"Memangnya kenapa?" selidikku.
"Nggak apa-apa, cuma  kurang nyaman saja sekolah di situ!" keluhnya.
Namun, sayang. Sebagai ibu aku kurang bijak dan tidak menanggapi secara bijaksana. Kupikir, ia belum bisa beradaptasi saja. Jadi, aku kurang memberikan perhatian dan malah memberi semangat untuk tetap bertahan. Aku tidak berusaha mengorek ada apa di balik permintaannya pindah.
Harusnya sejak awal aku peka.  Semester  pertama ia sudah menunjukkan gejala kurang senang. Hal itu tampak dari ekspresi wajah dan perilaku ogah-ogahan saat hendak berangkat sekolah. Namun, sekali lagi aku berpikir karena belum punya teman atau belum beradaptasi saja.
Sekolah tersebut memberlakukan sistem absen dengan finger print dan langsung melaporkan ke handphone orang tua atau wali murid. Dengan demikian, akan terlacak bagaimana presensi putra-putri secara akurat.
 Suatu ketika, ternyata tidak kuterima data finger print.
"Kok ... Bunda nggak terima laporan dari sekolahmu, Nak?"
"Oh, ... itu. A-a-anu, finger print di sekolah rusak, Bun!" dalihnya.
Kupikir memang sedang mengalami kendala. Namun, kutanya teman sesama wali murid  satu sekolah dengannya, ternyata aman-aman saja. Aku mulai sedikit curiga.
"Apakah mungkin handphone-ku bermasalah sehingga nggak bisa terima laporan itu, ya? Ya, sudah akan kutunggu beberapa hari lagi, barangkali ada perbaikan," pikirku.
***