"Bund, boleh enggak Lina lanjut ikut les rias?" bisiknya ketika sang bunda sedang duduk sendiri di teras depan sambil memperhatikan Pak Sukri memotong pohon pucuk merah.
"Boleh, dong, Sayang! Apa sih yang enggak buat botot Bunda yang manis ini?" senyum bunda mengelus rambut si ragil yang terurai lepas usai keramas sore itu. Â
"Menurut Bunda, apakah Lina melanjutkan untuk les masak juga? Atau bagaimana?"
"Menurut Bunda sih, kuasai ilmu masakmu sampai tuntas. Siapa tahu, suatu saat Lina bakal punya usaha katering atau kuliner yang bisa menghidupi Lina. Seenggaknya, Lina sudah siaplah menjadi seorang istri. Apalagi, kalau punya keterampilan lebih, bisa juga loh menjadi sarana usaha. Wanita itu bisa menjadi pengusaha meskipun hanya skala rumahan. Kalau ditekuni omsetnya bisa wah juga, loh!"
"Iya, juga ya Bun! Namun, Lina juga ingin bisa berdandan sendiri. Bagaimana pun Lina pasti akan minta Bunda untuk mengizinkan les rias!"
"Baiklah. Kalau itu sudah menjadi tekad Lina, tugas Bunda hanya mendukung dan memfasilitasinya!"
"Terima kasih, Bunda!" peluk Meylina.
"Iya, Sayangku!" dikecupnyalah pucuk kepala si bontot dengan penuh kasih sayang.
***
 Ujian telah selesai dilaksanakan si sulung. Kini saatnya kedua pemuda itu memacu diri mempersiapkan untuk memasuki jenjang perguruan tinggi.
"Wan, kalau misalnya kita bisa masuk perguruan tinggi di kota ini, bagaimana kalau begini ...," usul Klana.