Kala itu aku masih sangat belia, baru saja menginjak kelas awal bangku sekolah menengah pertama, aku lahir Desember 1963. Â Sam saat itu sudah menjadi mahasiswa. Wajah tampan, senyum sangat menawan, tutur kata lembut, dan cerdas pula. Aku benar-benar jatuh cinta. Jangan pernah katakan sebagai cinta monyet. Bukan! Cintaku adalah cinta pertama yang benar-benar tulus dan murni.
Suatu saat, kami berdua berboncengan sepeda motor miliknya dengan plat nomer polisi DA 5050 E, di tengah rintik hujan. Kami hendak menuju rumah teman. Di sanalah Sam yang suka iseng dan menggodaku mengendarai motor dengan diombang-ambing sehingga aku pun menjerit-jerit ketakutan sambil berpegangan erat pada pinggangnya.
"Jangan, jangan digoyang begini, aku takut ...!" seruku.
Sam malah tertawa sambil menggodaku. Tangan kirinya mendekap kedua tanganku yang berada di pinggangnya.
"Nggak apa-apa, asal kencang pegangannya!" teriaknya mengalahkan deru motor.
"Jangan kencang dan digoyang begini, Â ... please!" pintaku.
"Oh, ... iya, iya sorry Lana sayang ... kita pelan-pelan saja, ya!" katanya, "Nggak apa-apa 'kan kalau sampainya lusa?" selorohnya sambil menoleh ke belakang.
"Ihhh, kok lusa, sih?" sambil kucubit pinggangnya.
"Auuuww ... geli! Jangan dicubit di situ, dong ... Sayang!" keluhnya.
"Mau dicubit di mana? Di sini?" seruku sambil mencubit pangkal lengannya.
Terlihat dari jauh di tepi jalan itu ada pos satpam  sepi. Bangunan  berada di balik rumpun palma merah dan berbagai bunga memesona. Ada kelopak mawar sebesar cangkir, ada nusa indah, dan beberapa jenis lain. Warna-warninya sungguh memikat netra. Â
Lalu, tiba-tiba ia menghentikan kendaraan. Turun dari motor dan menuntunku untuk duduk di pos  itu.