Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku Terlahir Sebagaimana Kehendak-Nya

30 Mei 2024   03:39 Diperbarui: 30 Mei 2024   04:09 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Aku Terlahir Sebagaimana Kehendak-Nya
Oleh Ninik Sirtufi Rahayu

"Sudahlah, jangan menangis lagi! Percuma kautangisi masa lalu. Katakan saja pada dirimu, 'Adaku bukan karena aku!' begitu saja, beres. Begitu saja kok repot!" katanya tegas.

Ini kesekian kali aku menangis dan ketahuan saudara jauh yang indekos di rumah Kakek Nenek serumah denganku. Saat itu usiaku masih begitu belia. Remaja cengeng! Ya, karena aku memang memiliki masalah besar dalam hidup. Masalah apa?

Sementara, kalimat di atas, jujur selalu terngiang di telinga, tatkala mengingat masalah utama dalam hidupku atau sedang mendapat perundungan berkaitan dengan masalah tersebut. Sebuah kalimat yang mampu menghentikan tangis dan penyesalanku. Kalimat yang menggugah agar aku bangkit dan tidak cengeng lagi menghadapi kenyataan yang ada.  

"Adaku bukan karenaku!" Ya, memang benar! Aku tak tahu-menahu tentang keberadaan diriku. Bukankah kita sadar (dan bisa mengingat masa kecil) pada usia sekitar SD? Dulu aku selalu diolok tidak punya ayah bunda, anak jadah atau haram! Maka, aku hari-hariku selalu berkubang dengan tirta netra karena perundungan yang kuterima dari sahabat kecil sebayaku.

"Apa salahku? Bukankah aku tidak bisa memilih siapa orang tuaku, bagaimana kisah hidupku, dengan siapa aku hidup, dan bagaimana pula jalan hidupku ke depan?" pikirku.

"Apakah aku bisa protes, mengapa aku hidup kalau kehidupanku tidak diinginkan? Kalau hidupku hanya untuk ditelantarkan? Bahkan, banyak orang justru memperolok diriku sebagai anak jadah alias anak haram?" senandikaku sejak masa kanak-kanak.

Sejak usia SD ketika banyak anak kecil mempertanyakan keberadaan orang tuaku. Ketika teman-teman sebayaku memperolok bahwa orang tuaku terlalu tua, dan lain-lain. Orang tua teman-temanku memang relatif masih muda, sementara orang tuaku, maksudku yang aku panggil 'Bapak' dan 'Ibu' adalah kakek nenekku.

Diolok-oloklah aku sebagai anak yang tidak punya orang tua. Ditanyakanlah sambil meledek oleh mereka siapa, dan di mana kedua orang tuaku berada jika aku memang memilikinya. Apakah aku anak pungut? Apakah aku anak tiri? Ataukah aku anak angkat? 

Serentetan pertanyaan yang menggelontor saja tanpa memikirkan dampaknya di dalam hati dan hidupku. Pertanyaan anak kecil yang mungkin sudah didikte atau didoktrinasikan oleh orang tua masing-masing. Entahlah! Aku pun hanya diam sejuta kata!

Pertanyaan sinis bernada olok-olok yang sangat mengiris sanubariku. Dan apa jawabku? Butir-butir tirta netra yang bergulir tanpa mampu kubendung. Akhirnya, perundungan demi perundungan yang kuterima membuatku tidak banyak bergaul. Aku justru menyembunyikan diri di dalam kamar sepiku sendiri. 

Menulis puisi atau curahan hati, sayang tidak terdokumentasi. Belajar dan menulis ulang pelajaran di sekolahlah yang kulakukan di dalam kamar sehingga dampak positifnya adalah nilai dan prestasiku melambung. Menjadi lulusan terbaik di sekolah dasar, sementara hobi menulis dan membaca puisi pun membawa namaku cukup terkenal. Selalu mengikuti dan memperoleh penghargaan walaupun belum sebagai juara pertama.

Saat caturwulan pertama di sekolah lanjutan pertama, namaku disebut sebagai satu di antara bintang kelas paralel dan dihadiahi sematan bunga di dada. Nah, di situlah namaku cukup diperhitungkan di sekolah sehingga dipilih menjadi delegasi yang mewakili lomba cerdas cermat tingkat kabupaten hingga karesidenan. Hobi berpuisi pun ditindaklanjuti guru Bahasa Indonesia dengan diberi les privat tak berbayar setiap sore. Dengan demikian, menulis dan menulis merupakan lahanku untuk menghilangkan pedih perih. 

Luka batin yang tak terobatkan memperoleh terapi secara otomatis. Namun, tentu saja jejak luka itu tidak mudah dilupakan begitu saja.

Tak berteman di dunia nyata, tetapi memiliki sahabat pena di seluruh nusantara.  Karena itu, menulis surat, membalas surat teman, dan membaca aneka cerita mereka, menjadikan hatiku gembira di dalam kesendirian. Ketika kukabarkan kepada sahabat pena bahwa aku hanyalah anak haram belaka, mereka tidak pernah mengolok, mengejek, menghinaku. Namun, mereka justru menyemangatiku.

"Tunjukkan nyalimu!" tulis salah satu teman saat itu.

Entahlah, semuda itu dia bisa menyemangatiku. Tidak seperti teman di dunia nyata yang justru mencibir, merundung melulu. Jadilah duniaku adalah dunia maya jauh sebelum facebook, Instagram, dan yang lain merambah dunia.  

***

"Cah wedok ki ra sah sekolah dhuwur! Cukup biso masak, macak, lan manak wae! Ra urung sekolah dhuwur yo mlebu dapur!" kata Bude Lik, salah seorang putri Kakek dengan istri pertamanya.

Ya, Bude Lik melarangku disekolahkan tinggi-tinggi, sebab menurutnya anak perempuan cukup jika bisa memasak, merias diri, dan memberikan keturunan bagi suaminya. Bude Lik ini ibu tiri, istri ayah kandungku yang sejak awal menolak kehadiranku di dunia. Dia hanya lulusan sekolah lanjutan pertama. Kurasa selain sirik dan iri juga karena faktor x lain sehingga beliau melarangku kuliah.

Akan tetapi, karena aku sadar diri terhadap raihan prestasi hingga menduduki peringkat pertama, tentu saja aku 'tidak terima' dengan larangannya. Aku tetap bersikukuh untuk melanjutkan kuliahku ke perguruan tinggi. Sayang, 'kan? Prestasi yang kuupayakan dengan kerja keras harus pupus dan putus begitu saja?

Nah, saat memperoleh jawaban tersebut, jujur hatiku sangat kesal. Justru aku ingin menunjukkan bahwa 'aku pasti bisa!' Aku  bertekad harus melampaui jauh di atas perolehan keluarga dan putra-putri Bude Lik. Harus! Ya, kata orang Jawa ini wujud dari nglara ati. Bukan sakit hati yang kemudian pesimis dan tanpa aksi. Bukan! Justru sebaliknya, harus mengekspresikan diri, membuktikan kualitas diri! Ikrar diri yang kuikuti dengan berjuta aksi!

Aku yakini jika Tuhan memberikan padaku kesempatan hidup meskipun dengan cara cerita masa lalu kelabu dan sebagai anak jadah atau anak haram, pasti Tuhan juga memberikan kepadaku kelebihan. Tidak selamanya Tuhan itu memberikan keterpurukan dan keburukan, tidak! Maka, aku yang harus aktif menggali potensi diri dan mengembangkannya bersama dan seizin Tuhan semata.

Ya, aku harus tetap bersyukur kepada Tuhan yang telah menciptakanku dan memberikan hidup dan kehidupan padaku. Aku harus bersyukur, sebagaimana Daud bersyukur, "Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya." (Maz 139:14).

Tuhan sang Seniman Agung menciptakan manusia secara sangat istimewa. Tidak seperti ciptaan lainnya, kita diciptakan dengan gambar dan rupa Allah sendiri (Kej 1:26). Kita mendapatkan napas hidup langsung dari embusan Allah (2:7), tetap berada dalam telapak tangan dan ruang mata-Nya (Yes 49:16), dan sungguh semua itu memang benar-benar dahsyat dan ajaib. Bagi Daud, sulit rasanya untuk bisa memahami jalan pikiran Tuhan ketika Dia membentuk buah pinggang dan menenun kita sejak dalam kandungan. (Maz 139:13). Daud pun berseru, "Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!" (Maz 139:17).

Aku percaya Tuhan pasti memiliki maksud tertentu dengan diciptakan-Nya aku sebagaimana hidupku ini. Meskipun terlahir sebagai anak haram, pasti Tuhan memiliki niat dan tujuan khusus, bukan? "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah Firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yer 29:11).

Demikianlah, akhirnya aku menerima apa yang menjadi kehendak-Nya. Aku mensyukuri keberadaanku. Tidak lagi mempermasalahkan kelahiranku sebagai anak haram, tetapi mengisi hidupku dengan aksi nyata yang berguna bagi diriku sendiri, keluarga, nusa, bangsa, dan agama.

Ya, penerimaan diri itulah yang melecutku untuk meraih cita-cita setinggi mungkin dengan tetap berharap kepada-Nya. Aku melanjutkan kuliah dengan cara ikut saudara sebagai ART, menggunakan waktu part time untuk bekerja di toko sebagai pramuniaga, ikut penjahit di depan rumah indekos untuk memperoleh uang pembeli lauk-pauk, dan berbagai hal positif lain untuk menambah uang saku. Adapun biaya kuliah, Tuhan menganugerahiku beasiswa selama tiga tahun. 

Sebelum lulus, aku memperoleh jodoh dengan drama kehidupan yang lain. Akan tetapi, bersyukur suami pun mendukung asa dan cita-citaku. 

Akhirnya, aku lulus menjadi sarjana. Bahkan, tujuh belas tahun berikutnya lanjut ke program magister. Sungguh, anugerah-Nya sajalah yang luar biasa hingga semua kuperoleh dengan lancar.

Kini, setelah usiaku melebihi setengah abad, baru aku tahu, bahwa sekalipun Tuhan menciptakan aku sebagai anak haram, anugerah-Nya tetap mengalir deras bagaikan Sungai Brantas dan Sungai Kapuas! Tidak pernah ditinggalkan-Nya aku sendirian menghadapi kasus demi kasus, masalah demi masalah dalam hidupku. Diberkati-Nya aku dengan segala kebutuhan manusia, kebutuhan yang menunjang hidupku. Dianugerahkan-Nya damai sejahtera yang meluber di dalam kehidupanku.

Kini aku menyadari bahwa apa pun yang terjadi padaku dahulu, bukanlah merupakan kemauanku, melainkan kehendak Tuhan semata. Tuhan memang berkenan menciptakan kita sedemikian rupa, tetapi tetap bertanggung jawab atas hidup dan kehidupan kita, senyampang kita tetap berpegang teguh pada jalan-Nya.

Dari kisah hidup yang kulalui ini bisa kuambil garis merah bahwa segala sesuatu memang sudah ditakdirkan-Nya sedemikian rupa. 

Tidak ada yang perlu dirisaukan tentang masa lalu. Tidak ada yang harus dihinakan kepada mereka yang terlahir sebagaimana aku: anak haram! Anak yang lahir tidak bersalah. Anak tersebut  hanyalah korban kesalahan perilaku orang tuanya. Atau memang jalan nasibnya seperti itu sehingga tidak perlulah kita melakukan perundungan kepada mereka yang sedang dirundung malang. Apa sih untungnya dengan mengolok, mengejek, menghina sesama? Bukankah ada tertulis, "Siapa menghina sesamanya berbuat dosa?" (Ams 14:21a).

Mari kita semangati sahabat kita yang sedang dalam kondisi gundah gulana dan dirundung nestapa. Mari hindari mem-bully: Jangan malah membunuh semangat hidup sesama. Apa pun masalah kita, jangan khawatir, pasti ada solusinya. Tetaplah bersemangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun