Kepik Emas dan Ulat Bulu
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Seekor kepik berwarna keemasan terbang mengitari daun krangkung di tepian sungai. Ia masih bereksplorasi, mencari tempat paling nyaman untuk hinggap. Ia berputar-putar berkeliling, tetapi belum menemukan tempat yang dinilainya paling asyik. Sementara beberapa kepik berwarna merah dan bintik-bintik sudah merapikan barisan. Mereka berjajar dengan rapi di salah selembar daun krangkung kering. Namun, kepik keemasan itu tidak berminat bergabung.
"Ngapain aku gabung dengan mereka? Kan mereka berbeda dengan diriku! Secara ... aku kepik paling cantik! Warnaku keemasan, berkilau dengan indahnya!" senandikanya sambil mengangkat muka.
Sejenak ia berpikir ...
"Hmm ... sebaiknya aku cari tempat lain yang lebih asyik sajalah. Lagian sudah bosan di sini!"
Terbanglah ia ke kampung sebelah. Kebetulan, ada taman bunga dengan kondisi tampak sangat menyenangkan. Bebungaan warna-warni tumbuh dengan subur dan terawat. Maka, ia memilih untuk mencari tempat paling nyaman.
Ketika sedang beristirahat di bawah selembar daun yang cukup lebar, tetiba ia mendengar pembicaraan dua ekor satwa. Ia pun sengaja mendengarkan dari kejauhan, tetapi masih bisa mendengar dengan jelas.
Seekor ulat bulu sedang curhat kepada seekor semut merah, rupanya.
"Sudah, jangan dipikir. Jangan terlalu larut dalam kesedihan, Kawan!" ujar si Semut Merah.
"Nggak dipikir bagaimana, Mut? Tubuhku ini terlalu gendut, aku lelah! Melata membawa beban seberat badan ini, sementara kaki kecilku juga lengket dengan apa pun yang kuinjak!" keluhnya terdengar sangat sedih.
"La, ... ya, gimana lagi! Terima sajalah kondisimu dengan sukacita. Kalau kamu bergembira, nanti kesedihanmu pasti akan sirna. Bukankah hati yang gembira itu obat yang mujarab, Ulat? Kamu pernah mendengar, tidak?"
Si ulat bulu menggeleng-geleng bingung.