BERTEMU UNTUK BERPISAH
Ninik Sirtufi Rahayu
Gerimis rinai membasahi tanah pekuburan saat itu. Guguran kelopak bunga flamboyant jingga melumuri jalanan seolah red carpet yang sengaja digelar untuk menyambut kehadiranku.
Dengan berjalan tertatih dan masih menggunakan kruk, aku dan mama mengunjungi tempat persemayaman terakhir papa. Kubawakan seikat arumdalu agar wanginya semerbak memenuhi ruang terbuka itu. Meskipun ada penyesalan karena terlambat mengetahuinya, aku bangga bisa melihat nisan papa. Nisan yang sudah dua tahun teronggok di situ tanpa kuketahui, bahkan masih kuharapkan kehadiran sosoknya! Aku berdoa di dalam hati, biarlah Tuhan yang memberikan tempat terindah buat papaku.
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Hanya air mata hangat yang menganak sungai di pipi mewakili kata-kataku. Demikian juga aku sempatkan mengunjungi persemayaman Bagus yang tidak jauh dari persemayaman papa. Gundukan tanah merah dengan nisan sederhana itu membuatku terpana. Aku juga terdiam. Tak bisa kukatakan apa pun. Namun, aku berkata-kata kepada Tuhan di dalam hatiku. Aku bersyukur memiliki mama hebat seperti mamaku. Aku yakin, Tuhan menempatkan kedua lelaki yang aku sayangi ini di tempat terbaik-Nya.
***
Siang itu aku begitu kesalnya. Tak tertumpahkan rasanya!
"Siapa bilang Tuhan itu baik?" rutukku di dalam hati. "Selama dua tahun aku berdoa dan memohon kepada Tuhan, tetapi apa hasilnya? Tidak ada satu pun permohonanku yang dikabulkan-Nya!"
"Saat aku kecil dulu, Mama selalu mengatakan bahwa jika aku punya permohonan, Tuhan pasti mengabulkannya. Tetapi, mana buktinya? Tuhan tidak mengabulkan permohonanku. Padahal, apa sih sulitnya mengabulkan permohonanku? Apalagi permohonanku hanya satu saja, tidak banyak. Aku ingin bertemu Papa! Itu saja! Simple banget, bukan?" itu yang kuucapkan sebagai senandikaku sambil membanting boneka beruang besar milikku ke kasur.
Aku mangkel, entah dengan siapa. Sebenarnya, awalnya kesal karena doaku tidak dikabulkan-Nya, tetapi akhirnya boneka tedy bear cokelatlah yang menjadi sasaran amukanku. Untunglah dia baik-baik saja. Tidak berubah sedikit pun walau kubanting, kulempar, dan kugemasi sedemikian rupa.
Pagi itu, aku dikagetkan oleh bunyi alarm yang sudah kusetel. Tandanya aku harus memulai hari-hari yang pastinya tidak akan indah. Pasti omelan demi omelan akan kudapatkan hari ini seperti hari-hari kemarin. Benar-benar kurasakan seperti di neraka!
Diawali seruan Mama yang menjengkelkan. Karena itu di dalam hatiku ini Mamaku seringkali kupanggil dengan Momok! Ya, momok yang menghantui hidupku sehari-hari!