Jamu Jemu
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Ada sekeluarga kelinci yang berbahagia. Ada seekor ayah, ibu, dan tiga ekor putra-putrinya. Kak Linci anak kelinci betina yang tertua sudah memulai kuliahnya. Kak Lindo, anak kelinci nomor dua masih bersekolah di SMP kelas akhir. Sementara, Linca masih duduk di bangku sekolah dasar.
Ketiga anak kelinci itu selalu hidup rukun dan bersukacita. Kalau tidak sedang belajar di kampus atau di sekolah, mereka bergurau bersama di rumah. Sementara, bapak dan ibunya sibuk mencari makanan buat ketiga putra-putri yang pandai dan menggemaskan itu.
Lincin sudah selesai mengerjakan PR-nya. Kak Linci sedang menyeterika. Kak Lindo lagi mengunjungi sahabatnya yang sedang sakit. Karena merasa kesepian, Linca merasa bosan. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
"Kak, Linca mau pergi main dulu, ya!" ujarnya berpamitanlah ia kepada sang kakak.
"Baiklah, Dik. Kamu harus berhati-hati. Kadang Paman Elang kalau sedang lapar bisa saja menyambar! Maka, waspadalah!"
"Baik, Kak!"
"Kamu akan ke mana?"
"Entahlah!" sahut sang adik.
"Sebaiknya, kamu ke rumah Bibi Hunta saja, Dik!"
"Ah, malas! Memang ada apa di rumahnya? Maksudku ada siapa? Apa Kakak yakin aku bakal tidak bosan?"
"Yakin banget, dong!" seru sang kakak ceria.
"Ya, kalau nggak mau ke sana, tidur sajalah kamu, Dik! Aman dan nyaman!" usul sang kakak.
"Ah, Kakak! Orang aku tidak mengantuk malah disuruh tidur!" Linca menggerutu.
 "Atau main ke rumah Paman Kancil? Kalau mau sebentar setrikaan Kakak selesai, biar Kakak antar ke sana!" sang kakak menawarkan diri.
"Malas ah, rumahnya jauh. Biasanya jam segini dia belum bangun. Dia 'kan harus tidur siang setiap hari!" Linca menolak.
Tiba-tiba Linca mendapat gagasan. Dia pergi ke kamar ibu dan menelepon Nenek.
Sesudah bercakap-cakap sejenak, Linca mulai mengeluh, "Nek, kalau tiap hari begini Linca bisa mati. Bosannya setengah mati. Ayah pergi, Ibu pergi, Kak Lindo pergi. Cuma Kak Linci yang di rumah. Itu pun ia sangat sibuk. Di rumah serasa tak ada siapa-siapa!" keluhnya kesal.
"Wah, wah, jangan sebut-sebut mati. Bosan itu 'kan penyakit yang paling gampang diobati. Sudah setua ini Nenek tak pernah merasa bosan!"
"Tentu saja. Cucu-cucu yang tinggal sama Nenek segudang. Di sana 'kan selalu ramai. Di sini sepi!"
"Terlalu sepi itu tidak enak! Terlalu ramai juga tidak enak. Nah, begini saja. Kamu sabar sebentar. Nenek akan segera datang membawakan obat untuk penyakit bosanmu! Namanya jamu jemu!"
"Kok jamu, Nek? Pasti pahit dan nggak enaklah!" serunya.
"Siapa bilang? Kamu kan belum tahu! Ya, anggap saja obat pokoknya!"
"Baiklah, cepat datang, ya Nek!" kata Linca dengan gembira dan meletakkan gagang telepon.
Dalam hati Linca bertanya-tanya seperti apa kiranya jamu jemu alias obat bosan itu. Kalau berbentuk tablet atau pil, wah, lebih baik tidak usah saja. Kalau berbentuk sirup, lumayan sih. Biasanya sirup selalu berasa manis. Sepertinya dicampur madu juga! Kalau jamunya cair, seperti beras kencur ... ya nanti ia akan meminta tambahan madu, pasti enak. Kalau berbentuk permainan, nah ini lebih asyik. Akan tetapi, berbagai jenis mainan pun lama-lama bisa membosankan juga.
Sambil menunggu Nenek datang, Linca mendekati Kak Linci lagi.
"Kak, ... katanya Nenek mau datang membawakan jamu jemu alias obat bosan. Tahu tidak Kak, jamu jemu alias obat bosan itu seperti apa sih?"
Kak Linci tertawa terbahak-bahak ketika mendengarnya, tetapi kemudian menggeleng-geleng.
"Lincaaa, Linca! Kamu kok bisa sih dibohongi? Mana ada sih jamu jemu atau obat bosan itu?"
"Lah, kan nggak mungkin Nenek membohongi?" sergahnya.
"Ahahaha ... yang ada tuh ya, jamu pegel linu, jamu beras kencur! Atau kalau berbentuk obat kimia ya ... obat batuk, obat sakit perut, obat flu, obat sakit kepala! Eh, iya sih kalau obat-obat itu berkhasiat menyembuhkan, ada juga loh yang membunuh!"
"Hah? Membunuh?"
"Iya, Linca! Sesudah memakan atau meminumnya bisa mati!"
"Ya, Allah? Yang benar!" ujar Linca ketakutan.
"Iyalah, contohnya begini. Kan obat flu menghilangkan sakit flu. Demikian juga obat mata akan berguna untuk menyembuhkan mata, tetapi obat tikus dan obat kutu tidak!"
"Lah, lalu untuk apa?"
"Ya, untuk membunuh! Obat kutu membunuh kutu dan obat tikus akan membunuh tikus!" seru Linci terbahak-bahak.
 "Kalau Kakak jemu atau bosan, obatnya sih gampang saja. Stel saja Youtube. Cari lagu kesukaan! Maka, hilang dah rasa jemu dan bosannya!" lanjut sang kakak.
Sekarang Linca yang ganti tertawa. "Kenapa Kakak nggak mendengar lagu dangdut saja? Lalu jingkrak-jingkrak ikuti joget! Tentu jemu dan bosan hilang!" usul Linca.
"Nah, kenapa tidak kamu saja yang setel lagu dangdut itu!" sergah sang Kakak cemberut karena ia tidak suka jenis lagu itu.
"Ya, sudah! Linca akan mendengarkan lagu anak-anak saja!"
 "Tapi ... paling  sebentar didengar enak, lama-kelamaan pasti jemu dan bosan juga mendengarnya. Nah, jemu dan bosan lagi, kan?" seru Linca.
"Ya, sudah. Kesukaan orang 'kan lain-lain. Kita lihat saja nanti, Nenek bawa jamu jemu atau obat bosan yang bagaimana!" kata sang kakak.
Satu jam kemudian Nenek datang. Linca menyambutnya dengan gembira.
"Maaf ya, Cu. Tadi Nenek harus singgah dulu di rumah Bibi Hunta di sarangnya untuk meminjamnya!" jawab sang nenek.
"Hah? Bibi Hunta?"
"Iya, karena Nenek harus memilih dan memilah mana yang cocok dengan usiamu!" jawab mengeluarkan beberapa buah buku dari tasnya.
"Yaaa, jamu jemu dan obat bosannya bukuuuu. Linca 'kan malas baca buku!" seru Linca kecewa.
"Hei, kamu belum tahu nikmatnya membaca buku rupanya. Kalau sudah senang membaca, kamu tidak akan pernah merasa jemu dan bosan lagi. Nah, sekarang coba kamu baca buku yang ini!" kata Nenek sambil memberikan sebuah buku cerita bergambar.
"Kalau tebal, malas ah bacanya!" kata Linca dengan segan.
"Tidak, ini cuma 24 halaman. Tiap halaman ada gambar berwarna dan teksnya sedikit. Ceritanya tentang beruang kecil. Bagus, lho!Â
Anak-anak di berbagai negara sudah membaca buku ini!" Nenek memberi semangat.
Linca memulai membuka-buka halamannya. Eh, ternyata menarik juga.
Nenek tersenyum dan berkata, "Kamu sudah kelas empat. Sayang sekali kamu belum mengenal banyak cerita yang bagus. Sebetulnya, buku bukan hanya buku cerita, tetapi ada juga buku tentang berbagai pengetahuan. Misalnya, kamu mau tahu asal minyak tanah, cara kerja merpati pos, atau tentang menanam bunga. Bahkan tentang apa saja! Semua  ada bukunya!"
"lya, Nek? Kalau buku cara membuat mainan dari kertas, ada tidak, Nek? Itu Iho, seperti membuat perahu, burung. Linca mau baca buku itu kalau ada!" kata sang cucu sambil menimang sebuah buku cerita di pangkuannya.
"Itu origami namanya, Linca!" seru sang kakak.
"Ohh," Linca tampak melongo.
"Tentu saja ada. Nanti, kalau di perpustakaan Bibi Hunta tidak ada, kita bisa cari di toko buku. Nenek akan tunjukkan berbagai macam buku. Sekarang, kamu bisa membaca buku-buku yang tipis ini dulu. Nanti, makin lama kamu akan terbiasa dan senang membaca buku cerita yang lebih tebal. Kalau kamu suka membaca, kamu tak akan merasa jemu ataupun bosan! Justru akan merasa ketagihan!Â
Kalau toko buku tutup, kita bisa mencari secara online!" ujar sang nenek sambil mengelus anak rambut cucunya.
"Bermain dengan kawan memang suatu hal yang baik, tetapi kebiasaan membaca juga perlu dipupuk. Nanti kalau kamu menjadi mahasiswi seperti Kak Linci, kamu sudah terbiasa membaca buku pelajaran yang tebal-tebal!" kata Nenek.
"Huuuu! Apa? Kak Linci aja nggak pernah pegang buku!" sindirnya kepada sang kakak.
"Sembarangan kamu! Sok tahu! Kakak membacanya di perpustakaan kampus, Linca!" seru sang kakak menimpali dengan jengkel.
"Oh, gitu. Kenapa nggak baca di rumah?"
"Buku yang dipinjam terbatas, Linca! Kalau nggak tahu jangan sembarangan. Itu namanya fitnah. Fitnah itu lebih kejam daripada membunuh!" sang kakak meradang.
"Sudah, sudah!" lerai Nenek bijak. "Kamu mengalah sikit, kenapa sih Linciii!" sang nenek membelalak kepada Linci.
Linci memberengut kesal, "Ah, Nenek. Mulai deh pilih kasih!"
Sang nenek hanya menggeleng-gelang sambil menutup mulut dengan jari telunjuk agar Linci diam.
"Buku ceritanya dari mana, Nek?" tanya Linca.
"Nanti Nenek belikan beberapa. Lalu setiap bulan Ibu bisa membelikan satu atau dua buah buku. Kemudian kamu bisa tukar pinjam dengan kawan-kawanmu yang punya buku cerita. Selain itu kamu juga bisa pinjam dari perpustakaan sekolah. Di sekolahmu ada perpustakaan tidak?" tanya Nenek.
"Ada. Tapi Linca belum pernah pinjam!" akunya terus terang.
"Lincaaaa! Linca! Seharusnya, perpustakaan sekolah dimanfaatkan!" seru Linci sang kakak ganti meledek.
Linca pun meleletkan lidah menggodai sang kakak yang kesal.
"Baiklah! Sekarang Nenek akan membimbingmu. Nenek akan pinjamkan buku-buku yang menarik, supaya kamu rajin membaca.Â
Sesudah itu berangsur-angsur kamu mulai membaca buku yang banyak teksnya!" ujar Nenek dengan telaten.
"Selama satu bulan Nenek akan sering datang membawa buku cerita untuk Linca. Nenek akan pinjam ke perpustakaan Bibi Hunta si burung hantu itu. Sampai akhirnya, bila Linca sudah gemar membaca, Nenek tak perlu lagi membawakan buku-buku cerita."
Akhirnya, Linca sudah bisa mencari sendiri buku cerita atau buku pengetahuan yang hendak dibacanya. Linca sudah beberapa kali diajak ke sarang burung hantu meminjam koleksi bukunya. Demikian juga mulai rajin mengunjungi perpustakaan sekolahnya. Yang paling penting, Linca sudah mendapatkan jemu jemu alias  obat bosan yang ampuh dari Nenek. Dengan demikian, hingga seumur hidup dia akan bebas dari penyakit jemu bin bosan.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H