Saat  masih remaja,  pernah aku diajak anak-anak indekos di rumah, bermain jaelangkung. Mereka mempergunakan pensil diikat dan digantung dengan tali hingga dapat bergerak. Di bawah pensil ada kertas alas lingkaran semacam jam dinding. Bukan  ditulisi angka, melainkan  huruf. Dilengkapi 26 huruf alfabet searah jarum jam.
Saat bermain, mereka memanggil arwah tanpa bunga dan kemenyan. Arwah yang datang akan menggerakkan pensil seolah menunjukkan huruf yang membentuk  kata, sebagai jawaban pertanyaan peserta. Misalnya peserta bertanya, "Nama Anda siapa? Anda berasal dari mana? Mengapa Anda meninggal dunia?" dan sebagainya.
Arwah  akan menjawab dengan menggerakkan pensil sehingga membentuk untaian kata. Demikian permainan diteruskan hingga peserta puas atas jawaban aneka pertanyaan yang disampaikan.
 Sejujurnya,  ikut acara itu menakutkan  karena aura magis begitu terasa. Anehnya, saat itu ditanyakan nama seseorang yang akan menjadi jodohku. Jawaban dari pertanyaan tersebut terbukti tiga tahun sesudahnya. Percaya tak percaya, tetapi jawaban tersebut benar adanya.
Sementara, kakek dan komunitas sekitar tujuh orang, tergantung kebutuhan, menggunakan sarana kemenyan dan bunga. Saat arwah datang, akan merasuki jiwa salah seorang dari komunitas yang biasa disebut dengan istilah 'kurungan.' Selanjutnya, jika arwah datang, peserta hadir bisa menanyakan apa saja.
Kakek  menanyakan sarana apa sebagai penyembuhan atas sesakit yang diderita seseorang.  Bagaimana  ritual yang harus diikuti saat seseorang hendak boyongan ke rumah baru. Sesuai kebutuhan yang diperlukan guna menolong  yang mengalami sakit atau hendak pindahan rumah.
Makin lama pertanyaan mengembang ke arah ramalan nomor undian SDSB yang akan keluar. Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah itu adalah jenis judi legal di era pemerintahan Presiden Suharto kala itu. Namun, jawaban tidak jelas, menggunakan kiasan yang harus diramal peserta.
Salah seorang kerabat membuat ramalan tersebut dengan menggambar ilustrasi. Kemudian memperbanyak dengan cara distensil. Zaman sekarang semacam di-print out.  Flyer tersebut dicetak,  diperbanyak, dan diperjualbelikan guna kepentingan masyarakat yang saat itu  menggilai  membeli undian berhadiah. Cukup laris sebagai mata pencaharian kala itu.
Sosok sebagai 'kurungan' tersebut adalah Yasmidi ini. Pria lajang  asal  kota dingin yang berpetualang dalam dunia perarwahan bersama komunitas kakek. Nenek pun mendukung aktivitas kakek, bertugas mempersiapkan ubo rampe ritual seperti membuat tumpeng, ingkung ayam, dan urap-urap. Lauk  wajib yang harus ada saat acara ritual digelar.
Kadang, kakek beserta komunitas mendatangi makam  leluhur, seperti makam Joyoboyo di Pamenang, Kediri. Bisa juga makam lain seperti yang disarankan oleh pesan suara arwah.
Hmmm, ... kalau kuingat-ingat masa remajaku sangat memprihatinkan. Ikut-ikutan berpetualang dan begadang sepanjang malam demi aliran kepercayaan yang tidak menjamin keselamatan dunia akhirat.