Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasihat Bijak

21 Agustus 2024   06:58 Diperbarui: 21 Agustus 2024   08:20 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasihat Bijak
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Pagi itu si Teko nggruguh. Bahasa Jawa ini kalau diterjemahkan artinya merasa tubuhnya berada di dalam kelemahan luar biasa. Dia bergumam tidak beraturan, berkeluh berkepanjangan. Berkomat-kamit dengan bibir bergeletaran.

"Huhuhuuu ...,"  keluhnya dengan irama bergelombang gemetaran.

"Ha, kamu kenapa Teko?" tanya Mug, si cangkir besar, yang berada di sebelahnya.

  Sambil mengatup netra, dia menjawab, "Ba-badankuuu ...,"

"Kenapa dengan badanmu?" selidik Mug peduli.

"Ntah ... aku mau mati rasanya!"

"Hust! Sok tahu! Jangan mengigau, kamu!" bentak piring kecil yang biasa digunakan si Tuan untuk mendinginkan minuman.

"Huu ... huuu, kamu enggak tahu sih, betapa sakitnya tubuhku!" tandas Teko sewot.

"Kamu itu jangan melebih-lebihkan! Hal-hal kecil bisa ditanggulangi dengan bersyukur. Bernyanyilah, pasti rasa sakitmu akan teralihkan!" usul piring kecil serius.

"Huuuu bagaimana aku mau bernyanyi? Bersenandung saja pasti suaraku fals!" keluhnya.

"Ya, sudah! Jangan pikirkan sakitmu! Berpikirlah yang indah-indah, yang menyenangkan!"

"Bagaimana caranya, Ring?"

"Saat kamu awal-awal dibawa ke rumah ini, kamu pernah merasa senang, kan? Nah, ingat-ingatlah hal-hal yang menyenangkanmu itu! Dengan demikian, pikiran positif yang menguasai hati dan pikiranmu, Ko!" nasihat si piring kecil.

"Iya, benar! Kalau kamu sedang sakit, justru ingatlah saat sehat. Coba, pikir. Jika dibandingkan, antara sakit dan sehat, lebih banyak mana yang kau terima dan rasakan?" tanya Mug besar.

"Iya, sih. Banyak sehatnya daripada sakitnya!" jawab Teko tersenyum malu.

"Na, ya ... itulah! Itu yang harus kamu syukuri! Banyak peralatan dapur di rumah ini yang tidak terpakai dan menggeletak begitu saja, tetapi mereka tidak mengeluh, kan? Apakah kamu tahu bagaimana perasaan panci bocor yang kini disia-siakan itu? Walaupun akhirnya fungsinya berubah menjadi pengganti pot, ia diam saja! Nggak kayak kamu! Sakit sedikit saja merepet. Berisik, tahu!" Mug berpetuah panjang lebar dengan sangat serius.

Teko makin menunduk. Menyadari bahwa ulah yang dilakukannya salah, ia mencoba bersenandung dengan lirih.

"Hmmm, bersenandung begitu lebih bagus daripada merepet. Sakit telingaku mendengar keluh kesahmu! Memang kamu saja yang mengalami permasalahan? Enggak, kan?" pelotot Mug membuat Teko makin merasa rendah diri.

"Ah, Mug! Jangan terlalu keras kalau menasihati. Jatuhnya kamu malah mem-bully nanti!" ujar piring kecil.

"Jengkel dan kesal aku mendengar suara paraunya, Ring!" dalih si Mug mengelak.

"Hmmm, jadinya kalian malah seperti bertengkar, tahu! Telingaku pun sakit mendengarnya! Makanya, kalau bertutur itu jangan nge-gas! Volumenya biasa saja, netral. Bahkan, lebih bagus dengan nada rendah dan lembut. Dengan demikian, lawan tutur kita tidak akan sakit hati dan salah paham!" jelasnya santai.

"Hmmm ...!" Mug pun berpikir keras.

"Cobalah segala sesuatu itu dihadapi dengan kepala dingin dan dada lapang! Ucapkanlah dengan lemah lembut, pasti lawan tutur akan terpesona dan berterima kasih atas nasihatmu. Kalau kau berkata-kata model preman begitu, yang ada kamu malah menjadi preman beneran. Padahal, sejatinya kamu kan menasihati?" lanjutnya.

"Iya, sih. Maafkan aku ya, Teko! Suaraku terlalu keras. Bahkan bukan nasihat yang dengar dariku. Yang ada malah menjadi caci dan gertak!" ujar Mug menunduk.

"Iya, iya. Aku juga meminta maaf karena keluh kesahku kalian jadi jengkel. Aku sangat menjengkelkan kalian!" Teko mengatupkan kedua belah tangan di depan dada.

"Nah, terima kasih, Kawan!" sahut piring kecil. "Kini kalian masing-masing menyadari kekurangan diri. Ke depan, apa yang tidak disukai itu jangan diulangi lagi, ya! Jangan berkeluh kesah, justru bersyukurlah. Kita masing-masing memiliki tugas istimewa, jangan saling olok. Apalagi dendam! Iri, dengki, benci ... hingga dendam itu harus kita buang jauh-jauh agar damai sejahtera merajai hati kita. Bagaimana?" ajak piring kecil bersemangat.

"Baiklah, Ring. Aku setuju!" kata Teko sekali lagi mengangguk-angguk dan mengatup kedua belah tangan.

"Kamu bagaimana, Mug?"

"Siap. Aku akan mengubah sifat dan sikap arogan dan temperamentalku, Ring. Aku akan belajar menjadi alat yang lemah lembut dalam tutur kata maupun tindakan!"

"Nah, terima kasih, Kawan! Tutur kata yang membuat sakit hati itu malah seolah pedang menyakitkan yang mampu membunuh! Membunuh karakter, membunuh masa depan ... bahkan menjebloskan diri sendiri ke dasar jurang dosa. Sekarang paham, ya ... mengapa kita harus lebih sabar dan santun?"

"Iya, Ring. Mohon maafkan aku. Aku tidak sadar kalau karena terlalu emosi, tujuan awalku memberi tahu bisa jadi memberi racun. Kata-kataku bisa lebih menyakitkan hati kawan-kawanku. Kata-kataku jadi laksana sianida, padahal harusnya menjadi madu!"

"Bagaimana, Teko? Kalau begitu mari kita bersalam-salaman, bermaaf-maafan, dan berpelukan tanda bahwa di antara kita saling rukun!" ajaknya.

Ketiga sahabat itu akhirnya bersalaman, bermaafan, dan berpelukan. Teko tidak lagi berkeluh kesah. Mug tidak lagi gampang marah. Itulah persahabatan yang damai sejahtera. Walaupun piring seolah tidak berdaya, ternyata ia mempunyai wawasan pengetahuan luas luar biasa. Ia mampu melerai perdebatan. Ia menjadi pendamai di antara kedua sahabatnya.

"Wah, bersyukur memiliki teman sepertimu, Ring! Aku tidak menyangka bahwa sedewasa ini pemikiranmu!" kata Teko.

"Ah, biasa saja. Kebetulan saja. Enggak ada istimewanya, kok. Justru kalianlah yang luar biasa. Kalian memiliki potensi yang bisa dikembangkan lebih baik lagi!" ujar piring kecil merendah.

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun