Aku Terlahir Sebagaimana Kehendak-Nya
Oleh Ninik Sirtufi Rahayu
"Sudahlah, jangan menangis lagi! Percuma kautangisi masa lalu. Katakan saja pada dirimu, 'Adaku bukan karena aku!' begitu saja, beres. Begitu saja kok repot!" katanya tegas.
Ini kesekian kali aku menangis dan ketahuan saudara jauh yang indekos di rumah Kakek Nenek serumah denganku. Saat itu usiaku masih begitu belia. Remaja cengeng! Ya, karena aku memang memiliki masalah besar dalam hidup. Masalah apa?
Sementara, kalimat di atas, jujur selalu terngiang di telinga, tatkala mengingat masalah utama dalam hidupku atau sedang mendapat perundungan berkaitan dengan masalah tersebut. Sebuah kalimat yang mampu menghentikan tangis dan penyesalanku. Kalimat yang menggugah agar aku bangkit dan tidak cengeng lagi menghadapi kenyataan yang ada. Â
"Adaku bukan karenaku!" Ya, memang benar! Aku tak tahu-menahu tentang keberadaan diriku. Bukankah kita sadar (dan bisa mengingat masa kecil) pada usia sekitar SD? Dulu aku selalu diolok tidak punya ayah bunda, anak jadah atau haram! Maka, aku hari-hariku selalu berkubang dengan tirta netra karena perundungan yang kuterima dari sahabat kecil sebayaku.
"Apa salahku? Bukankah aku tidak bisa memilih siapa orang tuaku, bagaimana kisah hidupku, dengan siapa aku hidup, dan bagaimana pula jalan hidupku ke depan?" pikirku.
"Apakah aku bisa protes, mengapa aku hidup kalau kehidupanku tidak diinginkan? Kalau hidupku hanya untuk ditelantarkan? Bahkan, banyak orang justru memperolok diriku sebagai anak jadah alias anak haram?" senandikaku sejak masa kanak-kanak.
Sejak usia SD ketika banyak anak kecil mempertanyakan keberadaan orang tuaku. Ketika teman-teman sebayaku memperolok bahwa orang tuaku terlalu tua, dan lain-lain. Orang tua teman-temanku memang relatif masih muda, sementara orang tuaku, maksudku yang aku panggil 'Bapak' dan 'Ibu' adalah kakek nenekku.
Diolok-oloklah aku sebagai anak yang tidak punya orang tua. Ditanyakanlah sambil meledek oleh mereka siapa, dan di mana kedua orang tuaku berada jika aku memang memilikinya. Apakah aku anak pungut? Apakah aku anak tiri? Ataukah aku anak angkat?Â
Serentetan pertanyaan yang menggelontor saja tanpa memikirkan dampaknya di dalam hati dan hidupku. Pertanyaan anak kecil yang mungkin sudah didikte atau didoktrinasikan oleh orang tua masing-masing. Entahlah! Aku pun hanya diam sejuta kata!
Pertanyaan sinis bernada olok-olok yang sangat mengiris sanubariku. Dan apa jawabku? Butir-butir tirta netra yang bergulir tanpa mampu kubendung. Akhirnya, perundungan demi perundungan yang kuterima membuatku tidak banyak bergaul. Aku justru menyembunyikan diri di dalam kamar sepiku sendiri.Â