Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 30 judul, antologi berbagai genre 176 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Parcel Ingkung: Tali Relasi Tersambung

25 Januari 2025   06:03 Diperbarui: 25 Januari 2025   17:58 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Parcel Ingkung: Tali Relasi Tersambung

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Ini buat Natalan, Ma!" tulis bungsu yang masih stay di negeri Paman Obama melalui aplikasi WhatsApp.

"Wooowww,  terima kasih banyak, Nak!"

"Aku baru mencoba makan kesemek, ternyata enak sekali, ya, Ma!" lanjutnya.

"Hahaha ... ya emang enak! Dulu saat Mama ngidam kakak sulungmu, Mama dibohongi Papa. Katanya enggak enak, padahal loh ... Papa sedang enggak punya uang! Sambel ... enggak jujur ... hahaha, akhirnya saat balita, kakak sulungmu ngileran! Bener!"

"Ahaha ... apa juga hubungannya antara ngidam dengan ngiler, coba!"

"Ada! Sama-sama 'ngi' ... ngidam dan ngiler! Buat aja penelitian, kan dikau peneliti!" tulisku.

"Ahaha ... benar! Jadi ingat kiriman artikel Mama tentang kulit cacao sebagai pencegah kanker. Pertanyaannya, Ma! Selama ini limbah tersebut dimanfaatkan sebagai pakan ternak, lah ... apa sudah diteliti? Adakah ternak yang makan kulit cacao bebas dari kanker?"

"Hahaha ... jurusanku 'kan bukan penelitian? Hayooo ... harusnya bukan Mama melainkan putranya!" balasku.

Hanya dibalas dengan emoticon lucu.

***

Berbeda dengan kedua kakak lelakinya, si bungsu ini saat masih kanak-kanak hingga remaja suka pilih-pilih makanan. Persis seperti ayahnya. Jika tidak berminat, tidak mau mencicipi, dan langsung mengatakan, "Ogah, emoh!"  Jika ditawari mencicip, langsung geleng-geleng menghindar sambil mencebik.

"Itu dah, modelan Papa menurun ke anak!" kataku.

"Dik, padahal ini enak, loh!" salah seorang kakak membuatnya iri sambil pamer memakan dekat-dekat di depannya.

"Baunya saja begitu, mana enaknya!" sahutnya dari tempat agak jauh.

"Loooo, belum tahu dia! Durian ini bisa bikin ketagihan! Bahkan sepupu Mama saat masih kecil di rumah si Mbah Ketro pernah mabuk alias mendem saking kebanyakan makan! Mendem loh, bukan mendhem! Mendem itu mabuk, kalau mendhem itu mengubur!" kataku.

"Lo, kok bisa? Apa keracunan? Berarti ini berbahaya, gitu?" selidik kakak kedua.

"Iya, karena enak, dia makan kebanyakan! Berbahaya kalau terlalu banyak, apalagi tidak tawar atau alergilah gitu-gitu ...."

"Huuhh! Sekalipun diiming-iming, aku enggak tertarik! Sekali enggak, ya enggak!" dengan sewot bungsu menjawab obrolan kami yang sedang asyik makan durian.

"Mau dibukakan lagikah?" seru suami menawari kami bertiga yang sedang menikmati durian buah tangan darinya. "Kalau mau kubukakan!" tantang suami lagi.

"Hmmm, mau! Enak banget ini!" seruku.

"Ho-oh, bener! Ternyata sangat enak!" timbrung sulung sambil mencecap-cecap menjilati pongge,  si isi durian, sampai licin. Bersih. Tandas tak bersisa!

"Nak, Mama tahu cara agar tidak mendem! Dikasih tahu sama Mbah Buyut saat masih kecil dulu! Gini ...."

Sambil kupraktikkan teori dari leluhur: kulit durian yang sudah habis atau kosong, lekukannya kuisi dengan air minum matang, lalu kugunakan cuci tangan dan langsung kuminum.

"Ha? Kok, jorok gitu!" protes kakak kedua.

"Jorok gimana? Kan memang begitu yang Mama peroleh. Teori ini sudah dibuktikan berhasil secara turun-temurun, loh! Kalau mau mempraktikkan, gunakan sisi yang sini, kan kulit ini tadi sudah dipakai Mama!"

"La, ya memang begitu caranya agar tidak mendem!" imbuh suami sambil mengambil buah dan langsung menikmatinya.

"Ooo, gitu!" sambut kakak sulung.

Begitulah keasyikan kami. Akan tetapi, meski berada dekat dengan kami, si bungsu bergeming. Oleh karena itu, ia tidak mengenal rasa enak buah-buahan. Kini setelah berusia hampir kepala empat, si bungsu yang masih berada di negeri orang tersebut bereksplorasi dalam segala hal. Termasuk mencicipi dan menikmati segala rasa buah yang saat masih kecil dihindarinya.  

***

"Ma, ada dapat parcel nggak?" tanya bungsu melanjutkan berita melalui WhatsApp.

"Ada, dong! Mama Papa dapat parcel ingkung ayam dari teman Papa, keluarga alm. dr. Bawono  yang mengoperasi  Papa dulu!"

"Loh? Iyakah? Kok, Papa bisa kenal?" selidiknya.

"La, si Tante itu teman baik Papa line dance di grupnya!"

"Coba Ma, siapa nama dan  mintakan fotonya!"

"Tunggu, ya. Kuteruskan pesanmu ini ke HP Papa. Atau mintalah langsung dengan Papa! Mama sedang di rumah timur, tapi Papa sedang di rumah barat, rumahmu!" tulisku.

Karena alasan tertentu, aku dan putra-putra sering main WhatsApp. Sesekali saja video call. Maklum ketiga jagoan sudah berkarier di kota, pulau, bahkan benua berbeda. Untunglah, jarak yang memisahkan itu teratasi oleh benda pipih yang dipanggil gawai ini.

***

Besoknya, berita tertulis di WhatsApp berlanjut. Kali ini dituliskan panjang lebar.

"Tante Kamboja dan Om Jupiter itu, sangat baik, Ma. Beliau berdua ini sudah menganggap aku dan istriku sebagai anak angkat mereka. Bahkan, sudah setahun ini, aku dipinjami mobil mereka. Jadi, sangat membantulah pokoknya. Istriku juga belajar memasak dan membuat kue dengan Tante Kamboja. Pokoknya, serasa menemukan orang tua barulah. Bahkan, ini kami juga menginap di rumah mereka!" tulisnya.

"Wuahh, salam ya, Nak!"

"Siap! Kusampaikan nanti."

Beberapa menit kemudian, sampai pula kiriman foto-foto orang tua angkat yang ditemukan bungsu.

"Ini foto-foto mereka! Dan ... setelah mendapat nomor WhatsApp Tante Wahyuni lewat Papa, mereka menemukan saudara yang sudah sangat lama tidak berkabar."

"Wuuuaaahh! Ikut senang, Nak!"

"Lah inilah kiriman foto-foto masa kecil Tante Kamboja yang dikirim oleh Tante Wahyuni. Jadi, Tante Kamboja itu anak angkat Bapak Waskita. Dua kakak angkatnya, putra kandung Bapak Waskita itu, semuanya menjadi dokter. Hebat banget mereka! Salah satunya adalah dr. Bawono yang punya rumah sakit di Jalan Ciwidey itu!"

"Ya, ampun ... jadi gegara parcel ingkung ayam, mereka bertemu?"

"Benar, Ma! Mereka sangat senang! Bayangkan puluhan tahun migrasi ke sini, lalu bisa sambung rasa kembali dengan keluarga di tanah air itu sesuatu banget! Mereka saling sangat merindukan, tetapi tidak punya saluran. Sementara, kabarnya anak-anak dr. Bawono  itu di kampus,  yang seorang kakak tingkat dan seorang lagi adik tingkat. Pastinya tidak saling kenal, sih!"

"Iya, kok ya ... anakku kenal dengan si Tante juga!"  

"Itulah jalan Tuhan yang luar biasa ajaib. Jauh di negeri orang, bertemu dengan sesama warga Indonesia saja sangat membahagiakan. Eh, malah dengan orang yang sangat baik. Bahkan, aku cerita kalau Mama guru di Jalan Semeru, Tante Kamboja menceritakan kalau ia juga murid SMP situ, loh! Usianya setahun lebih muda dari Mama. Salah seorang gurunya adalah Bapak  Raharjo!"

"Ha? Sayangnya beberapa tahun lalu Pak Raharjo sudah tutup usia, ya!"

"Iya, tapi ... ada sebuah pernyataan Pak Raharjo yang bikin bingget hati Tante Kamboja.  Saat remaja Tante Kamboja diolok kalau Cina itu kemaki. Kecewa banget, sih. Padahal, nyatanya ... hal itu tidak berlaku baginya. Beliau justru menjadi orang yang terlalu baik! Kalimat bullying  dari guru yang sangat menyakitkan hati itu, sekaligus membuatnya bangkit. Bahkan menjadikannya sebagai sosok yang berhasil. Hmm, ... kasihan juga, sih. Meski setengah abad, kalimat perundungan itu tak dapat dilupakannya!"

"Ya, Mama paham! Berkali-kali Mama pun mengalami perundungan, tetapi justru menjadikan Mama makin kuat dan tegar! Pemacu semangat dan pemicu tekad!"

"Iya, harus diri sendiri yang menyembuhkan. Pelajaran bagiku agar berhati-hati berbicara dan bersikap dengan siapa pun, Ma!"

"Jelas! Itu contoh konkret! Sakit hati dibawa mati, budi baik dikenang sampai mati! Kata-kata lebih tajam daripada silet! Makanya ada peribahasa 'pikir itu pelita hati' kan memang harus dipikir dulu sebelum berujar. Karena tutur bisa membuat hati hancur lebur. Bahkan bisa melebihi lembut bubur yang terhambur. Ahaha lebay ...."

"Sip!"

***

bingget: sakit hati 

kemaki: sombong, sok 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun