Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Pernah Kuduga

30 Mei 2024   13:37 Diperbarui: 30 Mei 2024   13:57 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cuaca panas membuatku sedikit gerah. Sementara di dalam hatiku sendiri bergejolak. Walau ada sedikit kecemasan, aku berusaha berdoa, berpasrah diri, dan bermohon agar kondisi kesehatanku tidak bermasalah. Justru karena ingin mengetahui kondisi diri inilah aku harus beberapa kali ke rumah sakit itu. Dan saat sampai di ruang periksa, bersyukur kepada Tuhan, dokter menyatakan tidak bermasalah. Dokter menanyakan mengapa sampai di tempat itu, dan aku  pun mengaku bahwa semua atas inisiatif bungsu. Ternyata, dokter pembantunya mengenaliku. Dia adalah putra temanku dan sebagai kakak buku bungsuku di kampusnya.

Ya, di kampus si bungsu di bawah bendera persekutuan doa kampus, ada diwajibkan setiap calon dokter memiliki kakak dan adik buku. Artinya, jika kita berada di semester tiga, kita harus meminjamkan buku catatan kita untuk adik kelas yang di semester satu. Demikian pula kita akan memperoleh pinjaman buku-buku catatan dari kakak kelas kita yang di semester tiga. Kakak dan adik buku ini akan berlanjut hingga masing-masing telah lulus sebagai dokter. Sungguh kerja sama yang luar biasa hebat. Dampaknya luar biasa. Rukun, guyub, dan tetap bersilaturahmi sampai kapan pun dan di mana pun! Upaya yang patut diacungi jempol!

Setelah menerima jawaban dokter, bukan main senang hatiku. Lega rasanya. Bukan hanya karena pusing masalah menata waktu dengan mengantre, melainkan juga kehilangan waktu dan tenaga dengan meninggalkan sekian siswa di sekolah. Tanggungan yang takboleh ditangguhkan! Lega, kondisi kesehatanku tidak bermasalah. Dan lega pula karena tidak harus mengantre seperti itu lagi!
Karena laparnya, aku pun menuju kantin. Kutanyakan tempat kantin yang  lumayan kepada beberapa tukang parkir di sana. Kemudian ditunjukkannya satu kantin tertentu.

Saat makan siang di sebuah kantin itu, aku melihat seorang ibu yang sepertinya pernah kukenal. Wajahnya begitu familiar di mataku. Ternyata, beliau satu gereja denganku. Gereja sebelum aku berpindah tempat di gerejaku yang sekarang. Maka, iseng kutanyakan kepada ibu kantin, dan diceritakanlah bahwa ibu ini putranya sudah beberapa bulan dirawat di sana.

Setelah selesai makan, aku bertanya ini itu kepada ibu itu dan pada akhirnya menanyakan apakah diizinkan mengunjungi putranya. Beliau menyetujuinya. Lalu dengan percaya diri, aku mengikuti si ibu memasuki ruang tempat putranya dirawat.

Saat mendekati ranjang pasien, tiba-tiba pasien berteriak lantang, “Buuu ... Ibu Bu Nina, kan? Saya murid ibu di SMA Bintang!”

Mukanya berbinar walau aku taktahu siapa. Secara fisik, badannya sudah habis tinggal kulit pembalut tulang. Betisnya sangat kecil, kaki keseluruhan tidak proporsional lagi. Maaf, bengkok sebelah. Mukanya tirus seperti orang tua berumur enam puluhan.
Belum hilang keterkejutanku, dokter visite datang berkunjung ke ruangan pula. Aku belum menjawab apa-apa. Masih kebingungan. 

Dokter itu langsung melihat padaku sambil mengernyit, “Nah, ini Bu Nina, kan? Guru SMA favorit di kota kita ini?”
Lalu kepada pasien dikatakan begini, “Dim. Ini guruku!”

Si pasien menjawab, “Guruku juga, Bert!”

“Oh, ...!” aku hanya terbengong-bengong. Tiba-tiba tanganku ditarik oleh Dokter Albert, si dokter  mantan siswaku dari sekolah favorit. Aku memang mengajar di beberapa sekolah sehingga tentu  saja banyak mantan siswaku.

“Sebentar, Dim. Aku perlu dengan Bu Nina!” teriaknya kepada pasien dan kemudian membimbingku keluar dari ruangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun