"Oh, gitu? Memang ada masalahkah?"
"Enggak, sih. Cuma kalau mengingat dia berkecimpung di dunia perdukunan, ya ... agak ngeri-ngeri takut juga, sih!"
"Dia menjadi dukun itu 'kan karena komunitas, Mbak! Mungkin dia sendiri tidak berminat dan tidak berniat seperti itu!"
"Iya juga, sih. Sayang aku enggak nanya secara langsung! Cuma satu hal yang membuatku tercengang. Dia selalu mencari kuntum melati untuk dimasukkan ke dalam saku. Di rumah orang tuanya pun, dia menanam bunga  melati banyak sekali."
"Oh, ya? Padahal laki-laki, loh! Jarang banget 'kan lelaki yang suka bunga?"
"Iya, benar. Bunga kan identik dengan wanita, ya!" potongku.
"Nah, iya! Macam kaum flamboyan, enggak sih?" sambung adik.
"Malah, dia berkomentar begini ... 'Kalau saja bisa menyulingnya, aroma terapi ini bagus dan mahal sekali! Sayang, belum dibudidayakan!' ... begitu!" lanjutku.
"Tapi ... kan sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia perdukunan, aroma kemenyan dan bunga kukira sudah menjadi bagian dari hidupnya, sih!"
"Hmm, iya juga. Tapi, komentarnya ketika memetik kuntum-kuntum itu sebenarnya menunjukkan dia pecinta lingkungan, 'kan?"
"Ho-oh, bener! Mungkin juga punya jiwa pebisnis, tetapi tak ada modal. Eh, Mbak, apa beliau masih hidup atau sudah meninggal, ya?"