"Hehe ... enggak sembunyikan sesuatu, kok, Kak. Mmm ... menurut Lina, kakak emang keren. Paling tampan serumah karena dua adikmu cewek, kan, Kak?"
"Hehe ... kamu benar juga, sih, Dik. Sejujurnya, Kakak juga pingin adik lelaki yang bisa Kakak ajak bermain bola. Tapi ... dapatnya malah dua cewek!" gerutu kakaknya.
"Kan ada Mas Wawan yang menemani Kakak? Itu bisa mewakili kami, kan, Kak?"
"Iya, juga, sih! Wawan malah kasihan banget! Enggak punya saudara sama sekali. Kupikir, benar-benar ia kesepian. Eh, ... terima kasih, ya, Dik ... kamu telah mengingatkan Kakak. Sekarang, Kakak akan ke rumah Wawan! Kasihan dia kalau kesepian!" Â ujar sang kakak lanjut segera mengambil motor dan memacu ke rumah sahabatnya itu. Â
Dalam hati sebenarnya Lina ingin mengetahui kenapa Wawan jarang main ke rumah lagi. Akan tetapi, jika jelas-jelas kalimat itu yang disampaikan, takut ketahuan kalau ia sedang rindu kepada Wawan, kan? Makanya Lina sengaja berputar-putar saja sebagai dalih.
Sekitar dua puluh menit kemudian, sang kakak membawa sahabatnya itu ke rumah.
"Lin, Linaaaa!" panggil sang kakak sulung dengan lantangnya.
Meylina yang baru saja masuk kamar pribadi tergopoh-gopoh mendatangai sumber suara. Melihat sang kakak bersama sahabatnya dengan senyuman manis terkembang, jantungnya langsung memacu lebih kencang.
"Oh, ya, Allah! Kukira ada apa hingga Kakak berteriak lantang begitu!" serunya sambil masih memegangi dada.
"Kamu kenapa, Dik?" tanya Wawan mendekat begitu melihat wajah si gadis pucat pasi.
Lina pun tersipu malu. Apalagi manakala manik netranya bersirobok dengan sang pujaan. Makin kencang dentum detak jantung di dadanya.