Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Silent of Love (Part 17)

18 Agustus 2024   16:03 Diperbarui: 18 Agustus 2024   16:29 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Akhir Sebuah Kisah

Dua bulan setelah pengumuman kelulusan SMA, Klana pun diterima di salah sebuah perguruan tinggi negeri di kota tempat tinggalnya. Sujud syukur dilakukannya, mengingat betapa sulit untuk tembus ke jurusan yang diidam-idamkannya itu. Sungguh, merupakan suatu hadiah meskipun tidak keluar dari kotanya sendiri.

Klana membayangkan betaopa sulitnya hidup di perantauan jauh dari orang tua. Sedangkan selama ini berjauhan dengan sang ayah saja merasa kurang  nyaman, apalagi kalau berjauhan dengan bunda yang sangat menyayanginya itu. Belum lagi masih ada kewajiban untuk menjaga dua adik perempuan seperti yang diamanahkan sang ayah. Aduhai banget jika dia sendiri harus merantau, kan?
Ayah dan bundanya pun sangat bersuka hati. Sekalipun hadiah kendaraan roda empat tetap akan diserahkan, yang penting sang bunda masih melihatnya di rumah setiap malam. Beliau pun takut, jika tanpa pengawasan putra lelaki satu-satunya itu tidak pandai mengontrol diri dan pergaulannya. Maka, kontrol itu adalah kewajiban utama orang tua bagi tumbuh kembang mental putra-putrinya.

Gunawan ternyata harus mengikuti arahan orang tua untuk kuliah di mancanegara. Entah mengambil jurusan apa, Klana kurang tahu. Akan tetapi, dipastikan Wawan akan segera meninggalkan tanah air seminggu kemudian.

Mendengar berita itu, si bungsu Meylina sangat bersedih. Mengapa sang idola meninggalkan dirinya ketika signal itu belum sempat dikirimkan juga? Raut muka lesu bisa diprediksi sedemikian mudah bagi siapa pun yang menatap wajahnya itu. Demikian pula sang kakak.

"Dik, apakah karena Wawan melanjutkan studi ke mancanegara maka kamu bersedih seperti ini?" usutnya perlahan.

"Hmm, enggaklah. Lina bangga, kok. Kalau Mas Wawan kuliah di luar negeri, berarti nanti lulusan luar negeri, dong! Mantap, kan?" elaknya gentle.

"Hmmm, iya juga, sih! Tapi ... kan kita enggak bisa bersama-sama, ya, Dik?"

"Emang, masalah? Enggak, kan? Ada dia ataupun tidak, apakah berpengaruh terhadap hidup kita, Mas?"

"Hehehe ... cerdas banget adikku yang satu ini! Oke! Life much go on!"

"Mantap!" jawab si bungsu menyembunyikan galau sukma.

"Eh, Mas ... boleh enggak saat dia pergi kita ikut ngantar di bandara, ya?"

"Hmm, nantilah kutanyakan. Kalau dia izinkan, adik akan kuajak. Bagaimana?"

"Iya, Mas!"

***

Suatu malam, Gunawan datang bersama ayah bundanya. Ternyata mereka berpamitan hendak pindah ke luar negeri. Rumah akan disewa oleh salah seorang ekspatriat, rekanan sang ayah di departemen luar negeri.

Dengan sangat akrab dan santun, Wawan berpamitan dengan seluruh keluarga besar Klana. Kedua orang tuanya pun berterima kasih atas atensi keluarga Klana dalam menerima Gunawan, bukan hanya sebagai seorang kawan, melainkan layaknya seorang anggota keluarga.

Kebetulan sekali malam itu sang ayah sedang berada di rumah. Baru kemarin tiba dari Papua. Wawan sangat senang karena selama ini hampir dikatakan tidak pernah bertemu dengan sosok tersebut.

"Suatu saat kelak, aku akan kembali untukmu!" ujar Wawan sambil tersenyum sangat manis kepada Meylina.

"Maksudnya?" kejar Meylina dengan hati nano-nano.

"Yaaa, aku akan menjemputmu, Meylina! Jagalah hati dan dirimu baik-baik. Kejarlah mimpimu sambil tetap berdoa. Jangan lupa, doakan aku juga!" pesannya dengan netra berbinar-binar.

"Hei ... kalian ini kok mojok berdua, emang ada apa?" selidik Melani melihat Wawan sedang berduaan dengan si bungsu.

"Eh, enggak, kok ... Dik Melani. Wawan sedang pesan-pesan saja buat Dik Meylina. Betul begitu, kan Dik?" ujar Wawan sambil melihat wajah Lina dengan mengerjapkan netra.

Meylina hanya tertawa tipis sambil menunduk dan menutup mulut dengan telapak tangan kiri sehingga sang kakak pun makin penasaran. Tangan kanannya masih digenggam Wawan dengan erat.

"Wuahh, adikku ini benar-benar keterlaluan centilnya! Dasar, kecentilan!" batin Lani menggerutu.

***  

"Hmm ... awas, ya! Kalau kamu sampai menggoda Mas Bagus, tahu rasa kamu, ya Dik!" umpat Melani ketika melihat Meylina yang dinilainya berani dengan lelaki.

"Mas Bagus-nya juga begitu, sih! Tampak banget kalau memanjakan si bontot!" keluhnya sambil mengambil dan mengembuskan napas secara kasar.

"Lagian, apa sih kelebihan Lina? Hitam, dekil! Sementara aku kan lebih cantik dibanding dia? Mengapa juga Mas Bagus kelihatan begitu dekat dengan Lina, sih?" pikiran Melani melanglang buana.

Ada akar pahit yang mencengkeram hati nurani Melani. Dampak negatifnya sangat fatal. Kepahitan itu menggerogoti damai sejahtera dan sukacita di dalam hatinya. Otomatis semua berubah total.

Karena begitu jengkel, Melani tidak menghiraukan Bagus yang selama ini dengan sabar membersamainya. Hatinya membengkak dilanda cemburu dan curiga sehingga hubungannya dengan pemuda baik hati itu terkendala. Menyadari Melani mengacuhkan dirinya, Bagus pun  menjaga jarak. Dia sengaja mengelak untuk tidak memberi kesempatan kepada Melani. Dengan demikian, Melani pun merugi sebenarnya. Padahal ... dia sangat membutuhkan sosoknya.

Dengan Meylina, Bagus tetap berkomunikasi, bahkan relasi mereka makin baik. Meylina pun mencoba terbuka dengan meminta nasihat Bagus agar harapannya kepada seseorang tetap terjaga.

Bagus tanggap, ternyata Meylina berharap akan seseorang yang jauh dari jangkauan. Lina berniat memperbaiki diri dan bersiap memantaskan dirinya untuk menjadi seorang istri yang cakap. Bukan untuk dirinya, melainkan untuk seseorang yang tak pernah disebutkan  namanya. Apresiasi Bagus sangat mendukung kerja keras dan ikhtiar si bontot yang dianggapnya adik sendiri.

***  

Waktu pun berjalan begitu cepat. Lima tahun telah berlalu dengan tanpa terasa. Meylina diterima sebagai mahasiswi jurusan Bahasa Inggris di perguruan tinggi negeri, masih di kota yang sama. Sementara, Melani pun sudah mahasiswi, tetapi tidak diterima di perguruan tinggi negeri. Ia mengambil jurusan pariwisata di salah sebuah perguruan tinggi swasta. Oleh karena itu, hadiah kendaraan roda empat tidak berhasil diraihnya. Sementara, karena bisa masuk perguruan tinggi negeri, Meylina berhak memperoleh hadiah kendaraan roda empat dari sang ayah tercinta.

Agar tidak terjadi kesenjangan sosial dengan sang kakak, Meylina memilih menunda hadiah dari sang ayah. Dikatakan olh ayah, Melani akan memperoleh hadiah roda empat kalau berhasil lulus menjadi sarjana. Maka, artinya setahun lagi, jika Melani lulus barulah akan memperoleh hadiah itu.

Meylina memilih menabung, mendepositokan uang pembelian kendaraan roda empat untuk dibelikan tahun depan, menunggu Melani lulus. Dengan demikian, Meylina sangat menghargai si kakak.

***

Akhirnya, Melani pun lulus dari perguruan tinggi swasta tempat menimba ilmu. Sang ayah pun memberikan haknya. Dimintanya Melani memilih sendiri jenis kendaraan dengan besaran harga yang ditentukan. Bersamaan dengan itu, Meylina pun harusnya memperoleh kendaraan roda empat.

Namun, Meylina merasa cukup dengan sepeda motor saja. Dia beralasan dengan sepeda motor lebih irit dan gesit. Dia masih akan menyimpan dana pembelian mobil tersebut dengan aman. Hingga sampailah studinya di semester keempat. Di dalam hatinya dia pun menyimpan alasan lain, tidak enak hati dengan sang kakak. Juga ingin menjaga agar sang kakak lebih nyaman dan tidak merasa iri ataupun tersaingi. Pahamkah sang kakak akan pengertian si adik ini? Entahlah.

***

Suatu malam, tepat ketika sang ayah baru datang dari Papua, datanglah tamu dari jauh. Tiba-tiba Gunawan datang bersama kedua orang tuanya tanpa memberi kabar sebelumnya. Karena itu, sang ibunda membawakan aneka lauk yang bisa digunakan makan malam bersama.  Tuan rumah hanya dibisiki, diminta menyiapkan nasi saja.

Keluarga itu sengaja datang hendak meminang salah seorang putri keluarga itu. Siapa gerangan target Wawan? Melanikah? Atau Meylina?

Klana tidak pernah berpikir bahwa Gunawan akan meminta salah seorang adiknya hendak dijadikannya sebagai istri. Ah, ... rasanya lucu saja! Hanya kepada Meylina, wawan pernah berjanji suatu saat akan menjempunya. Kali inilah janji itu ditepatinya.

Secara bersamaan, pada malam yang sama, Bagus yang sudah menyelesaikan pendidikan dokter pun keesokan harinya hendak melaksanakan sumpah dokter. Oleh karena itu, kedua orang tua Bagus pun datang ke rumah indekos sang putra. Sambil menyelam minum air, kata Bagus, mereka sekalian hendak meminang pujaan hati.

"Oh, ... ya Allah, rezeki datang bersamaan, ini!" ujar sang ayah menerima tamu dua keluarga.

"Apakah ... direncanakan sebelumnya?" tanya sang ayah sambil terheran-heran.

Orang tua Wawan yang datang lebih dulu pun menggeleng, sementara orang tua Bagus hanya tersenyum-senyum.

"Izinkan kami yang datang lebih dulu untuk mengemukakan tujuan kami," ujar ayah Wawan.

"Iya, silakan!" kata sang ayah dan ayah Bagus hampir bersamaan.

"Kami berdua mengantar Wawan putra semata wayang kami untuk meminang salah seorang putri Bapak dan Ibu!"

Ayah  Bunda Melani dan Meylina sangat kaget.
Belum sempat menjawab, ayah Bagus pun mengajukan permohonan.

"Selain untuk menghadiri sumpah dokter, kami pun berniat meminang putri Bapak dan Ibu untuk putra tunggal kami, Bagus!"

"Wuahh .... kami sangat berterima kasih, tetapi siapa pilihan Wawan dan siapa pilihan Bagus, semoga bukan orang yang sama!" ujar sang ayah. "Sungguh merupakan suatu kehormatan dan permohonan luar biasa, terima kasih! Monggo, silakan pilih sendiri, Nak!" ayah mempersilakan kedua pemuda tersebut untuk mengemukakan pilihan hatinya.

"Bagus?" panggil ayahnya, "Silakan, Nak ... siapa pilihanmu?"

Bagus pun menuju kursi yang ditempati kedua gadis itu. Sambil menggoda, Bagus seolah-olah bertanya kepada hadirin, mana yang harus dipilihnya. Tetiba Wawan pun mengikuti langkah Bagus.

"Mas, jangan memilih pilihan hatiku, ya!" bisiknya kepada Bagus.

"Saya tahu!" jawab Bagus mengangguk-angguk.

"Saya memilih ...."  ketika Wawan belum selesai bicara dipotonglah oleh Bagus.

"Dik Melani untuk saya, ya Dik Wawan!" sambut Bagus cukup lantang.

Tepuk tangan riuh membahana di area ruang tamu itu. Selanjutnya, kedua pemuda tersebut menuju kursi mendekati gadis yang dipilihnya.

"Maukah engkau menjadi istriku, Dik?" tanya Wawan kepada Meylina yang langsung dijawab anggukan dan senyum manis.

"Apakah engkau bersedia menjadi ibu dari anak-anakku, duhai gadis cantik?" rayu Bagus kepada Melani.

Seketika Melani pun membalas dengan anggukan sambil menitikkan air mata.

"Demikianlah acara lamaran dua pasang calon mempelai malam ini. Saatnya hadirin dimohon ke ruang tengah karena makan malam sudah disiapkan Bi Imah!" sambut Klana diiringi tepuk tangan meriah semua yang hadir.

"Hahaha ... untuk menghemat biaya, bagaimana kalau pernikahan kedua putra putri kita ini disatukan saja?" ujar sang ayah tiba-tiba.

"Monggo saja, yang penting pernikahan mereka sah di mata negara dan agama!"sambut orang tua Wawan.

The end
 
Syukur alhamdulilah, terpujilah Tuhan. Sudah diberkati selesai tugas saya penulisan novela selama seminggu dengan tantangan 17.500 kata. Terima kasih atas atensi dan apresiasi Bapak dan Ibu sekalian. Terima kasih. Salam hangat dari kota dingin Malang, Jawa Timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun