Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selip Selumbar dalam Kerjap

22 Agustus 2024   08:21 Diperbarui: 22 Agustus 2024   09:55 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selip Selumbar dalam Kerjap
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Ampun, Bang. Ampuuuunnn!" teriak Arni berkali-kali di kamar mandi.

"Siapa percaya padamu, ha? Kamu mau lepas denganku? Rasakan ini!" si suami kembali melayangkan pukulan membabi buta.

"Aku tidak sengaja, Bang! Janin itu keluar sendiri dari rahimku!" keluhnya pilu.

"Sekali lagi kutegaskan, aku tidak pernah percaya dengan ocehanmu!" bentak si suami dengan mata membelalak.

"Aku tidak bohong, Bang!"

"Kamu memang tidak mencintaiku, Arni! Dasar, kamu perempuan binal!" teriaknya membahana.

Isak tangis, permintaan ampun, dan tamparan pun didengar oleh tetangga. Suami tak peduli. Amarahnya memuncak tidak terkontrol lagi. Bagai kesetanan dilayangkan tangan ke arah sang istri.

Hati Arni pun teriris king guilete tertajam mendengar perkataan, tepatnya makian suaminya. Teringat saat ia meminta restu kepada sang ibu. Sementara, sang ibu tidak ikhlas melepas restu buat gadis semata wayang itu, mengingat Arni mencintai lelaki dari luar pulau. Bukan ras deskriminasi, melainkan sang ibu menyangsikan perilaku, adat istiadat, adab, dan kesetiaan calon menantu mengingat beda etnis.

Kala itu Arni meyakinkan sang ibu kalau si abang yang berwajah sangar itu memiliki hati dan perilaku lemah lembut. Namun, tiga tahun pernikahan ternyata suami beda suku itu menunjukkan sifat aslinya. Justru sangat sangar dan kasar. Bahkan gemar minum arak atau tuak. Pergaulannya pun bukan pergaulan sehat.

***

Tangis Arni makin memilukan, tetapi bukannya dipedulikan, suami malah  meninggalkannya di kamar mandi dengan bunyi bantingan pintu.

Setelah membanting pintu kamar mandi, Reymon bergegas meninggalkan rumah dengan motor matic Arni. Entah ke mana!
Melihat Reymon meninggalkan rumah, beberapa saat kemudian, Meriam, ibu paruh baya yang tinggal berdekatan dengan Arni, datang ke rumah itu.

Arni masih menangis sesenggukan. Lebam di pipi kiri kanan dan lengan membiru merupakan bukti KDRT yang dideritanya.
Beruntung si suami lupa tidak menutup pintu rumahnya. Dengan demikian, dengan bebas Meriam bisa mencari dan menemukan Arni yang sedang sesenggukan. Ia meringkuk di kamar tidur sambil tangan mencengkeram perut. Lelehan darah masih deras mengalir dari rahimnya.

"Aduuhhh, ... Dik! Tak dapat kaupertahankan kalau adab suamimu seperti ini! Mari kutolong melapor ke RT. Segeralah berganti baju!" ajaknya.

Awalnya Arni menggeleng, tetapi nyeri di berbagai tempat membuatnya mengalah. Perut kram, masih terasa sangat sakit sehingga keluh tak bisa berhenti.

"Kau kenapa, Dik? Ada yang sakit?" tanya ibu paruh baya, tetangga baik hati itu.

"Sa-saya ... ke-keguguran, Ibu!" jawabnya tergagap sambil tetap memegang perut.

"Ooohh, ya Allah! Ayo kita ke klinik secepatnya!"

***  

Berdasarkan surat pernyataan dari dokter klinik swasta yang didatanginya, kedua wanita itu segera melaporkan kasus penganiayaan ke polsek setempat. Beberapa saat kemudian, surat keterangan dari kepolisian pun telah berada di tangan. Perjalanan lanjut ke rumah ketua RT dengan memohon maaf menomorsekiankan laporan. Harusnya berawal dari laporan RT, tetapi karena urusan keguguran, terpaksa ditempuh jalan terbalik.

