Bahkan, mereka menyetujui ketika kuberikan nama "Nugroho Karunianto" kepada bayi mungil yang biasa kupanggil Nugo itu. Jadi, ada Nugi putra kandung kami, dan Nugo putra sulung Mas Dewo.
Beruntung sekali, suamiku sangat menyetujui niat baikku untuk mengasuh Nugo walaupun akhirnya kuberitahu bahwa Mas Dewo itulah orang yang sengaja kutinggalkan saat itu. Suamiku yang hatinya luar biasa baik itu sangat respek dan justru merasa bersyukur karena aku mau menerima dan mengasuhnya sebagaimana anak kandungku! Entah terbuat dari apa hatinya itu sehingga baiknya luar biasa! Anehnya lagi, wajah kedua bayi itu sangat mirip seolah dua bayi kembar!
***
Karier Mas Prima semakin melejit. Â Dua tahun kemudian, suamiku itu memperoleh kesempatan berkuliah program magister ke mancanegara yang diprediksi akan berlangsung selama dua tahun. Karena itu, aku dan dua jagoanku yang sudah mulai pandai berceloteh siap hendak mengikutinya.
Aku tidak mau suami kesepian dan bertekad akan mendampingi walaupun harus mengurus sendiri dua balitaku di negeri orang.Â
Suamiku pun sangat mendukung keputusanku sebab dengan hadirnya dua balita tersebut pasti akan menjadi penyemangatnya.Â
Mengurus diri sendiri di tempat jauh tanpa istri pun pasti menyulitkan suamiku. Aku siap mendukung dan menyemangatinya!
Bersyukur karena bantuan Bi Imah aku sudah prigel alias terampil menjadi seorang istri yang pandai memasak. Nah, benar, 'kan? Antisipasi sejak dini untuk menjalani peran wanita seutuhnya itu sangat penting bagi para gadis. Dengan demikian, ketika saatnya tiba untuk hidup mandiri, sudah tidak ada kendala berarti!
Ayah dan Ibu yang mengantar kami hingga pintu keberangkatan di bandara sempat menitikkan air mata, "Kami akan merindukan kalian!"
Demikian  pula Mas Dewo dan ibunya yang mengantar kami. Mereka sibuk menciumi pipi jagoan kami dengan mesra.
"Call me any time if you need a friend,"Â bisik Mas Prima menyemangati Mas Dewo.
"Take care, Prim dan kamu Nin!" lirih Mas Dewo sambil menepuk-nepuk lembut punggung kami.