"He ... he ... he," sambil menoleh padaku Bli Kadek pun tertawa.
"Aku juga nggak sadar menanyakan seperti itu ...," lanjutnya. "Kamu cantik sih, Dik. Kupikir mestinya sudah punya pacar. Kalau memang belum ... he he ... aku juga mau jadi pendamping hidupmu!" jawabnya jujur.
"Nah, iya ... itulah sebabnya Bli Kadek kuminta menemani. Kalau  kami sibuk dengan anak-anak, 'kan Unin ada teman ngobrol yang asyik. Kalian berdua cocok, loh!" teriak kakak dari jok belakang. Kami pun tertawa ....
"Masak sih ... lagian belum kenal juga ... Bli ini main nembak saja!" jawabku bergurau.
"Lah, daripada kedahuluan orang ... mending memberanikan diri saja!" serunya sambil tertawa.
"Itu bisa dipercaya, nggak?" sergah iparku.
"Pria Bali pantang berkata bohong, loh! Dik Unin mau nggak jadi pacar sekaligus calon istriku?" Dengan muka serius sambil menengok ke arahku.
Pria tampan dan gagah yang baru sehari kukenal ini menyita perhatianku. Jujur, sejak melihat pada pandangan pertama, hatiku nyaman berada di dekatnya. Sorot mata biru teduhnya seolah melindungiku dari kesakitan. Seharian bersamanya kuketahui bahwa dia sangat perhatian, care, humble, ringan tangan, dan selera humornya tinggi.
"Pribadi yang memesona, idolaku," batinku.
Namanya Kadek Mahardika. Konon ibunya Bali dan ayahnya bule Australia. Karena itu, Bli Kadek yang blasteran terlihat sangat tampan mewarisi perawakan, kulit, hidung mancung, dan mata biru ayahnya. Sayang, kedua orang tuanya mengalami musibah kecelakaan lalu lintas ketika Bli Kadek masih berusia sekolah dasar sehingga harus diasuh di panti asuhan.
"Aku mau lanjut kuliah di Jawa. Aku mau kita sudah resmi ketika aku dan kamu masih sama-sama kuliah. Bagaimana?" tanyanya.