Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Pernah Kuduga

30 Mei 2024   13:37 Diperbarui: 30 Mei 2024   13:57 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ooohh, ...! Ya, aku ingat. Dua belas tahun lalu dia muridku di SMA Bintang. Dia punya grup band yang disegani. Selain ganteng, dia juga baik kepada teman! Tapi kondisinya kok berbalik 180 derajat, ya! Aku sampai tidak mengenalinya lagi!” ceritaku setelah mengingat-ingat si pasien.

“Mama tahu dia sakit apa?” tanyanya menyelidik.

“Enggak!” jawabku.

“Ma, murid Mama itu ODHA! Orang dengan HIV/Aids! Mangkanya Mama langsung disuruh pulang oleh dr. Albert. Dan itu ruangan isolasi, Ma!” urainya detail.

“Oh, my God!” lemas seluruh tulang-tulangku. Teringat saat Dimas dan kelompoknya masih berjaya di sekolah. Memang termasuk grup yang terkenal berani dan tergolong anak-anak orang berada yang nakal dan bandel. Jika katanya band-nya sedang ada job,  mereka berlima tidak masuk. Sudah diingatkan, orang tuanya pun sudah dihubungi, tetapi tetap saja tidak berubah.

“Makanya kapan hari dr. Albert meminta Mama dengan sangat santun karena dipikir pasti Mama nggak paham. Dan ternyata benar, kan? Mama nggak ngerti kalau dia itu pasien isolasi. Artinya, tidak boleh dikunjungi, Ma! Takutnya tertulari! Karena lendir, liur, darah, keringat bisa jadi membuat orang lain tertular! Maka aku tanya apa Mama bersalaman? Untunglah Tuhan mengirim dr. Albert yang langsung menyelamatkan Mama dengan memaksa Mama secara halus untuk keluar dari ruangan!” katanya rinci.

“Oohh!”

“Makanya, jangan sembarangan! Tanyakan dulu ke petugas, boleh dikunjungi apa tidak! Jangan diulangi lagi, ya, Ma!” jelasnya, “Aku pun sudah menemui dr. Albert. Aku sudah berterima kasih padanya! Ada salam darinya buat Mama!” lanjutnya.
Aku cuma manggut-manggut. Bodohnya aku! Tak terpikir olehku kalau putra ibu itu mantan muridku dan terkena HIV/Aids sehingga berbulan-bulan dirawat di sana. Aku hanya iba melihat betapa tampak sedih ibundanya. Itulah mengapa aku tergerak dan terbeban untuk mendoakannya.

Kembali memoriku mengingat masa-masa Dimas bersekolah. Ternyata kelima kelompoknya itu, setelah kutanyakan kepada teman seangkatan yang kebetulan masih ada kusimpan nomor WA-nya, semuanya berakhir dengan nasib kurang beruntung. Dimas, menderita HIV/Aids selama beberapa tahun hingga meninggal dunia. Satu lagi pasangan suami istri masih berada di dalam sel penjara karena memperdagangkan obat terlarang. Kondisi mereka juga harus direhabilitasi karena ketergantungan. Dua yang lain pun dikabarkan menderita sakit berkepanjangan. Semua gegara obat terlarang yang dikonsumsinya sejak muda.

Ohh, iya. Bagaimana mengenai tetanggaku yang kukira sombong? Ternyata  beberapa saat kemudian kuketahui setelah melakukan operasi pengangkatan payudaranya yang sebelah, dia pun tutup usia. Dia meninggal dunia ketika dua putranya masih bersekolah di SD. Aku pikir saat itu dia sedang menyembunyikan penderitaannya dariku.

Mungkin dia tidak mau aku mengetahui penyakitnya! Entah malu atau karena apa. Maka, ini pembelajaran juga buatku: aku tidak boleh berprasangka negatif kepada siapa pun!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun