"Ya, sudah! Jangan pikirkan sakitmu! Berpikirlah yang indah-indah, yang menyenangkan!"
"Bagaimana caranya, Ring?"
"Saat kamu awal-awal dibawa ke rumah ini, kamu pernah merasa senang, kan? Nah, ingat-ingatlah hal-hal yang menyenangkanmu itu! Dengan demikian, pikiran positif yang menguasai hati dan pikiranmu, Ko!" nasihat si piring kecil.
"Iya, benar! Kalau kamu sedang sakit, justru ingatlah saat sehat. Coba, pikir. Jika dibandingkan, antara sakit dan sehat, lebih banyak mana yang kau terima dan rasakan?" tanya Mug besar.
"Iya, sih. Banyak sehatnya daripada sakitnya!" jawab Teko tersenyum malu.
"Na, ya ... itulah! Itu yang harus kamu syukuri! Banyak peralatan dapur di rumah ini yang tidak terpakai dan menggeletak begitu saja, tetapi mereka tidak mengeluh, kan? Apakah kamu tahu bagaimana perasaan panci bocor yang kini disia-siakan itu? Walaupun akhirnya fungsinya berubah menjadi pengganti pot, ia diam saja! Nggak kayak kamu! Sakit sedikit saja merepet. Berisik, tahu!" Mug berpetuah panjang lebar dengan sangat serius.
Teko makin menunduk. Menyadari bahwa ulah yang dilakukannya salah, ia mencoba bersenandung dengan lirih.
"Hmmm, bersenandung begitu lebih bagus daripada merepet. Sakit telingaku mendengar keluh kesahmu! Memang kamu saja yang mengalami permasalahan? Enggak, kan?" pelotot Mug membuat Teko makin merasa rendah diri.
"Ah, Mug! Jangan terlalu keras kalau menasihati. Jatuhnya kamu malah mem-bully nanti!" ujar piring kecil.
"Jengkel dan kesal aku mendengar suara paraunya, Ring!" dalih si Mug mengelak.
"Hmmm, jadinya kalian malah seperti bertengkar, tahu! Telingaku pun sakit mendengarnya! Makanya, kalau bertutur itu jangan nge-gas! Volumenya biasa saja, netral. Bahkan, lebih bagus dengan nada rendah dan lembut. Dengan demikian, lawan tutur kita tidak akan sakit hati dan salah paham!" jelasnya santai.