Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Aroma Melati

6 November 2024   05:39 Diperbarui: 6 November 2024   09:44 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki Aroma Melati
Ninik Sirtufi Rahayu

Jalanan setapak berliku membuat begitu pusing. Berasal dari desa kabupaten  daerah dataran rendah dihiasi area persawahan menghampar, aku begitu kaget saat dibawa mengunjungi desanya. Sebuah desa di kota pegunungan sebagai kota terbesar kedua Provinsi Jawa Timur, terkenal dengan keindahan dan hawa dingin, perbedaan itu sangat kontras. Kontur area ditambah hawa dan suasana yang jauh berbeda membuat sangat kurang nyaman. Apalagi di musim hujan seperti saat itu.

Setelah sekitar kurang lebih sebulan pada semester pertama berkuliah dan berada di kota dingin, salah seorang kenalan orang tua menemuiku di rumah saudara, tempatku nebeng selama semester itu. Aku  sudah mengenal, sejak setidaknya dua tahunan terakhir.

Namanya Yasmidi.  Konon  diambil dari kata yasmine,  berarti melati. Kenyataannya, ia memang penyuka kuntum mungil,  putih,  semerbak wangi itu. Di saku kemeja dapat dipastikan selalu ada beberapa kuntum melati. Tentu saja, aroma semerbak melati menguar jika berdekatan dengan sosoknya.

***

"Ndhuk, belikan bunga tiga warna di pasar. Kembang boreh lengkap, ya! Sekalian kemenyan juga sudah habis!" ujar sosok yang kusapa bapak, padahal sebenarnya kakek dari pihak ibuku.

Kakeknya memeluk aliran kepercayaan kejawen. Beliau memiliki komunitas unik dan aneh. Sering  menggelar ibadah kepercayaan dengan mengundang beberapa orang saat malam di rumah. Adapun ritual itu harus diperlengkapi dengan membakar kemenyan, mempersiapkan beberapa jenis dan warna bunga.

Setelah hampir setengah abad, sebenarnya aku lupa-lupa ingat dengan prosesi ritual tersebut. Namun, satu yang masih tercatat dalam memori. Dalam pertemuan tersebut ada seseorang yang menyuarakan perkataan arwah. Semacam jaelangkung.

Saat  masih remaja,   pernah aku diajak anak-anak indekos di rumah, bermain jaelangkung. Mereka mempergunakan pensil diikat dan digantung dengan tali hingga dapat bergerak. Di bawah pensil ada kertas alas lingkaran semacam jam dinding. Bukan  ditulisi angka, melainkan  huruf. Dilengkapi 26 huruf alfabet searah jarum jam.

Saat bermain, mereka memanggil arwah tanpa bunga dan kemenyan. Arwah yang datang akan menggerakkan pensil seolah menunjukkan huruf yang membentuk  kata, sebagai jawaban pertanyaan peserta. Misalnya peserta bertanya, "Nama Anda siapa? Anda berasal dari mana? Mengapa Anda meninggal dunia?" dan sebagainya.

Arwah  akan menjawab dengan menggerakkan pensil sehingga membentuk untaian kata. Demikian permainan diteruskan hingga peserta puas atas jawaban aneka pertanyaan yang disampaikan.

 Sejujurnya,  ikut acara itu menakutkan  karena aura magis begitu terasa. Anehnya, saat itu ditanyakan nama seseorang yang akan menjadi jodohku. Jawaban dari pertanyaan tersebut terbukti tiga tahun sesudahnya. Percaya tak percaya, tetapi jawaban tersebut benar adanya.

Sementara, kakek dan komunitas sekitar tujuh orang, tergantung kebutuhan, menggunakan sarana kemenyan dan bunga. Saat arwah datang, akan merasuki jiwa salah seorang dari komunitas yang biasa disebut dengan istilah 'kurungan.' Selanjutnya, jika arwah datang, peserta hadir bisa menanyakan apa saja.

Kakek   menanyakan sarana apa sebagai penyembuhan atas sesakit yang diderita seseorang.  Bagaimana  ritual yang harus diikuti saat seseorang hendak boyongan ke rumah baru. Sesuai kebutuhan yang diperlukan guna menolong  yang mengalami sakit atau hendak pindahan rumah.

Makin lama pertanyaan mengembang ke arah ramalan nomor undian SDSB yang akan keluar. Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah itu adalah jenis judi legal di era pemerintahan Presiden Suharto kala itu. Namun, jawaban tidak jelas, menggunakan kiasan yang harus diramal peserta.

Salah seorang kerabat membuat ramalan tersebut dengan menggambar ilustrasi. Kemudian memperbanyak dengan cara distensil. Zaman sekarang semacam di-print out.  Flyer tersebut dicetak,  diperbanyak, dan diperjualbelikan guna kepentingan masyarakat yang saat itu  menggilai  membeli undian berhadiah. Cukup laris sebagai mata pencaharian kala itu.

Sosok sebagai 'kurungan' tersebut adalah Yasmidi ini. Pria lajang  asal  kota dingin yang berpetualang dalam dunia perarwahan bersama komunitas kakek. Nenek pun mendukung aktivitas kakek, bertugas mempersiapkan ubo rampe ritual seperti membuat tumpeng, ingkung ayam, dan urap-urap. Lauk  wajib yang harus ada saat acara ritual digelar.

Kadang, kakek beserta komunitas mendatangi makam  leluhur, seperti makam Joyoboyo di Pamenang, Kediri. Bisa juga makam lain seperti yang disarankan oleh pesan suara arwah.

Hmmm, ... kalau kuingat-ingat masa remajaku sangat memprihatinkan. Ikut-ikutan berpetualang dan begadang sepanjang malam demi aliran kepercayaan yang tidak menjamin keselamatan dunia akhirat.

***

Tepat setelah setengah abad aktivitas remaja berlangsung, malam ini kulihat lewat di media sosial tayangan dengan quote demikian.
Pernahkah kamu melihat cairan mengalir begitu mulus hingga tampak tak bergerak?  Fenomena ini disebut  laminar flow. Fenomena ketika cairan mengalir dengan begitu rapi sehingga setiap molekul mengikuti jalur yang sama tanpa gangguan. Aliran yang tenang ini membuat cairan tampak seolah diam, padahal sedang bergerak.

Yang menarik dari laminar flow adalah ketenangan yang ia ciptakan. Tak ada riak, tak ada keributan, hanya pergerakan sempurna yang hampir tak terlihat. Laminar flow adalah simbol dari ketertiban dan ketenangan di tengah aliran kehidupan. Mengingatkan kita bahwa di balik setiap gerakan selalu ada harmoni yang indah jika kita mau melihatnya.

Seolah menohok, selanjutnya menari-narilah puzzel memori meliputi sanubari. Lama tak terdengar berita tentang sosok Yasmidi, kubaca pesan WhatsApp salah seorang adik seibu nun jauh dari desa asalku. Kami pun ber-video call ria.

"Mbak, masih ingat Mas Yasmidi?"

"Oh, si hitam manis penyuka bau  melati itu, kan?"

"Eh, kok tahu begitu mendetailnya, sih!?" tawanya meledak.

"Hehe ... iya, aku pernah digendong di punggung, padahal saat itu aku sudah jadi mahasiswa!"

"Ha?! Iyakah? Ahahaha ... nostalgia, dong!"

"Hussst! Apaan! Kan saat itu aku masih bau kencur! Mana paham urusan cinta lawan jenis! Lagian gadis desa yang sedang merantau ke kota dengan sejuta kesulitan, mana terpikir hal cinta-cintaan begitu?"

"Loh, loh ... kok melebar hingga dunia percintaan, sih? Memangnya kenapa saat itu?"

"Loh, iya! Enggak ada apa-apa, kok! Hahaha ... cuma ... kalau ingat, ya lucu aja! Kok tiba-tiba digendong hingga tentu saja aku menjerit meronta-ronta minta diturunkan!"

"Kok digendong?"

"Iya, diajak ke rumahnya, trus ... harus melewati sungai tanpa jembatan. Entahlah ... secara spontan, tiba-tiba aku digendong seperti balita! Hahaha ... malu saja kalau kuingat-ingat!"

"Oh, gitu? Memang ada masalahkah?"

"Enggak, sih. Cuma kalau mengingat dia berkecimpung di dunia perdukunan, ya ... agak ngeri-ngeri takut juga, sih!"

"Dia menjadi dukun itu 'kan karena komunitas, Mbak! Mungkin dia sendiri tidak berminat dan tidak berniat seperti itu!"

"Iya juga, sih. Sayang aku enggak nanya secara langsung! Cuma satu hal yang membuatku tercengang. Dia selalu mencari kuntum melati untuk dimasukkan ke dalam saku. Di rumah orang tuanya pun, dia menanam bunga  melati banyak sekali."

"Oh, ya? Padahal laki-laki, loh! Jarang banget 'kan lelaki yang suka bunga?"

"Iya, benar. Bunga kan identik dengan wanita, ya!" potongku.

"Nah, iya! Macam kaum flamboyan, enggak sih?" sambung adik.

"Malah, dia berkomentar begini ... 'Kalau saja bisa menyulingnya, aroma terapi ini bagus dan mahal sekali! Sayang, belum dibudidayakan!' ... begitu!" lanjutku.

"Tapi ... kan sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia perdukunan, aroma kemenyan dan bunga kukira sudah menjadi bagian dari hidupnya, sih!"

"Hmm, iya juga. Tapi, komentarnya ketika memetik kuntum-kuntum itu sebenarnya menunjukkan dia pecinta lingkungan, 'kan?"

"Ho-oh, bener! Mungkin juga punya jiwa pebisnis, tetapi tak ada modal. Eh, Mbak, apa beliau masih hidup atau sudah meninggal, ya?"

"Nah, aku kehilangan kontak sejak puluhan tahun. Aku pun tidak tahu lagi alamat rumahnya!"

"Aku dengar selentingan, Mas Joko malah yang jadi dukun palsu. Kabarnya menipu, sempat menjadi buronan, dan sudah wafat dalam kondisi memprihatinkan!"

"Oh, iya. Aku juga dengar. Padahal saat itu Mas Joko cuma ikut-ikutan di komunitas!"

"Golongan iku galangan, Mbak! Siapa teman sepergaulan kita, seperti itulah dunia kita! Dengan siapa kita bergaul, menentukan masa depan kita."

"Kalau Mas Yasmidi itu pernah menjadi sales parfum, loh! Saat Mbak sudah kuliah, dia masih gentayangan ke rumah Mbah dengan membawa dagangan benih parfum!" imbuhnya.

"Oh, iya ... iya! Aku juga ingat, pernah diajaknya membeli benih parfum di toko orang Arab! Dia bilang biar bapak enggak menggunakan minyak wangi cap Serimpi dengan bau menyengat, tetapi tak sedap!"

"Nah, ... benar! Lelaki beraroma melati itu memang dukun thok cer!"

"Thok cer gimana?"

"Ramalan Om Mitro,  berasal dari wangsit arwah yang disampaikan Mas Yasmidi, dibuatkan ilustrasi, lalu distensil. Kertas  itu begitu laris karena penyuka SDSB sering tembus memperoleh undian! Ingat 'kan? Nama kertas stensil itu Kembang Sore! Ingat?"

"Iya. Menurutku ... sebenarnya ... orangnya sih hitam manis, tidak jemu dipandang. Profesi sebagai 'kurungan' itu ... mengerikan! Bisa  jadi si arwah tak mau kembali dan justru mengganggu mentalnya. Kok, enggak terpikir sampai ke sana, ya?"

"Hmmm ... untung kita masih sama-sama menjelang remaja kala itu! Remaja yang mau saja diajak ke mana-mana! Malang melintang ke makam-makam leluhur! Ahaha ...!"

"Iya, kita ... aku ... cuma suka ingkung ayamnya! Hahaha!" akuku jujur.

"Nah, berbahagia banget menjadi anak-anak usia SD yang manis, menjelang remaja di era tujuh puluhan!" tawa adikku berderai.  

"Kata kakek, si Mas Yasmidi itu dianggap orang terpilih! Buktinya ... baunya saja melati!" imbuhnya.

"Ahaha ... antara kakek dan dia kan terjadi simbiosis mutualisme, Dik! Mereka saling membutuhkan! Rekan bisnis!" dalihku.

"Bener banget!"

"Sementara, dari segi semantik, melati (bahasa Inggris 'jasmine'), dari bahasa Latin 'jaminum.' Dalam bahasa Persia disebut 'yasmin' berarti 'hadiah dari Tuhan'. Jadi, melati memiliki makna positif sebagai bunga anugerah dari Tuhan," uraiku.

"Melati dianggap sebagai simbol kesucian, ketulusan, dan keanggunan  sederhana. Umumnya, bunga melati berukuran kecil, dengan satu warna saja, selalu dikaitkan dengan kerendahan hati dan kesederhanaan. Meski  berukuran kecil dan sederhana, bunga ini memiliki aroma  harum semerbak. Aroma  khas yang sering dikaitkan dengan makna cinta, kasih, sayang," lanjutku.

"Iya, betul! Lambang kesederhanaan, kerendahan hati, dan kasih sayang!"

"Entah bagaimana nasibnya kini!"

***

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun