"Nggaklah. Kita harus melibatkan kedua orang tua. Orang tua aku dan orang tua dia. Jadi, nggak bisa sembarangan. Kalau terjadi sesuatu, kedua orang tua kita pun terkena getahnya. Untuk itulah kami masih penjajagan dulu. Masih sebulan, belum cukup buat kami untuk menikah. Lagian masih sama-sama kuliah. Kalau di antara kami sudah bekerja, tentu kami siap menikah!"
"Oh, gitu! Syukurlah kalau kalian berpikir secara dewasa!"
"Aku lebih tua darinya, Diana! Ini juga relasi agak aneh bagiku."
"Ah, cuma beda dua tiga tahun saja hal biasa! Nanti kalau sudah tua juga nggak akan tampak! Banyak kok pasangan beda usia kayak gitu."
"Iya, sih. Memang kalau sudah jodoh segala sesuatu tidak menjadi masalah!"
"Nah, pasti ada pertimbangan khusus juga buat Jalu mengapa memilihmu! Berbahagialah Anye ... karena banyak yang naksir dan tidak memperoleh balasan darinya!" Ada getar kecemburuan yang luar biasa di dada Diana.
Anye menjawab dengan menggangguk dan segera pamit hendak menyelesaikan tugas kampus. "Kirim salam saja, ya ... kalau-kalau dirimu bertemu Jalu."
"Kenapa nggak mencoba mencari di Ruang Senat? Mau kuantar?"
Anye menggeleng. Tentu saja dia akan sangat malu bertemu banyak teman lelaki Jalu. Sedang diketahui berpacaran dengan adik kelas saja membuatnya risih. Â Sama saja dengan mengumumkan kepada semua teman Jalu kalau mereka berpacaran, dong! Di mana akan diletakkan mukanya?
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H