Kita Masing-masing Saja
Â
Bulan April pun tiba. Si kakak sulung sudah mempersiapkan tugas sekolah  dengan baik. Masih setia berteman dan bersama Gunawan. Bahkan, atas permintaan Klana, Wawan diminta tinggal bersama di rumahnya saat ujian nasional dilaksanakan. Atas persetujuan Bunda, kedua perjaka itu berkomitmen untuk sama-sama meraih cita-cita dengan belajar dan berusaha giat serta tekun.
Meylina sangat senang mendengar bahwa sang kakak sulung mengajak  pujaan hati tinggal di rumah selama ujian berlangsung. Artinya, dia akan bisa bertemu dengannya. Maka, dia bertekad akan membantu mempersiapkan camilan agar mereka bisa belajar dengan tenang karena perut kenyang.
Tanpa setahu Melani, Lina telah mengikuti kursus memasak, khususnya mengambil spesialisasi membuat kue, puding, dan es cream. Kursus selama tiga bulan, membuatnya percaya diri untuk mengolah bahan sebagai upaya praktik tataboga. Sementara itu, Melani pun telah mengikuti les vokal dan musik bersama Dian.Â
Lani berharap, ketika pelepasan siswa kelas 12 nanti, bisa mempersembahkan lagu-lagu dengan indah dan tanpa kesalahan. Kedua gadis tersebut ternyata secara diam-diam memoles diri menjadi lebih baik sebagaimana nasihat sang bunda dan lingkungannya sebagai  support system team bagi mereka.
Tepat ketika Klana dan Gunawan sedang melaksanakan ujian-ujian, Lina telah mampu mempersembahkan hasil karya terbaiknya. Dia mencoba membuat kue-kue dan puding sendiri untuk kedua kakak yang sedang berjuang di dunia pendidikan.
"Selamat belajar, kakakku yang ganteng!" tulisnya di sebuah nota diletakkan pada sebelah bawah, terselip pada dua cup puding yang telah berhasil dibuat.
Dikirimnya juga puding yang sama buat Bagus, dengan catatan berbeda, "Terima kasih atas jerih lelah membantu belajar Lina. Semoga kudapan ini mewakilinya!"
Melihat Meylina sibuk di dapur, apalagi bunda membantu membelikan perlatan yang dibutuhkan, Melani bergeming. Dia merasa bukan bakat dan minatnya pada area dapur. Dia lebih senang bidang seni, olah vokal, dan musik. Melani meminta dana ekstra untuk biaya les musik, terutama gitar. Bersama Dian, teman sebangku yang bisa mengerti dan memahami dirinya, Melani mencari dan menemukan guru les musik secara private.
Setelah kasus  bullying yang dialami di sekolah selesai, Melani mendapatkan Dian, gadis yang se-frekuensi dengannya. Bahkan, persahabatan dengan Dian membuatnya lebih percaya diri. Suara merdu mereka saat duet tampak kompak dan terdengar indah.
Bersama Bravo, seorang pemuda kakak kelas kebetulan teman les musik dari sekolah yang sama, suara mereka dipadukan oleh guru musik sebagai trio.Â
Ternyata berasal dari satu sekolah memudahkan mereka berkoordinasi. Karena itu, ketiganya dilatih khusus menyanyikan beberapa lagu untuk mengisi acara pada perpisahan sekolah nanti. Kebetulan, guru musik tersebut juga pembina ekstrakurikuler bina vokalia di sekolahnya. Klop, pas benar. Sesuatu yang sangat membanggakan dan membahagiakan hatinya.
***
"Bund, boleh enggak Lina lanjut ikut les rias?" bisiknya ketika sang bunda sedang duduk sendiri di teras depan sambil memperhatikan Pak Sukri memotong pohon pucuk merah.
"Boleh, dong, Sayang! Apa sih yang enggak buat botot Bunda yang manis ini?" senyum bunda mengelus rambut si ragil yang terurai lepas usai keramas sore itu. Â
"Menurut Bunda, apakah Lina melanjutkan untuk les masak juga? Atau bagaimana?"
"Menurut Bunda sih, kuasai ilmu masakmu sampai tuntas. Siapa tahu, suatu saat Lina bakal punya usaha katering atau kuliner yang bisa menghidupi Lina. Seenggaknya, Lina sudah siaplah menjadi seorang istri. Apalagi, kalau punya keterampilan lebih, bisa juga loh menjadi sarana usaha. Wanita itu bisa menjadi pengusaha meskipun hanya skala rumahan. Kalau ditekuni omsetnya bisa wah juga, loh!"
