebagaimana seorang lelaki menyukai seorang perempuan. Aku tidak berani bertanya kepada orang lain. Tapi aku ingat, sempat ada candaan dari istri Rumi beberapa hari yang lalu, hanya saja aku tidak menyadarinya waktu itu. “Wah, sudah berteman di facebook ya...”, begitu kata Ramona, istri Rumi.
Aku mengunggah isi hatiku ke facebook. Aku katakan mungkinkah aku jatuh cinta. Banyak komentar yang aku terima, tapi tak satu pun dari Chan. Tidak dari Rumi atau Ramoda. Tidak dari orang-orang yang mengenal kami berdua. Karena pertanyaan-pertanyaan dalam hatiku terus bergolak, ucapan-ucapan kami pun makin tak menentu. Aku tidak tahu. ‘Chaos’ rasanya. Tapi aku ingin segera menyudahi. Aku tidak mungkin dalam keadaan ini terlalu lama. Aku tidak ingin jatuh cinta. Aku tidak ingin mencintai seseorang terlalu lama. Jika memang kami saling jatuh cinta, Islam mengajarkan cara yang baik dan halal. Aku dan Chan tidak mungkin akan terus berbuat seperti ini, jika di hatiku, atau di hati Chan, atau di hati kami berdua, ada sesuatu yang tidak beres.
Aku memberanikan diri bertanya kepada istri Fatahilah tentang Chan. Aku buka dengan percakapan-percakapan ringan, aku tanyakan pada Suhaila apakah ia mengenal Chan, dan apakah kalian kenal baik. Suhaila mengatakan bahwa Chan adalah sahabat suaminya, otomatis ia dekat pula dengan Chan. Aku bertanya lagi, apakah Chan satu angkatan dengannya, sebab Chan memanggilnya dengan sebutan Kakak. Suhaila mengatakan jauh di bawahnya, seumuran dengan adiknya. Boom! Aku begitu shock. Aku kaget alang kepalang tidak menentu, mengetahui fakta yang barusan aku dengarkan. Chan. Ya, Chan masih sangat muda. Umurnya jauh di bawahku, lebih muda dari adik bungsuku. Aku benar-benar kolap.
Mengapa, Kak, dia mengajak jadian?
Ah, tidak, ‘miscommunication’ saja, mungkin dia kira aku masih muda.
“Enggak kok, Chan sudah tahu”
Itulah perkataan Suhaila yang menghujam jantungku. Tuhan. Aku benar-benar merasa tidak tahu diri. Chan. Oh, Chan. Mengapa kamu masih sangat muda. Ucapan-ucapan kita akhir-akhir ini, sapaan kita, candaan kita, bagaimana dengan hatiku, bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku, padahal kamu tahu bahwa usiaku jauh di atasmu. Oh, Tuhan...
Jantungku bergejolak tanpa arah. Aku memang tidak menyimpan foto-foto yang dikirimkan Chan kepadaku, karena aku takut akan memandangi foto-foto itu dan setan akan mengelabui hatiku, tapi percakapan-percakapan itu? Percakapan kami banyak, sangat banyak. Dalam sehari bisa berbaris-baris. Aku harus ‘scroll dowd’ berkali-kali untuk menemukan percakapan pembuka hari ini saja. Aku membacanya lagi, Chan nampak bahagia sekali. Aku pun juga, saat aku baca jawaban-jawabanku untuk Chan. Ah, Chan, ada apa dengan kita. Aku sungguh tidak mengerti. Aku tidak bisa dalam keadaan seperti ini berlarut-larut. Aku harus menyelesaikannya.
Aku menghubungi seorang temanku, lelaki, yang menurutku pantas dimintai nasihat. Temanku ini adalah seorang ustad. Aku katakan semua padanya, dari awal hingga akhirnya aku jatuh cinta pada Chan dan fakta mengejutkan yang baru saja aku peroleh.
~to be continued~
#NulisRandom2017 (day 14)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI