Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Pemilik 25 judul buku solo dan 164 judul antologi

Menulis bukan sekadar hobi, melainkan kebutuhan. Sebagaimana udara yang terjebak di usus jika tak keluar sebagai kentut akan menyakitkan. Namun, setelah keluar betapa lega rasanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Silent of Love (Part 3)

12 Agustus 2024   19:30 Diperbarui: 12 Agustus 2024   19:41 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bab 2  
Sebuah Rasa

"Dik! Lin, Linaaa ...!" teriak Melani di depan kamar adiknya.

"Ya, Kak!"

"Boleh Kakak masuk?"

"Silakan, Kak. Pintu enggak dikunci, kok!"

"Hehe ... Dik, menurutmu bagaimana kalau seandainya Kakak menyukai seseorang?"

"Ya, nggak apa-apa, Kak. Kalau memang sudah waktunya, kenapa enggak?"

"Tapi ... apakah Ayah dan Bunda mengizinkan kita pacaran saat masih remaja, ya?"

"Naaa, itu yang Lina kurang tahu, Kak! Sebaiknya memang kita bahas saat di meja makan, ya Kak. Kalau Kakak berani menanyakan, akan lebih bagus. Apalagi pas Ayah datang! Dengan demikian, kita bisa mengetahui rencana orang tua terhadap kita. Itu sih pemikiranku, Kak!"

"Iya, juga sih. Aku akan coba tanya-tanya dulu kepada Bunda, bagaimana kehendak beliau tentang masa remaja kita ini!"

"Cieee ... Kakak sudah punya seseorang yang spesial, nih!"

"Ah, kamu ... apaan, sih!"

"Lah, Kakak yang memulai mendiskusikannya. Artinya, Kakak sudah punya gebetan, ya!?"

"Hehe ... Kakak belum yakin aja, tapi ... rasanya itu jantung Kakak berdenyut lebih cepat saat berada di dekatnya. Trus ... selalu ingin berdekatan dengannya. Benar nggak sih ... kalau itu sebagai tanda-tanda sedang jatuh cinta?"

"Hmmm ...," dengus Lina. Dalam hatinya pun mengakui bahwa ia mengalaminya. Ini ternyata sang kakak juga mengadu kepadanya mengalami hal serupa.

Lina sedikit heran. Kakaknya justru begitu antusias membahas perasaan dengannya. Namun, ia berjanji akan bungkam dan menyimpan baik-baik perasaannya terhadap seseorang yang dianggapnya spesial. Ia tak mau mengumbar rasa alias ember. Inilah rupanya perbedaan mencolok antara si kakak Melani dengan sang adik Meylina.

Melani lebih ekstrovert, sebaliknya Meylina introvert. Seperti bumi dan langit layaknya. Ya, dari segi fisik pun, mereka berbeda cukup signifikan. Jika Klana dan Malni lebih cenderung seperti sang ayah, justru Meylina lebih dominan kepada sang bundanya.

Klana dan Melani dianugerahi kulit kuning langsat dan bersih mulus, berbeda dengan Meylina. Kulit Lina cenderung hitam manis mirip banget dengan sang bunda. Sering hal ini membuat Lina sedikit insecure karena merasa tidak secantik sang kakak. Namun, bunda selalu membangkitkan semangat agar tetap bersukacita karena di balik kekurangan, pasti Allah menyembunyikan kelebihan yang saat ini belum dirasa dan diketahuinya.  

"Bund, Lina kok hitam, ya? Enak banget Kak Lani yang berkulit putih dan berwajah bersih. Kalau Lina yang berminyak dan cokelat gini, siapa yang melirik?" protesnya.

"Hush! Enggak elok berbicara seperti itu! Allah menciptakan umat-Nya dengan kebijakan luar biasa, Nak. Kamu nggak perlu rendah diri, tetapi lebih bagus rendah hati! Percayalah, kata orang zaman dulu begini ... hitam-hitam kepala kereta api alias lokomotif!"

"Apa artinya?"

"Hehehe ... meski hitam, banyak ditunggu! Dulu  lokomotif itu selalu hitam, Nak! Ya, meskipun hitam, banyak yang menanti kedatangannya, loh! Bukankah penumpang kereta api selalu membludak hingga pernah ada yang numpang di atapnya."

"Hmmm ... gitu, ya? Eh, ngomong-omong ... pas Bunda hamil Lina, apa enggak didoakan agar Lina secantik Kak Lani, sih, Bun?"  

"Nak, dengarkan Bunda! Kamu tahu enggak kaun Negro yang kulitnya lebih gelap?"

"Ya, Bund!"

"Nah, kaupikir apakah mereka enggak iri dengan kalian yang berkulit lebih cerah daripada mereka?"

"Hmm ... mana Lina tahu isi hati mereka, Bund?"

"Ya, ya ... tetapi bisakah umat protes kepada penciptanya, Sayang? Bukankah kita harus mensyukuri apa pun yang dianugerahkan kepada kita, ha?"

"Hmm, iya sih!"

"Coba ... sekarang, bandingkan dengan saudara kita yang disabilitas, misalnya. Apakah kau tak bisa mensyukuri kondisimu yang sempurna ini? Bagaimana?"

"Iya, sih, Bund!"

"Makanya, jangan selalu membanding-bandingkan diri dengan yang berada di atas kita! Justru tundukkanlah diri dan kepalamu. Lihatlah yang berada di bawah kondisimu. Dengan demikian, kau bisa mensyukuri apa pun yang telah ditakdirkan dan digariskan untuk masing-masing kita, Nak!"

"Iya, Bund!"

"Coba, seandainya budemu tidak mengizinkan Bunda menikah dengan Ayah, bukankah kalian tidak terlahir di dunia ini? Maka, bagaimana pun kondisinya, tetap kita harus mensyukuri. Jika Ayah bukan milik kita seutuhnya, itu pun harus kita maklumi dan terima dengan lapang dada. Bukankah begitu, Nak?"

"Iya, Bund. Terima kasih. Sekarang Lina paham bahwa tak elok menggerutu gegara kekurangan yang Lina miliki!"

"Baiklah, Nak. Sebaiknya, segera banting stir untuk segera mengatasi masalah. Kalau kau merasa memiliki kekurangan, segeralah mencari kelebihanmu. Misalnya, kok kulitmu hitam manis? Apakah bisa diatasi dengan pemutih? Atau harus memiliki keterampilan untuk berdandan sehingga bisa menyembunyikan warna kulit yang kauanggap kurang tadi. Siapa tahu kelak kau justru memiliki pabrik skincare sendiri, Nak! Nah, cari dan tanya pada dirimu sendiri, kau ingin pandai dalam hal apa? Rias? Modeling? Atau apa? Bunda akan selalu mengupayakan biayanya jika kau ingin kursus. Bagaimana?"

"Ohh, iya juga sih Bund. Nanti coba Lina pikirkan dulu, apa yang bisa dan Lina suka untuk belajar lebih dalan damn lebih jauh, ya!" janjinya.

"Eh, Bunda jadi ingat. Saat Bunda remaja ada loh lagu hits yang penggalan liriknya begini ... 'hitam manis, hitam manis. Si hitam manis, pandang tak jemu, pandang tak jemu'. Nah, ini artinya, kita yang berkulit hitam manis membuat orang yang memandang tidak jemu-jemu. Bukankah ini kelebihan dari kulit hitam kita, Nak?"  kata sang bunda sambil menirukan menyanyikan penggal lagu tersebut.

"Oh, Bunda ternyata piawai menyanyi juga, ya ....!" puji Lina mendengar sang bunda menyanyi sepenggal lagu lama.

"Hahaha ... kau ada-ada saja, Nak!" tawa buunda membahana juga.

Demikianlah keseruan antara putri bungsu dengan bundanya suatu saat. Semangat yang ditularkan sang bunda membuat si bungsu berbenah diri dan mencoba melepas insecure-nya perlahan-lahan. Perlu waktu memang! Setidaknya, ulasan dan nasihat sang bunda membuka wawasan dan cakrawala pikir si remaja menuju kedewasaannya.

***  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun