Suatu sore keempat pemuda itu berdiskusi di serambi depan rumah. Sementara bunyi cimblek ngganter saja.
"Kok ... dari kemarin cimblek berbunyi terus. Konon pertanda akan ada tamu!" kata salah seorang.
"Eh, mosok sih?"
"Iya, loh. Cobalah dengarkan!"
Mereka mencoba menyimak kicau si burung pewarta sambil mengangguk-angguk.
"Kalau kita sudah bisa membuat adonan dan menjualnya, bolehkah kita keluar dari sini, Kang?" tanya Jarot kepada Bligo.
"Boleh, tetapi ada syaratnya!" jawab Bligo.
"Syaratnya apa, Kang?" kejar Jarot.
"Satu, kita harus mencarikan pengganti seorang pedagang supaya anak buah Eyang tetap empat. Dua, kita tidak boleh berjualan di kota seputar kita ini. Kita harus mencari lahan lain. Atau, tiga, kita tetap bekerja sama dengan Eyang, tetapi menggunakan motor dan peralatan sendiri berpencar ke kota lain!"
"Yang terakhir ini, kita tetap menggunakan merek milik Eyang. Bahan adonan tetap mengambil dari sini, tetapi kita jual di tempat beda. Namanya kerja sama franchise, kata Eyang begitu!" jelas Bligo.
Â
"Wah, begitu ... ya!" ujar Darko yang sering dipanggil Kodhok.
"Iya, modalnya katanya sembilan jutaan!" sambut Bligo.