Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cara Elegan Membayar Dendam

29 Juni 2024   10:13 Diperbarui: 29 Juni 2024   11:25 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cara Elegan Membayar Dendam
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Izinkan pada saat yang berbahagia ini, saya Lintang Pawaka, mengucapkan  terima kasih kepada almamater dan secara khusus kepada Bunda Resti Wulandari, orang tua tunggal saya. Seandainya Bunda tersayang tidak merestui  untuk pindah sekolah saat di SMA, pasti Lintang tidak sampai di titik ini. Terima kasih, Bunda! Lintang janji akan menggapai cita-cita setinggi bintang sebagaimana nama yang Bunda sematkan kepada saya, Lintang Pawaka yang berarti bintang berapi. Semoga api semangat juang itu tetap membara karena Bunda yang senantiasa memberikan support luar biasa!"

Demikianlah penggal sambutan singkat perjaka semata wayangku saat diberi kesempatan berorasi sebagai wisudawan termuda, tercepat, dan terbaik pada angkatannya. Bahkan, ia berhak menerima beasiswa S-2 penuh di almamaternya atas rekomendasi rektor. Berita tersebut diunggah di reel instagram kampus dengan rating like hingga ribuan.

Tetiba netra ini mengembun. Teringat kembali manakala ia masih menduduki bangku kelas sepuluh di salah sebuah SMA. Masih duduk di semester pertama.

***

Ketika memasuki masa SMA, perangai perjaka tampanku tampak murung. Tidak seperti hari-hari biasa. Sifat ceria dan suka menceritakan segala sesuatu kian sirna.

"Apakah karena sudah memasuki SMA sehingga dia menjadi tertutup begitu?" pikirku.

Sementara, aku disibukkan dengan aktivitas dan tuntutan kerja secara luar biasa, seolah tiada henti. Belum tuntas kegiatan yang satu, disusul dengan kegiatan lain. Belum beres laporan yang satu, sudah harus membuat laporan kegiatan berikutnya. Susul-menyusul tak ada habisnya. Semester  satu hampir berlalu tanpa ada komunikasi  intens denganku.

Akhir  semester pertama, prestasi Lintang benar-benar anjlok. Ketika sebelumnya bisa meraih tiga besar, paling apes sepuluh besar, kali ini benar-benar jatuh! Bahkan, memperoleh peringatan dari Wali Kelas agar sebagai orang tua tunggal aku memperlakukan dan memperhatikan lebih saksama.

***

"Bun ... boleh Lintang minta pindah sekolah?" katanya suatu saat.

"Memangnya kenapa?" selidikku.

"Nggak apa-apa, cuma  kurang nyaman saja sekolah di situ!" keluhnya.

Namun, sayang. Sebagai ibu aku kurang bijak dan tidak menanggapi secara bijaksana. Kupikir, ia belum bisa beradaptasi saja. Jadi, aku kurang memberikan perhatian dan malah memberi semangat untuk tetap bertahan. Aku tidak berusaha mengorek ada apa di balik permintaannya pindah.

Harusnya sejak awal aku peka.  Semester  pertama ia sudah menunjukkan gejala kurang senang. Hal itu tampak dari ekspresi wajah dan perilaku ogah-ogahan saat hendak berangkat sekolah. Namun, sekali lagi aku berpikir karena belum punya teman atau belum beradaptasi saja.

Sekolah tersebut memberlakukan sistem absen dengan finger print dan langsung melaporkan ke handphone orang tua atau wali murid. Dengan demikian, akan terlacak bagaimana presensi putra-putri secara akurat.

 Suatu ketika, ternyata tidak kuterima data finger print.

"Kok ... Bunda nggak terima laporan dari sekolahmu, Nak?"

"Oh, ... itu. A-a-anu, finger print di sekolah rusak, Bun!" dalihnya.

Kupikir memang sedang mengalami kendala. Namun, kutanya teman sesama wali murid  satu sekolah dengannya, ternyata aman-aman saja. Aku mulai sedikit curiga.

"Apakah mungkin handphone-ku bermasalah sehingga nggak bisa terima laporan itu, ya? Ya, sudah akan kutunggu beberapa hari lagi, barangkali ada perbaikan," pikirku.

***

"Loh, Nak ... kok kamu masih di rumah?" tanyaku suatu Sabtu.

"Aku pusing, Bun!"

"Apa perlu ke dokter? Nanti Bunda antar ke Dokter Himawan untuk mengecek!"

"Nggak usahlah, Bun. Nanti juga sembuh sendiri jika kubuat tiduran!"

"Oh, oke. Kalau masih pusing, kabari Bunda, ya! Bunda ada kegiatan penting di sekolah!"

"Siap, Bun!"

Kutinggalkan pangeran yang sudah beranjak remaja itu di rumah. Kusiapkan berbagai makanan agar tidak kelaparan. Aku beranjak ke garasi memanaskan mesin mobil pribadi. Masih sempat kutengok di kamar sebentar sambil memastikan kondisi. Aman terkendali.

***

"Haloo ... selamat siang, apakah ada yang bisa dibantu?" tanyaku kala menerima telepon.

Telepon dari sekolah Lintang.  Memintaku datang ke sekolah. Dengan memohon izin atasan, aku segera meluncur ke sekolah putra semata wayangku.

Dari pertemuan dengan wali kelas dan petugas BK kuketahui bahwa hampir setiap Sabtu, Lintang cenderung tidak hadir di sekolah. Awal-awal dengan alasan sakit. Kadang dikatakan diare, pusing, vertigo, atau bangun kesiangan.

Agar segera diketahui akar masalahnya, pihak sekolah meminta diagendakan secepatnya pertemuan bersama Lintang. Dengan demikian akan didengar sendiri secara langsung, apa masalah yang dihadapi.

Mendengar Lintang sering 'sakit Sabtu' -- disebut begitu karena selalu izin sakit ketika hari Sabtu -- segera kukondisikan untuk berbincang ria dengannya. Dari hati ke hati. Maka kuajaklah sekadar refreshing, jalan-jalan kuliner ria ke luar kota.

***

"Sebenarnya, awalnya hanya perkara pemilihan ekstrakurikuler, tetapi berkembang sedemikian rumit.  Sayangnya, Lintang nggak pernah berani berterus terang kepada Bunda. Juga tidak berani melapor ke pihak sekolah."

"Oh, gitu."

 "Anehnya, setiap Sabtu, secara spontan rasa malas  itu datang. Kadang kepala menjadi pusing luar biasa. Kadang perut mendadak sakit hingga diare. Ada rasa takut, malu, malas berpadu begitu rupa membuat badan Lintang terasa sakit semua!" lanjutnya.

Lintang tidak mencari-cari alasan agar tidak  hadir di sekolah, tetapi memang raganya pun menolak untuk pergi ke sekolah. Jadi, baik secara fisik maupun psikis! Seribu satu alasan dikemukakannya. Kasihan sekali perjakaku ini!

Dalam hati aku ingin mengajak ke psikolog agar membantu menenangkan hati dan mengatasi masalahnya. Karena itu, diam-diam aku mencari psikolog yang berkenan membantu menangani.

***

Aku terhenyak. Tanpa kusadari, sebenarnya ia memang menghindari aktivitas ekstrakurikuler yang tidak disukai. Ketika kuelus kepalanya, segera dibenamkan ke pangkuanku.  

Tetiba pecahlah tangis perjaka tampanku, "Maaf, Bun! Lintang sudah tidak tahan bersekolah di sana!"

"Alasannya?"

"Lintang memilih basket, tetapi karena kuota penuh dimasukkan ke paskibra.  Padahal, Lintang nggak suka bidang itu! Selain karena dilatih dengan sistem disiplin militer yang kaku, Lintang memang nggak suka baris-berbaris!"

"Sudah gitu ... semua teman kayak sengaja menjauhiku. Tak ada yang mau menjawab sapaan atau pertanyaanku. Mereka pura-pura nggak dengar dan langsung menjauh! Sakit, Bun!" lanjutnya.

"Oh, ... baiklah! Kita tunggu kenaikan kelas untuk pindah sekolah!"

***

Merasa bersalah karena kurang peka terhadap penderitaan  buah hati, aku  berinisiatif hadir ke sekolah berusaha menemui wali kelas hendak melaporkan kebenaran kondisinya .

 Saat  itulah, petugas BK memanggil Lintang sekaligus melakukan konfirmasi.  Di hadapan orang tua, wali kelas, dan petugas BK terkuaklah alasan mengapa sang putra tidak kerasan.

Saat pertemuan bersama wali kelas dan petugas BP di sekolah, aku siap mendampingi Lintang. Ketika diberi kesempatan untuk mengungkapkan permasalahan, kugenggam tangannya agar ia lebih tenang.

Para petugas dari pihak sekolah menyimak hati-hati.

"Lalu, bagaimana perlakuan teman-temanmu?" korek petugas BK.

"Saya tidak memiliki teman. Saya merasa dikucilkan, dijauhi, dan dibenci. Bahkan, kadang dibicarakan baik bisik-bisik maupun terang-terangan! Katanya saya cuma benalu dan pecundang!"

"Mengapa kamu merasa begitu?" selidik wali kelas.

"Sepertinya teman-teman sepakat. Karena nggak suka, nggak pernah ikut,  dan sering mangkir di ekskul paskibra, mereka nggak menyukai saya. Mereka cuek terhadap saya, cenderung beramai-ramai membenci, bahkan mengucilkan saya. Perundungan itu begitu menyakitkan. Rasanya sangat sedih dan kecewa banget!" tuturnya sambil menunduk sedih.

"Ya, sayangnya Lintang tertutup, tidak melaporkan kepada kami pihak sekolah dan orang tua bahwa kamu terkena perundungan! Jadi, kami tidak tahu persis masalahmu!"  dalih petugas BK.

Dalam hatiku mengatakan, "Kan sebenarnya dua kali absen bisa langsung ditangani. Mengapa ini sampai berkali-kali, ya? Tapi, ya, sudahlah. Bagus kalau segera pindah saja!"

"Jadi, bagaimana agar masalah ini bisa teratasi, Pak, Bu!?" tanyaku mengalihkan perhatian.

"Jalan keluarnya memang pindah sekolah. Namun, agar bisa pindah dengan naik kelas, ada beberapa tugas yang harus Lintang lakukan!"

Demikianlah, meski masih menerima perundungan, Lintang tetap bersemangat mengerjakan tugas-tugas mengejar ketertinggalan agar bisa pindah dengan naik kelas. Meski teman-teman masih memperlakukan dengan  kurang  menyenangkan, Lintang berusaha cuek. Ia tetap fokus melaksanakan tugas yang dibebankan. Beruntung karena mendengar diizinkan pindah sekolah, Lintang melakukan dengan gembira dan tanpa beban.

***

"Dendam dan sakit hati itu, jangan dibalas dengan tindakan sama! Balaslah secara elegan!" petuahku.

"Caranya?"

"Tunjukkanlah bahwa kamu lebih baik daripada mereka,  memiliki prestasi di atas  mereka! Ada sesuatu yang membanggakan dan tidak mereka miliki. Syukur-syukur kamu bisa diterima di perguruan tinggi sesuai cita-citamu. Bahkan, akan lebih menyakitkan mereka kalau kamu bisa meraih melebihi dari ekspektasimu!"

"Gitu, ya!"
   
***

Rupanya, apa yang kukemukakan enam tahun silam menjadi tantangan baginya. Ia bertekad untuk menjadi yang terbaik dan kini semua telah dibuktikannya. Ia telah membayar lunas dendamnya itu!

***

Bionarasi

Ninik Sirtufi Rahayu, seorang nenek yang memberanikan diri menulis dan terus belajar menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun