Mohon tunggu...
Noer Fadlilah Wening
Noer Fadlilah Wening Mohon Tunggu... Wiraswasta - https://ninin-dahlan-marchant.blogspot.com/

An ordinary wife who try to learn everything as much as possible.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cintaku Dibawa Rembulan

14 Juni 2017   02:34 Diperbarui: 16 Juni 2017   09:40 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Bebarapa hari sebelum bunga-bunga cinta menghias kalbuku, aku merasa akrab dengan Chan seperti aku akrab dengan teman-temanku yang lain, yang kebanyakan adalah laki-laki, dan kebetulan teman-teman Chan adalah teman-temanku juga. Aku mulai berani meminta tolong padanya. Aku meminta tolong membawakan snack kecil untuk keluarga Rumi dan keluarga sahabatnya, Fatahilah, yang kebetulan istri Fatahilah adalah temanku, dan sebungkus lagi untuknya. Entah mengapa Chan selalu menunda-nunda untuk datang ke rumahku mengambil snack-snack itu, hingga aku merasa kesal padanya. Namun, akhirnya Chan datang juga ke rumah. Chan sudah bilang sebelum datang, bahwa dia tidak akan lama, hanya datang dan membawa bungkusan itu. Karena aku tahu kesibukan seniornya dari cerita istrinya, aku pun berpikir Chan sibuk juga, makanya aku tidak memprotesnya. Lagipula, aku sudah ditolongnya.

Chan datang mengendarai motornya saat aku siap berangkat kerja. Aku segera menyerahkan bungkusan-bungkusan itu dan menerangkannya sebentar, lalu Chan bersiap untuk pergi. Tidak banyak kata yang kami ucapkan. Chan buru-buru pergi dan akupun harus segera pergi. Chan menatapku sekali lagi sebelum memacu motornya, dan aku melambaikan tangan tanda ucapan terimakasihku.

* * *

Tanggal 1 Juni adalah awal aku mulai menulis cerita fiksi. Aku selalu menghabiskan waktuku setelah sholat subuh untuk merangkai kata-kata dan menyetornya sebelum jam 9 pagi. Hari berganti dan aku mulai menemukan kesulitan-kesulitan untuk menghubung-hubungkan kisah dalam karanganku. Aku membutuhkan buku, dan kebetulan Chan memiliki buku-buku dagangan yang aku butuhkan. Aku memesannya beberapa dan dia hendak mengantarnya ke rumahku. Dan lagi, Chan mengulur-ulur waktu untuk mengantar buku-buku pesananku ke rumah, sama seperti ketika Chan akan mengambil snack-snack untuknya dan teman-teman kami yang aku titipkan padanya.

Aku dan Chan sudah sangat akrab. Tak ada yang salah dari pertemanan kami. Aku hanya risih jika Chan mengirimkan foto dirinya, yang lain baik-baik saja, tak ada masalah. Hari ini Chan berjanji akan datang, mengantar buku-buku pesananku. Waktu yang ditetapkan sudah sore, menjelang adzan maghrib, tanda saat berbuka akan segera tiba. Aku menawarkannya berbuka di rumahku, Chan menolak. Aku juga memberi solusi untuk berbuka di masjid dekat rumah, Chan tidak memberi tanggapan. Chan hanya bilang bahwa dia akan datang cepat, mengantar buku dan langsung pulang. Aku mengiyakan saja kemauannya. Aku menunggu kedatangan Chan di ruang tamu, untuk berjaga jika Chan akan sangat terburu-buru. Sebentar aku menunggu, Chan sudah datang memasuki halaman rumah dengan motornya. Aku bisa melihatnya dari jendela kaca riben yang besar di rumahku. Aku berdiri dan hendak membuka pintu, sementara di luar sana Chan memarkirkan motornya. Aku membuka pintu, Chan terkejut. Nampak jelas keterkejutannya. Lalu aku menanyakan padanya apakah dia mau masuk untuk berbuka bersama keluargaku. Chan nampak makin tak menentu. Bahkan ketika aku menyuruhnya masuk, Chan enggan. Baiklah, Chan terburu-buru dan aku tidak ingin memaksanya. Aku serahkan uang yang sudah aku siapkan. Dia menerimanya dan hendak memberikan kembalian, karena aku memesan buku yang lain untuk akhir bulan ini atau awal bulan depan, aku bilang pada Chan untuk menyimpannya saja. Chan menurut. Chan nampak salah tingkah. Matanya yang menatapku terlihat aneh. Lalu Chan berpamitan. Aku mengiyakan. Sibuk benar temanku ini, pikirku.

Chan beranjak menuju motornya. Chan menaiki motornya kemudian memundurkannya, lagi, matanya menatapku. Sebagai tuan rumah, tentu aku akan memastikan tamuku pulang dengan selamat. Sebelum Chan melajukan motornya, sekali lagi, ia menatapku. Tentu saja aku masih  menatapnya, seperti biasa aku lakukan pada tamu-tamuku. Tapi tatapannya kali ini lain. Aku tidak sempat mengartikan, karena Chan sudah memalingkan wajahnya ke depan dan memacu motornya. Tatapannya tadi, jantungku sedikit bergetar.

Aku membuka bungkusan berisi buku-buku pesananku. Aku membuka satu buku dan ingin membacanya. Tentang kamu, judulnya. Buku karangan Tere Liye. Aku memesannya karena satu dari pembaca cerita fiksiku mengatakan, bahwa gaya bahasaku mirip Tere Liye. Ini yang membuatku penasaran dan ingin memiliki beberapa buku karangan Tere, membacanya dan membandingkannya.

Chan mengirimkan pesannya lewat whatsapp, mungkin dia sudah sampai rumahnya. Aku mengangkat Handphoneku dan membukanya. Kali ini gambar ayam panggang. Aku tersenyum dan ingin menggodanya,

Awas ya, makan-makan nggak ngajak-ngajak.

Ayo tho. Haha.

Begitu jawab Chan, selalu diakhiri dengan tawa. Kami bercakap-cakap sebentar, sebelum kemudian Chan mengatakan kepadaku untuk membaca bukunya. Aku bilang bahwa aku sedang membaca ketika dia menghubungiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun