"Loh, kok berhenti, sih?"
"Sebentar ... ini tempatnya indah banget, sih ... dan kita perlu berteduh dari rintik hujan," katanya.
Sam menuju ke suatu tempat dan berbalik ke arahku sambil membawa sekuntum mawar yang dipetiknya di sana. Mawar merah yang begitu indah!
"Lana ... aku mencintaimu!" lirihnya sambil manik netra tajam menembus jantung hatiku.
Oh, so sweet ... gemetar seluruh ragaku mendengarnya. Dedaunan dari pepohonan rindang yang menaungi  sekeliling kami tiba-tiba luruh dan angin pun menerbangkannya ke mana-mana. Semesta rupanya mendengar detak jantungku yang berdegup tak beraturan. Rasanya jantung hendak melompat keluar! Sementara, lidahku kelu. Kakiku pun terasa kaku. Aku hanya mematung tak tahu harus menjawab apa!
Sam yang melihatku seperti itu, tiba-tiba menyentuh hangat tanganku.
"Hei ... aku akan menjagamu sebagaimana menjaga permata hatiku. Aku juga akan sabar menunggu hingga kau siap menerimaku sebagai imammu!" lanjutnya.Â
Terasa membayang pula di bulan Desember aku ulang tahun dirayakan hanya kami berempat, aku, Sam, Udin dan Sri. Dua sahabat karibku.
Pertama kali diiringi tempelan ujung bibirnya di keningku, sekilas, tak lebih dua detik. Namun, begitu berkesan. Sementara, semburat senja mulai turun diiringi gerimis hujan sepoi angin basah.
Sayangnya kami harus pindah rumah, tidak lagi berseberangan dengan indekosnya! Sam masih rutin berkunjung ke rumahku. Kehadirannya benar-benar sebagai pengobat rindu, walau dia tak pernah datang sendirian ke rumahku. Kala  di rumahku pun Abah serta mamaku selalu duduk berbincang bersama kami. Sekalipun demikian, hal itu terasa indah sekali.
Kami berdua mengarungi hubungan selama lima tahun tanpa kendala berarti. Namun, tiba-tiba mamaku tidak merestui hubungan kami. Bagai palu godam menikam jantung. Aku tidak bisa berbuat apa-apa!