Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan berrcanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Silent of Love (Part 6)

13 Agustus 2024   16:09 Diperbarui: 13 Agustus 2024   16:12 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B


Apakah Aku Jatuh Cinta?

"Duh, si kakak bikin aku maluuuu! Kenapa, sih ... ia enggak menghargai perasaanku?" rutuk Lina di dalam hati.
Sambil memandang bayangan diri di cermin, tirta netra merembes perlahan-lahan tanpa disadarinya.

"Kakak tega! Aku sangat malu. Mengapa ia mempermalukan aku di hadapan sahabatnya begitu, sih?"

"Sttt ... enggak apa-apa, Lina! Kakakmu tidak sengaja dan tidak berniat mempermalukan atau menyakiti hatimu, kok. Ia hanya bercanda. Memang keterlaluan alias sedikit kelewatan. Mereka kaum lelaki sering kurang memperhatikan hati wanita. Itulah bedanya. Mereka menggunakan logika bukan rasa! Tapi, tenanglah. Sahabat kakakmu itu orangnya baik, kok. Kayaknya kamu enggak perlu malu di hadapannya!" sanggah hati kecilnya.

"Iyakah? Apakah kau bisa kupercaya, Cermin?"

"Hei, aku adalah dirimu. Yang bicara ini hatimu, Lina! Ini kata hatimu. Bukan cermin yang berbicara! Kuralat, ya!" hati kecilnya memberontak.

"Oh!" serunya.

"Iya, Meylina! Aku dan kamu adalah satu. Kita ini satu. Aku yang berkata-kata denganmu ini adalah sanubarimu sendiri. Paham?"

"Oh, ...!"

"Jangan ber-ah-oh saja, Lina! Akulah kata hati, sanubarimu. Aku pulalah yang sering memberitahukan segala sesuatu yang pantas atau harus kamu lakukan. Aku juga sering menolak atau melarangmu melakukan hal-hal yang negatif, kan? Sayangnya, kamu tidak patuh! Kamu sering mengabaikan!"

"Jadi?"

"Ya, akulah yang seringkali dipakai oleh Tuhan sehingga menjadi suara Tuhan dalam hal segala sesuatu yang baik, yang membawa berkat! Sebaliknya, kalau hal-hal salah dan jelek serta bertentangan dengan firman Tuhan, berarti itu iblis yang ingin menjerumuskan manusia, termasuk kamu. Makanya, selalulah berharap dan berkomunikasi dengan Tuhan, Allahmu yang esa itu agar suara-Nyalah yang kau dengar sebagai suara hatimu itu!"

"Oh, gitu, ya!"

"Iya, Lina! Ketika kamu bersenandika seperti ini, selalulah sebut nama Tuhanmu dan hadirkan Dia di dalam hatimu sehingga yang terjadi adalah komunikasimu dengan Dia yang bertahta di surga!"

"Terima kasih, wahai sanubariku ... yang telah mengingatkanku akan hal-hal baik dan kebaikan. Semoga Allah yang senantiasa menonton ulahku pun menuntun ke jalan yang benar sesuai kehendak-Nya, amin!"

"Amin!"  

Ketika Lina selesai bersenandika, didengarnya suara ketukan pintu dengan lembut.
Ternyata, sang bundalah yang sedang berada di hadapannya, di ambang pintu.

"Bundaaa ...," lirihnya.

"Ada apa, bungsuku ... Sayang?"

"Enggak apa-apa, Bund. Tadi mata Lina sempat kelilipan sehingga Lina kucek dan jadi seperti ini!"

"Oooh, ...!"

"Sekarang sudah baikan, kok. Bunda ada perlu dengan Linakah?"

"Emmm, iya. Sedikit, sih."

"Emang, ada apa, Bund?"

"Ini, maaf ... ya. Jangan Lina marah pada Bunda. Bunda cuma mau nanya doang, kok. Emang, ... tadi itu ada apa, sih? Kok sampai kakak sulung kebingungan, gitu?"