"Tidak masalah, Ibu. Yang penting korban segera ditangani. Beruntung ada Ibu yang peduli terhadap kondisi dan keluhan warga! Terima kasih, Bu!" kata Ketua RT didampingi istrinya.

"Langkah apa yang hendak Bu Arni lakukan?" tanya Pak RT.

"Izinkan saya pulang ke rumah orang tua saya, Pak. Saya tidak pamit kepada suami. Saya titip-titip, ya Pak!"

"Oh, baiklah. Ini Bu Arni masih mau kembali ke rumah lagi, atau bagaimana?"

"Tidak, Pak. Saya akan langsung pesan ojek online untuk mengantar ke terminal!"

"Iya, Adik jangan kembali ke rumah lagi. Takutnya kalau Pak Reymon sudah pulang, pasti tidak bisa keluar lagi. Benar begitu kan Dik?" sambut Bu Meriam.

Arni mengangguk perlahan dengan sangat santun. Kelopak mata sembabnya pun tampak membiru. Sangat kasihan.

"Oke. Saya minta izin untuk memotokopi surat keterangan dokter dan surat dari kepolisian sebagai bukti tindakan kriminal suami ibu, ya!"

"Silakan, Pak!"

"Jadi, sayalah yang akan mengadukan kasus ini. Nanti kalau Bu Arni hendak menggugat cerai pun, surat ini bisa dimanfaatkan. Saya akan mengawal kasus ini, Bu! Sekarang, Ibu tetap tenang saja. Jangan lupa tinggalkan nomor HP Ibu kepada kami agar sewaktu-waktu ada perkembangan berita, kami bisa mengabarkan!"

"Baik, Pak. Terima kasih banyak."

"Adik hati-hati di jalan, ya!" ujar Bu Meriam sambil memeluk bahunya.

"Terima kasih banyak, Bu! Perhatian dan kepedulian Ibu sangat berarti bagi saya. Tuhan kiranya membalas kebaikan Ibu!" lirihnya sambil mencium telapak tangan tetangga itu.  

***

Tangannya mengetuk sebuah pintu rumah bercat cokelat. Tak  lama kemudian  seorang wanita paruh baya keluar dari balik pintu.
Ya, itu adalah  sang ibu yang menyayanginya. Sang Ibu sangat terkejut melihat wajah Arni begitu pucat dan tubuh penuh luka memar.

"Arni ... ada apa denganmu, Nak?!" teriak Ibu dari dalam rumah, "Siapa yang melakukan ini padamu, Nak?" lanjutnya.

Melihat kondisi memprihatinkan, sang ibu menangis sambil memeluk tubuh mungil itu. Arni hanya  terisak dalam pelukan ibunya.
Beberapa saat kemudian, suara tangisan dari ruang tamu itu membawa langkah sang ayah untuk menghampiri mereka.

"Arni ...?!" teriak ayahnya tak kalah kaget.

"Kenapa bisa sampai begini, Nak!?" Ayah bertanya sambil memeluk Arni.

"Ayah, Ibu, ... Arni ingin cerai dari Bang Reymon," ucapnya lirih dan penuh linangan air mata.

"Bang Reymon bukan orang yang tepat sebagai pelindungku. Aku bukan samsak!"  kata-kata Arni meluncur dengan tatapan kosong sarat derita.

"Rumah itu neraka bagiku, tempat yang salah untuk berteduh," ceracau Arni bak cutter tajam menusuk jantung kedua orang tuanya.
Kedua orang tua itu bertatap netra. Sendu.

"Kami menyerahkan seutuhnya kepadamu, Nak. Apa pun yang kamu mau lakukan, kami dukung," ujar sang ayah.

"Arni ingin merdeka! Merdeka dari penindasan, kebiadaban, dan kebengisan suami!" keluhnya mengiba.

Kedua orang tua itu memeluk putri kesayangan dengan hangat. Tak dibiarkannya siapa pun menyakiti raga dan jiwanya.

***  

Ninik Sirtufi Rahayu,  grandma yang getol belajar menuang kata dalam cerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun