GERTAK BUAYAÂ
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Siang itu amat terik. Tenggorokan terasa kering. Karena itu Pak Singa sengaja pergi ke tepi sungai hendak minum untuk memuaskan rasa dahaganya. Namun, beberapa ekor buaya sedang berenang di sana. Melihat singa datang, seekor buaya mendekati di tepi sungai.
Ia berteriak lantang, "Hai, apa urusanmu datang kemari, Pak Singa?"
"Apa urusanmu? Bukankah ini sungai milik semua satwa di belantara ini, ya? Maka, siapa pun yang haus bebas datang kemari untuk minum sepuasnya!" jawabnya menggeram.
"Waahhh, ini tidak bisa dibiarkan!" batin Pak Singa.
"Hmmm, begitu, ya? Harusnya kalian cari tempat lain, bukan di sini, Kawan! Di sini tempat kami sekeluarga hidup dan bercanda!" jawab seekor buaya yang mencoba mengusik singa.
"Dari zaman kakekku, sungai ini tempat dan milik bersama! Kamu jangan egois!" hardiknya.
"Siapa bilang begitu? Ini daerah kami, Kawan!" sahut seekor buaya di dekatnya.
"Kawan katamu? Kalau perangaimu begini, kita bukan kawan! Kalau mengajak perang, aku siap!" sergah Pak Singa.
Pertengkaran pun tak terelakkan. Singa mengaum sekencang-kencangnya. Buaya menggeram, tetapi kalah kencang. Karena itu, beberapa ekor buaya beringsut mundur meninggalkan tepi sungai.
"Heiii ..., ada apa Pak Singa? Siang cerah begini mengaum mengagetkan saja!" selidik seekor gagak yang terbang melintas dan bertengger di dahan pohon dekat tempat singa berada.
"Hmmm ... si Mbah Bua dan kawan-kawan mencoba melarangku minum, Gak!" jawab singa menggeleng-geleng hingga surainya tersibak indah.
"Wah, dasar Mbah Bua kurang kerjaan!" Pak Gagak pun mengumpat.
"La, ya itu! Seingatku, bukankah mereka yang bermigrasi ke sini? Mereka menjajah lokasi kita, habitat kita!" serunya.
"Ada apa ini?" tanya seekor macam kumbang yang dipanggil Makum saat hendak minum.
"Hmm, barusan aku hendak minum, tetapi sekelompok buaya melarangku!" jawab Pak Singa.
"Apa? Beraninya melarang-larang!" Pak Makum, macan kumbang, emosi juga.
"Tak bisa dibiarkan ini! Mereka harus diberi pelajaran!" seru Pak Gagak menimpali.
"Mari kita mengaum sekencang-kencangnya supaya semua hewan berkumpul di sini menyelesaikan masalah terirorial kita!" ajak Pak Makum.
Dua ekor keluarga kucing besar itu pun mengaum hingga seluruh hewan sebelantara berdatangan keheranan.
"Ada apa? Ada apaaa ...?" tanya mereka bersahutan.
"Ada masalah apa?" tanya seekor harimau loreng yang biasa disapa Harlo itu datang tergopoh-gopoh. Â
Burung hantu yang masih mengantuk pun menuju sumber suara. Demikian juga kelinci, kancil, kijang, rusa, kerbau, banteng, babi, dan merak.
Semua menanyakan ada permasalahan apa hingga siang-siang dua ekor kucing raksasa mengaum membangunkan seisi hutan.
"Begini ... hutan ini terasa tidak aman karena sekelompok buaya telah meneror kita!" suara Pak Singa lantang.
"Meneror bagaimana?" selidik Harlo, si harimau loreng.
"La, iya ... mau minum saja dilarang-larang. Padahal, sedari dulu sungai ini bebas. Tempat kita semua. Tempat minum dan mandi secara bersama. Milik bersama, begitu 'kan teman-teman?" ujar Pak Singa berapi-api.
"Mungkinkah itu cuma gertak saja?" tanya Kancil.
"Gertak bagaimana? Jelas mereka mengancam, kok!" jawab Singa sewot.
"Iya, iya ... benar. Sejak buaya itu menempati sungai ini, kami pun tidak bebas berkubang!" tandas seekor kerbau.
Gajah yang tiba-tiba datang dengan langkah membuat seolah gempa pun bertutur, "Nah, itu juga masalah kawanan kami! Kasihan anak-anak yang baru lahir ... mereka tidak bisa berlatih menyemburkan air!"
"Betul, betul, betul!" ujar  Kancil menirukan film seri Ipin Upin.
"Coba tanyakan kepada para ikan, apakah mereka merasa terganggu dengan kehadiran kawanan buaya?" tanya Kerbau jantan yang gemas juga.
"Oiiii ... para ikan. Apakah kalian terganggu?" seru Gagak mengitari permukaan sungai.
"Jelaslah. Kan kami harus bersembunyi agar tidak dimangsa mereka!" jawab salah seekor ikan sambil menyembulkan kepala di permukaan air.
"Baiklah, untuk Pak Singa nih! Jangan marah lagi Pak Singa! Mari kita berikrar jika rombongan buaya mengusik kita, seyogianya kita mengusir mereka, bagaimana? Setuju?" usul Harlo tegas.
"Setujuuuu!" sahut mereka serempak.
"Saya juga sepakat!" jawab burung hantu masih tampak mengantuk.
"Buaya! Kalian mendengar ikrar kami? Kalau di antara kalian sampai mengusik hewan yang hendak minum, kalian harus pergi dari sini!" Harlo masih mengomando.
"Keluarlah kamu dari air!" perintah Pak Makum lantang.
Muncullah seekor  ikan mas yang cukup besar dari dasar sungai, "Ya, kami juga setuju kalau para buaya hengkang dari area ini!"
Tetiba kancil berteriak lantang, "Pak Gagak, tolong pantau mereka sekarang juga. Apakah  mereka sudah pergi dari area sungai?"
"Baiklah, perintah dilaksanakan!" ujar Gagak dengan sayap dikedepankan seolah menyembah atasan.
"Saudaraku Ikan Mas yang budiman, tolong pantau juga kedalaman air. Apakah masih ada kecipak yang menandakan keberadaan para buaya?" suara Harlo lembut meminta kesediaan ikan membantu mereka.
"Sebenarnya, ada satu yang ingin kutandaskan," kata Gogi gajah.
"Silakan Pak Gogi," sambut Harlo.
"Untukmu ya Pak Singa ... ada kritik pedas yang mengatakan bahwa singa jantan itu malas. Buktinya para betinalah yang mencari makanan dengan mengepung dan mengejar kawanan mangsa lalu mengincar yang paling lemah. Sedangkan singa jantan hanya menerima bagian dari jatah hasil para betina!"
"Ah, itu menyudutkan pejantan, Pak Gogi. Bukankah pejantan juga menjadi penjaga dan pengatur pasukan? Kami 'kan sudah mengatur peran masing-masing!" kilahnya.
"Dengarkan saja Pak Singa, lalu perbaikilah mana yang kurang pada tempatnya. Kalau keluarga Pak Harimau lebih bagus pembagian tugasnya. Justru para pejantan mencari mangsa dan kepada betina akan disisakan bagian terbaik. Itu saya rasa merupakan penghormatan terhadap para betina. Kasihan, kan para betina sudah mengandung, melahirkan, dan menyusui anak-anak generasi selanjutnya!" tambah Gogi gajah.
"Hmmm, jangan bikin emosiku memuncak ya, Pak Gogi!" sergah singa berang meradang.
"Nah, itulah salah satu kelemahan singa!" teriak Kancil nyaring.
"Hmmm, sudahlah sudah ... jangan berantem!" tutur Kura-kura memunculkan kepala dari cangkang.
"Semua keluarga itu punya aturan masing-masing! Jadi, sebaiknya jangan turut campur masalah intern kelompok. Jangan bikin aku kian marah, ya!" sergah Pak Singa masih dengan intonasi tinggi.
"Hmmmm ...," geram Harlo menatap hewan yang ada di sekitarnya.
"Wait, please jangan bubar dulu!" perintah Harlo si Raja Hutan. "Izinkan saya berbicara dulu. Sebagai Raja di belantara ini, saya berterima kasih atas pengaduan Pak Singa mengenai keusilan para buaya. Hari ini harus kita selesaikan. Semoga buaya paham bahwa sungai merupakan hajat hidup hewan banyak sehingga tidak bisa dikuasai sendiri! Buaya, dengar ini! Di mana pun tempatnya, kalian harus tetap berbagi supaya yang lain merasa aman dan nyaman!"
"Baiklah kalian menyingkir mencari area lain, buaya!" seru burung Gagak mengitari atas sungai.
"Saya rasa pertemuan mendadak ini cukup sekian. Para hewan boleh meninggalkan tempat. Jangan segan untuk melaporkan hal-hal yang membuat kurang nyaman demi kerukunan, kekerabatan, dan ketenangan hidup kita!
"Jangan pergi dulu. Ketahuilah aku masih marah!"
"Jangan mudah marah, tampunglah kritik meskipun pedas. Kritik sangat berguna untuk memperbaiki diri!" saran Kuda yang terkenal bijaksana.
"Sudah ... sudah ... bubaaaarrr!" teriak Singa masih emosi tinggi.
Tanpa  dikomando para binatang  meninggalkan area. Dibiarkannya Pak Singa yang mengaum meraung-raung. Rapat mendadak bubar tanpa kesimpulan. Rapat darurat sebab Pak Singa marah-marah.
Burung hantu yang masih mengantuk pun menguap, "Hmmm, kalau emosi jangan sampai matahari tenggelam, ya. Cukup setengah hari saja, ya Pak Singa!" pesannya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H