"Hmm ... Lina malu, Bund! Habisnya si kakak mempermalukan Lina di depan sahabatnya! Jadi bete, kan, Bund!"

"Malu ... kenapa?"

"Ya, Lina merasa dipermalukan, Bund!"

"Jangan-jangan itu ... perasaanmu sendiri, Sayang?"

"Enggaklah! Kakak bercandanya kelewatan banget! Lina  malu sama Mas Wawan, kan, Bun!"

"Oh, ... sebenarnya kakakmu memang bercanda, Sayang. Masalahnya, kakakmu memang bersalah karena ... lupa kalau Lina tuh cewek! Buat cowok, masalah bercanda begituan tentu tidak dimasukkan ke dalam hati. Sementara, ia lupa bahwa Lina tuh bukan cowok!"

"Itulah! Lina sebel, kesal, dan malu ... pakai banget! Rasanya nggak mau ketemu dengan Mas Wawan lagi, deh! Tega banget, si kakak!"

"Hmmm, ya, ... sudah. Maafkan saja. Sebab, dengan memaafkan itu sebenarnya Lina juga berusaha menyembuhkan, loh! Bukan menyembuhkan luka mereka yang menyalahimu saja, melainkan lebih ke penyembuhan hati dan pikiranmu sendiri, Nak. Cobalah, setelah kamu memaafkan dengan ikhlas, nanti kan terasa ringan! Pasti, itu!"

"Tapi ... Lina masih kesal, Bunda!"

"Justru masalah ini mengajari dan mengajar Lina untuk bisa berbuat sabar, ikhlas, dan tulus baik memberi maaf,  maupun untuk meminta maaf juga!"

"Meminta maaf? Bukankah Lina enggak bersalah, Bunda? Mengapa harus Lina yang meminta maaf?"

"Dalam kamus relasi manusiawi, enggak ada yang namanya manusia itu bersih dari dosa dan kesalahan. Walaupun tidak disengaja, tidak dirasakan, manusia pasti memiliki dosa. Adalah suatu kesombongan jika tidak mengakuinya. Sementara, Allah akan mengampuni dosa tersebut ketika kita meminta maaf, baik kepada manusia, maupun kepada Tuhan. Uniknya, jika kita tidak mengampuni sesama kita, Allah pun tidak berkenan mengampuni dosa kita. Nah, jadi ... bagaimana? Kalau Allah saja mengampuni, masakan kita mau sombong dengan bersikukuh tidak mau mengampuni? Padahal, kita tahu kalau tidak mengampuni sesama, otomatis juga tidak diampuni-Nya, loh!"

"Emmmmmh, begitu ya Bun?"

"Iya, Sayang! Apa, sih beratnya mengampuni? Anggap saja orang yang membuatmu sakit hati, kecewa, atau tidak nyaman itu tidak sengaja. Cukuplah. Pasti kamu bisa memaklumi, kemudian mengampuninya."

"Lina malu sama Mas Wawan, Bun!"

"Nggak apa-apa. Nanti, kita bisa menjelaskan segala sesuatunya sehingga semuanya menjadi clean and clear. Bagaimana? Apakah kamu membiarkan duka hatimu dan duka hati mereka terpendam sampai matahari tenggelam? Bagusnya, ya ... segera diselesaikan secepatnya agar nanti malam bisa tidur dengan nyenyak, Nak!"

"Bagaimana, ya, Bun?"

Sebentar kemudian, terlihat sang bunda sedang memanggil via telepon selular yang dipegangnya. Tidak sampai sepuluh menit, dua orang pemuda datang pada Bunda.

Si kakak sulung dengan sahabatnya! Karena merasa malu, Lina menyembunyikan mukanya dengan bantal.

"Wuahhh, kamar Dik Lina rapi banget!" puji Wawan spontan.

"Hehehe ... Meylina ini putri Bunda yang paling rajin, loh Wan!" jawab sang bunda memuji si bungsu.

"Bunda, ... Wawan mau minta maaf pada Dik Lina. Sebab, mungkin saja Dik Lina tadi kecewa dengan ulah atau ucapan kami berdua. 

Bagaimana, apakah Dik Lina mau memaafkan kami?" ucap Wawan secara gentle.

"Iya, Dik. Kakak juga minta maaf. Kakak telah bersalah karena mencandai Adik sangat kelewatan. Kakak janji tidak akan mengulanginya lagi," sambung sang kakak sulung.

Meylina masih bergeming. Lalu, sang bunda menjembatani pertikaian antara kakak adik tersebut dengan berbagai nasihat bijak.

Seperti biasa, berada di dekat Wawan menjadikan gadis itu tanpa daya. Jantungnya berdegup kencang, lidahnya kelu. Di dalam hati ia mengiyakan permintaan maaf kakak dan sahabatnya itu, tetapi entahlah mulutnya terkunci rapat. Wajahnya pias, tangannya gemetaran.

Sang bunda begitu peka sehingga mengambil alih kesempatan.

"Bunda yakin, bungsu bunda yang manis ini bersedia memaafkan kalian berdua. Namun, ingatlah ... jangan samakan wanita atau perempuan dengan lelaki. Kalau kalian menomorsatukan logika, tidak demikian dengan kaum kami. Kami lebih mengedepankan perasaan, daripada logika alias pikiran. Jadi, mulai berpikirlah untuk memperlakukan kaum kami dengan lebih santun, lembut, dan hati-hati!" ujarnya tegas.

"Baik, Bunda! Terima kasih atas nasihatnya. Akan Wawan jadikan ajimat sepanjang hayat!"

"Siap, Bun! Klana juga akan memperhatikan nasihat bunda ini. Ke depan jika Klana punya pasangan, pacar, hingga istri ... akan Klana perlakukan dengan lebih lembut. Terima kasih, ya ... Lina, masalah ini telah menjadi pelajaran sangat berharga bagi kami, Kakak dan Wawan juga!"

Meylina masih bergeming. Sang Bunda memeluk erat putri bungsunya ini dengan lembut.

"Sudah, kamu tidak perlu cemas dan malu. Klana dan Wawan sengaja Bunda ajak masuk ke kamar pribadimu ini semata-mata berharap masalah ini selesai di sini. Di luar, kalian sudah harus melupakan yang berlalu. Kita cukupkan di sini. Masing-masing kalian harus menjadikan pelajaran berharga dalam hidup berproses menuju ke kedewasaan. Bunda tahu memasukkan lawan jenis ini tabu, tetapi lebih dari itu, biar kalian makin pintar di dalam berinteraksi dan bersosialisasi. Paham, ya?"

"Siap, Bunda!" jawab kedua pemuda itu serempak.

"Sekarang, silakan kalian keluar. Ingat, jangan simpan dendam di dalam hati!"

"Terima kasih, Bunda. Terima kasih, Dik Lina!" ujar Wawan santun.

"Saya idem. Thanks adikku Lina yang manis! Makasih bundaku, Sayang!" Klana memeluk bundanya sejenak dari samping karena sang bunda pun sedang memeluk Lina yang masih bergeming.

Sang bunda mengangguk mempersilakan kedua jejaka tersebut keluar dari kamar pribadi putri bungsunya.

"Kamu kenapa lagi, Manis?" ucap bunda sambil membelai anak rambut si bontot.

Lina sangat ingin mengatakan atau menanyakan pada bundanya, "Apakah aku sedang jatuh cinta?"
Akan tetapi, ternyata ... kata-kata itu tetap tercekat, tak dapat dikemukakannya. Jadi, hanya menjadi rahasia besar baginya, bagi Lina seorang diri.

***  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun