"Ya, sudah! Sekarang, kamu sudah mendengarnya dari aku, bukan? Maka, janganlah sedih dan bermalas-malasan lagi! Teladanilah bangsa semut seperti kami! Dengan rajin kami menyiapkan makanan ketika musin panas. Dengan demikian, saat penghujan tidak kelaparan!"
"Bagaimana aku bisa rajin dan cekatan seperti kalian yang bertubuh langsing dan ceking, Mut? Tubuhku saja tambun seperti guling raksasa begini! Apakah kau pikir aku bisa bergerak selincah kamu? Jangan bercanda, dong!" sergah Ulat bulu.
"Belum lagi buluku yang cukup tajam dan berat ini! Tidak ada yang menyukaiku, kan? Aku benar-benar tambun dan jelek! Menjijikkan dan menggatalkan! Siapa yang menyukaiku, coba?!" suara parau ulat bulu menahan kesedihan.
"Hmmm ... kalau begitu, beruntung juga, aku! Aku tercipta sebagai kepik yang paling indah dengan warna kemilau keemasan!" gumam si kepik emas dari balik daun.
Melintaslah seekor capung dengan tubuh merah merona di atas mereka.
"Hai, Capung Merah!" seru si semut memanggilnya.
"Hai, juga Semut! Kamu apa kabar?"
"Baik, Capung! Kamu sehat?"
"Iya, aku sehat. Salam buat kawananmu, ya! Aku hendak numpang istirahat di situ!" ujarnya sambil menunjuk suatu tempat.
"Oke, met istirahat!" semut melambaikan tangan kanannya.
Sepasang lebah berdengung-dengung di atas mereka. Suaranya sangat berisik. Maklum, keduanya sedang asyik hendak mencari madu.