"Iya, juga ya Bun! Namun, Lina juga ingin bisa berdandan sendiri. Bagaimana pun Lina pasti akan minta Bunda untuk mengizinkan les rias!"
"Baiklah. Kalau itu sudah menjadi tekad Lina, tugas Bunda hanya mendukung dan memfasilitasinya!"
"Terima kasih, Bunda!" peluk Meylina.
"Iya, Sayangku!" dikecupnyalah pucuk kepala si bontot dengan penuh kasih sayang.
***
 Ujian telah selesai dilaksanakan si sulung. Kini saatnya kedua pemuda itu memacu diri mempersiapkan untuk memasuki jenjang perguruan tinggi.
"Wan, kalau misalnya kita bisa masuk perguruan tinggi di kota ini, bagaimana kalau begini ...," usul Klana.
"Begini bagaimana?"
"Iiih, kok dibalik, sih?"
"La, iya ... bagaimana?"
"Kamu tinggal bersamaku saja di rumah ini. Lalu rumahmu itu kamu kontrakkan saja!"
"La ... kalau kedua orang tuaku datang, gimana?"
"Ya, tinggal di sini saja! Uang kontrakan rumahmu itu, bisa kamu masukkan deposito. Aman, kan?"
"La, trus aku di sini? Indekos?"
"Bisa juga begitu, bisa juga enggak!"
"Hehe ... kita aja belum tahu dan belum tentu masuk ke mana, loh, Klan! Kamu mikirnya ... sudah kecepatan!"
"Hehe ... iya, juga sih!"
"Kalau aku enggak tembus, kayaknya aku harus ikuti kemauan ayahku, deh, Klan!"
"Oh, gitu! Emang, kamu maunya masuk jurusan apa dan di mana?"
"Itu, dia! Kamu tahu kan kalau kami enggak pernah bisa bersama-sama. Kayaknya, ibuku akan mengikuti ke mana aku kuliah nantinya. Mungkin juga ikut di tempat ayah berada, sih!"
"Lah ... rumahmu? Sayang, loh, kalau dijual!"
"Enggak, enggak bakalan dijual kok!"
*** Â
Hari yang dinanti-nantikan pun tiba. Pengumuman kelulusan dilanjutkan malam perpisahan. Kedua pemuda tersebut tentu saja lulus dari SMA-nya, tetapi belum tentu lolos masuk perguruan tinggi negeri. Oleh karena itu, tidak membuang waktu berharga, masing-masing mengejar mimpi melalui les bimbingan belajar intensif di tempat yang disukai. Ada beberapa  tempat les yang terbukti berkualitas dengan mengantar calon mahasiswa lolos ke perguruan tinggi  negeri idaman.
Di sela-sela waktu, hari perpisahan pun makin dekat. Pada moment tersebut, Melani, Dian, dan Bravo berkesempatan mengisi acara. Suara mereka sangat bagus hingga memukau hadirin.Â
"Wuah, suara Lani ternyata luar biasa!" ujar Wawan yang duduk di sebelah Klana.
"Iya, aku aja nggak pernah dengar dia bernyanyi, loh. Kejutan luar biasa, ini anak!" aku Klana serius.
"Kamu tuh, ya! Punya dua adik hebat malah tidak tahu-menahu!" tuding Wawan.
"Hehe ... gitu, ya?"
"La, iya! Masakan Lina ... hmmm, pasti bikin aku kangen kalau berada di tempat lain!"
"Oh, memang kamu sudah menentukan kuliah di mana, Wan?"
"Belum tahu juga, Klan. Ayah dan ibuku masih merundingkannya. Ini karena berkaitan dengan dana pendidikan dan jurusan yang harus aku ambil!"
"Haduuuhh! Kan yang hendak menjalani perkuliahan kamu! Kenapa harus mereka yang menentukan, Wan?"
"Begitulah! Memang kamu pikir menjadi anak tunggal itu enak?" sergahnya.
"Hmm, kasihan banget kamu, ya! Kupikir sangat enak menjadi putra semata wayang!"
"Kata siapa? Itu kan menurut kamu. Sementara, aku yang menjalaninya, beda!" sergah Wawan.
"Ya, sudahlah ... solusinya begini: mari kita songsong nasib dan takdir kita masing-masing saja. Kalau kangen, ya ... kita kan masih bisa video call. Iya, kan?"
"Hehe ... akhirnya, ya begitulah kesimpulannya. Kita masing-masing saja! Simple, kan?"
***
Â
Mohon dukungan doa restu untuk kelanjutan proses penulisan novela teenlit ini, ya Bapak, Ibu dan Adik-adik sekalian. Terima kasih Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H