Tulang Rusuk yang Tercecer
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Aku sudah siap hendak naik bus malam yang membawaku ke pulau dewata. Ini pengalaman pertama naik bus malam antarprovinsi. Sungguh senang sekali rasanya. Ada kebanggaan tersendiri karena aku merasa sudah 'berani' menjelajah wilayah tanpa pengawalan siapa pun. Luar biasa menurutku!
Tepat pukul 16.00 aku sampai di pangkalan bus, segera mengecek tiket, dan selanjutnya mencari nomor kursi seperti tertera pada tiket. Tepat 16.30 bus beringsut meninggalkan pangkalan. Aku berdoa di dalam hati agar perjalanan disertai dan diberkati Tuhan.
Sebenarnya, keberangkatanku ke Bali hendak membuang kesal karena merasa tertolak oleh orang tua Mas Dwi yang tidak menyetujui hubungan kami. Aku berniat mundur teratur. Pernikahan tanpa restu orang tua tidak akan bahagia menurutku. Biarlah kucari jalanku sendiri.
Pagi sekitar pukul 06.00 keesokan harinya bus mendarat di pulau dewata setelah terapung-apung sekitar satu jam di Selat Bali. Perjalanan agak terlambat katanya karena menunggu antrean keluar dari feri saat menyeberang selat tersebut.
Aku sudah dijemput kakakku suami istri di pangkalan bus malam sehingga tidak kebingungan mencari-cari kendaraan umum.
"Maaf, kontrakan Kakak sempit, ya ... nanti Adik tidur dengan anak-anak. Nggak apa-apa, kan?" katanya.
"Bisa sampai di sini bertemu Kakak saja aku sudah sangat bersyukur! Masalah tidur itu nonsens. Kan aku sudah terbiasa indekos di tempat lebih sempit," sambutku.
"Nah, besok 'kan Minggu. Kita main ke beberapa tempat wisata, ya! Kakak sudah pinjam mobil kantor. Sayang, jika tidak dimanfaatkan," sambut kakak iparku menimpali. Â
"Nah, iya. Sangeh yang pertama!" ujar kakakku.
"Iya, mana lagi, Ma? Goa Gajah, pastinya ... ya kan? Nah, rutenya kita tulis saja nanti. Anak-anak juga pasti senang diajak berwisata!" kakak iparku antusias.
"Tak sabar menunggu esok nih aku ...!" kataku yang langsung diiyakan oleh kedua kakakku.
"Kita ajak Kadek, Mas ... supaya menggantikan menyopiri kendaraan. Bagaimana?"
Perjalanan wisata ke beberapa tempat sangat mengesankan. Aku bangga diberi kesempatan seharian berpesiar menikmati panorama indah pulau dewata. Pantas saja pulau ini menjadi primadona Indonesia karena memang pemandangan alamnya luar biasa. Tanah persawahan bertingkat dengan sistem subak itu menyuguhkan panorama asri.
"Adik ... sudah semester berapa?" tanya Bli Kadek yang sedang menyopiri kendaraan.
"Semester tiga, Bli," jawabku di jok kursi kiri depan.
Sementara dua kakakku duduk di jok tengah. Kakak ipar memangku putra kedua yang berusia sekitar lima tahunan. Rupanya kemenakanku itu mengantuk setelah seharian berwisata. Sementara sulung berusia sekitar tujuh tahunan, duduk menyandar di dekat ayahnya. Bungsu baru berusia setahun lebih sedikit, sedang digendong oleh ibunya.
"Masih lama kuliahnya ...."
"Sekitar dua tahunan lagi baru kelar," jawabku.
"Sudah punya pacar?" selidiknya.
Aku menghela napas panjang ...
"Ada masalah?"
"Yang saya heran tuh ... hampir setiap orang bertanya seperti itu he he he ...," jawabku polos.
"He ... he ... he," sambil menoleh padaku Bli Kadek pun tertawa.
"Aku juga nggak sadar menanyakan seperti itu ...," lanjutnya. "Kamu cantik sih, Dik. Kupikir mestinya sudah punya pacar. Kalau memang belum ... he he ... aku juga mau jadi pendamping hidupmu!" jawabnya jujur.
"Nah, iya ... itulah sebabnya Bli Kadek kuminta menemani. Kalau  kami sibuk dengan anak-anak, 'kan Unin ada teman ngobrol yang asyik. Kalian berdua cocok, loh!" teriak kakak dari jok belakang. Kami pun tertawa ....
"Masak sih ... lagian belum kenal juga ... Bli ini main nembak saja!" jawabku bergurau.
"Lah, daripada kedahuluan orang ... mending memberanikan diri saja!" serunya sambil tertawa.
"Itu bisa dipercaya, nggak?" sergah iparku.
"Pria Bali pantang berkata bohong, loh! Dik Unin mau nggak jadi pacar sekaligus calon istriku?" Dengan muka serius sambil menengok ke arahku.
Pria tampan dan gagah yang baru sehari kukenal ini menyita perhatianku. Jujur, sejak melihat pada pandangan pertama, hatiku nyaman berada di dekatnya. Sorot mata biru teduhnya seolah melindungiku dari kesakitan. Seharian bersamanya kuketahui bahwa dia sangat perhatian, care, humble, ringan tangan, dan selera humornya tinggi.
"Pribadi yang memesona, idolaku," batinku.
Namanya Kadek Mahardika. Konon ibunya Bali dan ayahnya bule Australia. Karena itu, Bli Kadek yang blasteran terlihat sangat tampan mewarisi perawakan, kulit, hidung mancung, dan mata biru ayahnya. Sayang, kedua orang tuanya mengalami musibah kecelakaan lalu lintas ketika Bli Kadek masih berusia sekolah dasar sehingga harus diasuh di panti asuhan.
"Aku mau lanjut kuliah di Jawa. Aku mau kita sudah resmi ketika aku dan kamu masih sama-sama kuliah. Bagaimana?" tanyanya.
"Kalau serius, kami mau melamarkan untukmu. Sekalian kami juga kangen keluarga di Jawa. Bagaimana? Setuju, ya? Sebelum kedahuluan orang lain!" kata iparku terbahak.
Jujur aku salah tingkah, tetapi bahagia sekali.
"Kadek ini sebenarnya nggak perlu bekerja keras juga. 'Kan warisan dari almarhum orang tua sudah turun, toh?" tanya iparku.
"Kadek maunya belajar dari nol sih, Pak Bos. Kalau ada warisan, nanti sekalian untuk melanjutkan usaha yang kurintis ... usaha setelah kami menikah. Rencana sih seabreg, tetapi  nomor satu tentang pasangan hidup. Semalam berpikir bahwa saya harus mencari pendamping hidup, mencari tulang rusuk, eh ... hari ini Tuhan kirim seorang bidadari," cerocosnya.
Aku kagum akan pernyataan cintanya yang terang-terangan itu. Jujur ini sangat menyentuh dan menggetarkan hati. Aku benar-benar dibuatnya salah tingkah. Apakah ini jawaban dari doa-doaku? Aku benar-benar kelu.
"Aku mau jujur dan terus terang. Kalau diterima, janji, aku nggak akan menyia-nyiakan!" tegasnya.
"Nah, bagaimana? Lanjut lamaran ke Jawa, ya? Setuju?" tegas kakakku.
"Gimana? Kita segera ke Jawa kalau kamu mau. Sebelum Kadek berubah pikiran, loh!" desak iparku.
"Kesempatan itu nggak datang dua kali, loh Dik!" jelas kakakku. "Jangan khawatir, kalau Kadek macam-macam, badik di dapur Kakak siap beraksi!" tantangnya.
"Waduh ... waduh ... ha ha ha ... cintaku tulus. Cinta pada pandangan pertama yang tak akan pernah sirna!" katanya lantang.
"Ini ... kok nembak nggak ada mesra-mesranya sih, ya ... hihihi," aku terkekeh melihat ulahnya.
Kendaraan diberhentikan di dekat pasar.
"Tunggu bentar, Kadek mau ada perlu. Kita di sini sekitar setengah jam ...!" pamitnya  sambil keluar.
Sore sepulang wisata hari itu, ketika sampai di rumah kakak, tiba-tiba Bli Kadek berkata serius kepada kami.
 "Pak Bos dan Ibu duduk dulu sebentar."
Tiba-tiba Bli Kadek berlutut di depanku, "Unin, maukah kau jadi calon istriku?" sambil membuka kotak merah berisi sebentuk cincin bermata bening.
Aku terkesiap. Ketika mengangguk, cincin itu dimasukkannya ke jari manisku. Cincin yang dibelinya mendadak beberapa saat lalu ...
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H