“Tahu tidak itu ruangan apa? Mama ngapain aja di situ? Ada menyentuh pasien? Bersalaman?” kejarnya.
Aku ceritakan apa adaanya seperti yang kualaami sebelumnya. Di situ ada dua pasien cowok, tapi aku belum sempat mengapa-mengapa. Datang langsung disambut teriakan pasien yang bilang aku gurunya, lalu dokter visite yang juga datang hampir bersamaan denganku. Dokter ini pun mengakui bahwa aku gurunya. Selanjutnya, ia langsung membimbingku ke luar ruangan.
“Siapa dokter visitenya?” tanya bungsuku.
“Albert …!” kataku singkat.
“Ok. Besok akan kujumpai beliau di rumah sakit. Kali lain jangan sembarangan besuk orang, ya Ma!” pesannya wanti-wanti.
Aku masih belum mengerti mengapa tidak boleh berkunjung.
“Ya, sudah kapan-kapan kuberi tahu. Aku ada acara ini!” kata bungsuku mengakhiri pembicaraan.
Tiga hari kemudian telepon dari rumah barat masuk ke gawaiku. Kulihat bungsu sedang memanggil.
“Ya, Nak!”
“Ma ... hari ini … mmmm,” katanya sangat lambat, cukup membuatku penasaran, ”yang Mama kunjungi tempo hari itu … mmm … meninggal dunia!” katanya sengaja diperlama, diperlambat, dan diperpelan.
Ya, Allah. Aku terperanjat. “Mama sudah ingat, dia siapa?” lanjutnya.