"Duh, Mama tega, deh! Lihat nih, dengar nih! Perut Sari keroncongan, Ma!"
"Salah sendiri, kenapa molor! Kan Mama bilang, kalau mau makan, ya harus mau bantu-bantu Mama, dong!"
Dengan sewot Sari segera kembali ke kamar tidur. Duduk di tepi ranjang sambil menggerutu dengan muka ditekuk dan bibir manyun.
Sengaja sang mama membiarkan Sari berlaku seperti itu agar memiliki rasa tanggung jawab. Bukan berarti menegakan anak gadisnya kelaparan, bukan! Melainkan hendak  mengajarkan bahwa manusia itu harus bekerja untuk makan, dan selanjutnya makan untuk bisa bekerja.Â
Berkali-kali mamanya mengingatkan prinsip tersebut agar kelak ia menjadi manusia yang tangguh, teguh, dan kukuh dalam melaksanakan tugas pekerjaan di bidang apa pun sesuai minat dan bakatnya. Menyadari sebagai single mom, sang mama mempersiapkan segala sesuatu yang terbaik buat putri semata wayang ini.
Setelah sekitar satu jam, sang mama mendatangi ke kamar tidur untuk melihat aktivitas Sari.
Namun, Sari yang merasa kecewa menangis di bawah selimut hingga tertidur.
Dengan kasih sayang, sang mama membuka selimut perlahan-lahan.
"Nak, yuk kita sarapan bareng!" ajaknya.
Sari terbangun. Masih agak sewot juga.
"Perut Sari sakit, Ma! Melilit-lilit terasa diremas-remas!" Â
 Sang mama kaget juga. Jangan-jangan ... putri semata wayangnya ini sudah  mulai beranjak dewasa. Dielusnya dahi dan kening Sari dengan lembut.